Pengakuan Saya Ikut Tawuran (di masa muda)

Saya (paling kanan) bersama Gank Orthodox sebelum "ditangkap" petugas karena mencoret tembok dgn cat pylox - Foto diambil tahun 1988.

Akhir tahun 1989, saya terlibat tawuran pelajar yang tak akan saya lupakan seumur hidup. Itu bukan tawuran pertama dan terakhir saya, tapi merupakan tawuran terbesar yang pernah saya ikuti. Saat itu, saya duduk di bangku kelas tiga SMA di kawasan Salemba, Jakarta Pusat. Menjadi SMA di tahun 80-an adalah juga mengakrabkan diri dengan tawuran. Tawuran ada di mana-mana dan bisa terjadi kapan saja.

Saat SMA, saya memang bukan pelajar yang baik-baik amat. Tapi juga tidak bandel-bandel amat. Saya hampir tidak pernah membaca buku pelajaran. Nilai SMA saya nyaris “jeblok” dengan nilai rapor pas-pas-an. Bukan tipikal anak pintar yang senang belajar. Kerjaan sehari-hari nongkrong di pagar SMA bersama gank sebaya. Sesekali merokok dan mencicipi alkohol, untungnya tidak terlibat narkoba, jadi otak saya masih agak lempeng sedikit untuk meneruskan kehidupan ke depan.

Berurusan dengan petugas berwajib juga hal biasa bagi saya. Bersama gank Orthodox waktu itu (gank SMA saya), saya pernah diinterogasi dan nyaris ditangkap gara-gara membuat graffiti di tembok parkir Puncak Pass. Saat itu, kita dituduh mencoret-coret tembok dengan nama gank dan SMA.

Di tahun 80-an, tawuran juga bukan hal yang aneh. Saya tinggal di daerah Kemayoran, sehingga harus transit di terminal Senen untuk berganti bis atau mikrolet ke Salemba. Kalau pergi ke sekolah, saya membawa kaos ganti di tas, ataupun tidak memakai badge nama sekolah. Hal itu untuk berjaga-jaga apabila terjadi sweeping atau tawuran mendadak.

Sering sekali saya mengalami sweeping  di bis oleh anak-anak SMA lain. Saat itu wilayah Kramat dikuasai anak Doski – konon katanya singkatan dari “Doa Sebelum Kiamat”. Suatu hari, segerombolah anak SMA Doski naik ke bis, dan melakukan inspeksi. “Eeh, anak mana lo?” … Sambil mereka melihat badge SMA saya. Kalau kebetulan yang ditanya adalah SMA musuh, atau SMA yang sedang diincar, tentu saya akan ramai-ramai diseret dan digebuki.

Saya pernah melihat dengan mata kepala sendiri, satu anak SMA diseret keluar bis dan digebuki beramai-ramai. “Ampun bang .. ampun bang!”, anak itu hanya berteriak tanpa bisa apa.

Benih-benih tawuran muncul dari banyak hal. Selain soal tradisi masa lalu, urusan kecil soal palak memalak biasanya bisa jadi pencetus. Kalau untuk urusan dipalak, saya sudah biasa. Di kantong, paling tidak saya menyediakan uang Rp100 hingga Rp150 (saat itu jumlah yang lumayan untuk beli rokok).

Begitu turun di terminal Senen, biasanya ada satu preman SMA Senen yang saya ingat bergigi ompong, merangkul dan memeluk saya. Secara rutin, saya setor uang Rp100 agar bisa dibiarkan pulang dengan selamat.

Meski SMA saya bukan SMA yang punya tradisi tawuran, maraknya tawuran yang terjadi saat itu tak bisa menjadikannya imun. Beberapa kali kita terlibat bentrok dan tawuran dengan SMA sekitar. Saling lempar batu, bambu, pukul-pukulan, adalah hal biasa yang terjadi.

Saya (paling kiri) dipanggil guru BP untuk dinasehati/ koleksi foto Ale tahun 1989

Namun tawuran di akhir 1989 itu adalah yang terbesar saya pernah alami. Ceritanya, salah satu anak SMA kita dipalak oleh SMA lain. Suasana memanas. Kawan-kawan SMA saya melakukan rapat persiapan untuk serangan balasan. Satu kawan, yang memang bandelnya luar biasa, mengatur strategi serangan. Kawan ini memang dalam otaknya punya kurikulum tawuran. Konon, ia dipindahkan ke SMA kita karena dulu punya hobi tawuran.

Strateginya adalah, kita semua menaiki bis tingkat untuk menyerang gerombolan SMA lawan yang sedang duduk di halte. Kita diminta memenuhi bis tingkat, mengisi tas kita dengan batu-batu. Ia menyusun pembagian tim. Mereka yang di bawah, tugasnya menyerang dan menggebuki lawan. Yang di atas melempari batu. Strategi sempurna dan cukup “biadab” menurut saya.

Terus terang saya tak ingin ikut tawuran dengan metode “penyerangan” kali ini. Takut. Itu alasannya. Tapi kalau nggak ikut tawuran, saya nggak bisa pulang karena bis yang akan digunakan menyerang adalah bis yang saya tumpangi kalau pulang. Pastinya nanti akan ada serangan balasan, dan saya bisa konyol sendirian di bis nanti.

Kita-pun menyetop bis tingkat. Saya masih ingat, bis tingkat PPD itu jurusan Kampung Melayu – Senen. Ada sekitar 30-50 anak SMA saya yang ikut penyerangan. Saya duduk di bagian atas bis. Batu dan kerikil ada di tas saya. Gilaknya. Kawan saya yang biang tawuran, melakukan pidato sebelum penyerangan. Bahkan ia meminta kita membaca doa terlebih dahulu. “Kawan-kawan, misi kita kali ini adalah menyerang lawan di sini, tujuan kita adalah kesetiakawanan, membela nama SMA .. bla .. bla”.

Saya tak bisa konsentrasi mendengarnya, karena ketakutan dan galau memikirkan apa yang akan terjadi.

Menjelang halte bis FK-UI Salemba, ketegangan di dalam bis meningkat. Kita melihat, segerombolan SMA lawan sedang duduk menunggu bis. Kita semua di bis menunduk. Bersiap. Dan menanti apa yang akan terjadi.

Saat bis berhenti di halte. Pemimpin rombongan berteriak. “Serbuuu !”

Segerombolan kawan merangsek keluar dari bis dan menyerbu. Kejadian yang sangat mengerikan bagi saya. Kami di atas melihat sambil melempari batu ke bawah. Namun, dari bawah, batu juga beterbangan ke kami. Kaca-kaca pecah. Supir bis, kenek, dan penumpang berteriak-teriak. Bis berhenti. Kami ngibrit keluar.

Di depan pintu bis, saya melihat darah. Beberapa anak saya lihat ambruk berdarah-darah digebuki dan dipukuli dengan berbagai alat atau senjata. Ada botol, garpu bengkok, dan batu-batu besar.

Saya, dan tiga orang kawan lari.

Dari belakang, gerombolan SMA lawan mengejar. Ada juga polisi. Saya pun lari. Lari selari-larinya. Dan saya tak menyadari seberapa jauh saya berlari. Masuk ke gang kecil, ke jalanan sempit. Kita baru berhenti berlari di depan gedung bioskop TIM. Haaah? Saya baru sadar berlari tanpa henti dari FK-UI ke bioskop TIM.

Kita semua berganti baju SMA dengan kaos, dan kembali ke rumah masing-masing dengan hati takut dan galau. Saya sering ikut tawuran kecil-kecilan, saling lempar-lemparan batu lalu lari, tapi belum pernah melihat seperti yang saya alami itu.  Sungguh menyedihkan, dan tak terlupakan.

Esoknya, saya baru dengar kabar bahwa korban tawuran kemarin dibawa ke ICU RS.Carolus. Untung nyawanya bisa diselamatkan. Beberapa polisi datang ke SMA kami untuk menyelidiki.  Beberapa dari kita diwawancarai, diinterogasi. Kasus itu berakhir dengan penandatanganan akta damai antara dua SMA yang bertikai. Sebuah penyelesaian klasik, yang selalu terjadi usai tawuran SMA.

………

September 2012,  sekitar 23 tahun setelah saya mengikuti tawuran dulu. Kejadian tawuran terulang lagi, dan lagi.  Tragedinya kali ini menyedihkan karena memakan korban nyawa.

Namun, sebagai mantan pelaku “ikut-ikutan” tawuran, saya hanya bisa merenung dan tidak menyalahkan siapa-siapa. Tawuran seolah menjadi bagian dari kurikulum SMA kita. Hal ini sungguh memprihatinkan dan mencoreng wajah pendidikan kita.

Di Jepang, seorang kawan Jepang bercerita bahwa tawuran memang bukan menjadi masalah. Tapi kasus “bully-ing” sangat parah dan mendapat perhatian serius dari pemerintah. Banyak kasus bunuh diri pelajar akibat tak tahan di-bully senior atau teman SMA-nya. Kasus ini memprihatinkan dunia pendidikan Jepang.

Lain negeri, lain masalah dunia pendidikannya. Untuk mengatakan bahwa tawuran di Indonesia kali ini makin parah, tidak juga. Dulu, tawuran juga sadis dan memakan banyak korban jiwa. Korban mati, ditusuk, diclurit, juga terjadi di masa 20 tahun lampau. Saat itu, banyak kawan yang pergi melayat teman SMA-nya yang jadi korban tawuran. Tapi saat itu, media massa belum seperti sekarang. Media sosial juga belum ada. Jadi hanya seperti “kenakalan” remaja saja.

Menyelesaikan tawuran tentu bukan masalah mudah, dan tak bisa diselesaikan sesaat. Menyalahkan sistem pendidikan saat ini, ataupun pemerintah sekarang, sebagai penyebab maraknya tawuran, tentu adalah sebuah politisasi masalah. Kenyataannya, di pemerintah-pemerintah lalu juga sudah ada tawuran.

Tawuran menunjukkan sebuah penyakit dari berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perbedaan, perdamaian, dan nilai-nilai hidup orang lain. Para siswa melihat lingkungannya, dan belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka.

Saya tentu menyesal pernah ikut tawuran. Tapi saya menyadari, bahwa di masa muda, nilai-nilai yang dimiliki belum tertanam sempurna. Kita berbuat dengan melihat lingkungan sekitar kita juga.

Oleh karenanya, upaya menambah jam pelajaran, memperluas sanksi, dan lain sebagainya, bukan sebuah solusi jangka panjang untuk menghindari tawuran. Upaya menanamkan nilai moral, cinta, kasih sayang, kelembutan, dan ketulusan hati, menjadi penting di keluarga maupun sekolah.

Anak-anak yang dibesarkan dalam kasih sayang dan melihat lingkungan yang penuh kasih sayang, akan terbiasa mencintai dan mengasihi sesama. Tentu saja, hal ini tak bisa terjadi dalam sesaat.

Semoga tawuran dapat semakin berkurang, dan anak-anak kita terhindar dari kekerasan. Salam.

6 comments

  1. Ijin share ya mas Junanto…baru kali ini saya nemu orang jujur ngaku veteran tawuran..hehe…ternyata tawuran bagian dari kurikulum juga..wow..info penting nih buat para ortu & pendidik…trims ya…

  2. ceritanya bikin saya terharu dengan pengakuan masa muda mas junanto yang dulu masa mudanya ikut tawuran ceritanya jujur banget. mudah-mudahan bisa kasih inspirasi agar tawuran tidak terjadi kembali di Indonesia salam.

Leave a Reply to Anonymous Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *