Proyek Kebahagiaan : Hidup Santuy, Nikmati Proses

Bersama Mbahyai Anwar di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, sebelum pandemi melanda

Bila berkunjung ke kota Kediri, saya selalu berusaha menyempatkan waktu untuk berkunjung ke Pesantren Lirboyo. Selain untuk silaturahmi dengan pengasuh dan santri, juga untuk mengobati kangen bertemu langsung dengan Kyai Kharismatik Pesantran Lirboyo, KH Anwar Manshur.  Setiap bertemu, Mbahyai Anwar, demikian kami memanggil beliau, selalu menyampaikan pesan-pesan yang dapat dijadikan pegangan hidup. Mulai dari doa, dzikir, amalan yang harus dilakukan, hingga pesan-pesan pedoman hidup bijaksana.

Satu pesan yang mengenang dari beliau adalah kalimatnya yang terkenal, yang juga terpampang di ruang tamu beliau. Bunyinya seperti ini, “Sak Piro Kangelanmu, Yo Kuwi Dradjatmu”.  Secara sederhana artinya adalah “Seberapa besar usahamu, ya itu lah derajatmu”. Saya selalu memegang pesan Mbahyai ini dalam perjalanan kehidupan, dan kiranya dengan semakin bertambahnya perjalanan hidup dan usia, pesan ini penting juga dipedomani oleh kawan-kawan milenial.

Saat ini, kaum milenial digempur dengan berbagai informasi dan berita-berita tentang kesuksesan. Ada yang sukses jadi pengusaha kaya sebelum usia 30, ada yang pamer memiliki tabungan 100 juta di usia 25 tahun, ditambah lagi suasana kompetitif dan saling berkejaran di tempat bekerja. Hal ini di satu sisi baik untuk membangkitkan motivasi, tetapi di lain sisi menyimpan problema psikologis dan emosi yang pekat dan sulit. Ketika seluruh usaha telah dilakukan, tetapi nasib tidak berpihak, hidup tidak juga kunjung sukses, gaji tidak juga kunjung naik, pangkat mandek, rasa frustasi dan nestapa mulai muncul. Apalagi melihat kawan kita yang lebih cepat maju, ditambah lagi para motivator yang tanpa berperasaan menyuarakan secara lantang,”Kamu pasti bisa!” Kamu pasti Bisa! … kalau kamu kerja keras, pasti berhasil! … Lihat Steve Jobs, dari garasi bisa sukses, Lihat Jack Ma, ditolak saat melamar kerja di mana-mana, sekarang sukses! … Apa hati ini gak semakin galau ya….

Hasil akhir memang penting. Menjadi sukses, menjadi terkenal, menjadi pengusaha berhasil, menjadi pejabat, adalah berbagai pencapaian dalam hidup. Tetapi tentu tidak semua orang bisa mencapai hal tersebut. Kadang kita menerima kegagalan demi kegagalan. Kadang kita harus menyerah. Saya berpikir hal itu sangat wajar. Sebagai manusia, tentu gagal dan menyerah adalah bagian dari kehidupan. Tak selalu harus bisa dan menjadi seperti orang lain.

Kekecewaan, depresi, dan stress di usia milenial kerap menjurus pada terjadinya “quarter life crisis”.  Akhirnya mental mengalami  kelelahan (mental drained) yang berdampak pada kesehatan jiwa. Tak heran bila saat ini berbagai kelas, akun, atau workshop tentang “mindfullness” laris peminat. Tekanan hidup milenial, kebiasaan overthinking, dan problema harus sukses (toxic success), menjadi pemicu yang semakin menambah masalah.

Lalu, bagaimana cara mengatasi berbagai problema tadi? Tentu tidak ada cara singkat dan mudah. Tetapi langkah pertama yang perlu kita ingat dan jadikan pedoman adalah untuk ingat selalu bahwa “Hidup ini Bukan Perlombaan”. Kita tidak bisa mematok pencapaian orang lain sebagai standar yang harus menjadi pencapaian diri kita. Setiap orang diciptakan berbeda-beda dengan pencapaian dan karakter yang berbeda. Bisa jadi sama, tetapi bisa juga tidak. Lagipula, kan kita tidak harus juga sama dengan pencapaian orang lain. Ada kawan kita sudah menikah, terus kita masih jomblo, lalu stress kok aku belum juga. Ada kawan kita diterima bekerja di perusahaan besar dan gaji gede, lalu stress kok aku ga bisa gitu. Ya, perlu diingat, hidup ini bukan perlombaan. Ndak harus kejar-kejaran. Mungkin memang kawan kita yang duluan menikah dan duluan bekerja. Ndak apa juga kita ketinggalan. Nanti kan ada saatnya juga kita mencapai sesuatu. Tidak perlu harus sama dan cepat-cepatan.

Selanjutnya, ketika kita mematok kebahagiaan baru tercapai ketika mencapai satu titik, maka hidup kita menjadi absurd.  Misalkan, kita mematok standar bahwa aku akan bahagia bila bisa lulus kuliah, bila dapat kerja di perusahaan A, bila naik pangkat, bila naik gaji, atau bila menikahi pacar cantik/ganteng. Hal seperti itu yang dikatakan oleh Albert Camus, seorang filsuf,  bahwa hidup ini absurd karena kita mematok kebahagiaan semu.

Oleh karenanya, untuk menghindari jebakan absurditas itu, patokan kebahagiaan harus diperluas dan diperpanjang. Bukan hanya pada satu titik, tetapi menjadi sebuah perjalanan. Jalan yang panjang dalam menuju titik tadi, kadang bisa indah, kadang terjal mendaki, kadang ada kesedihan dan kegagalan, tetapi kita nikmati sebagai sebuah proses menjadi (process of being). Lakukan sebaik-baiknya dengan sepenuh-penuhnya. Carpe Diem kalau kata orang Yunani Kuno. Seize The Day, hiduplah sepenuh-penuhnya pada hari ini. Namun lakukan dengan upaya yang semakin hari semakin baik.

Kalaupun nanti pada ujung hari kita tidak mencapai titik yang diharapkan, atau gagal memenuhi tujuan, hari-hari yang telah kita lewati dengan baik itu tidaklah sia-sia. Persis seperti pesan Mbahyai Anwar pada pembukaan tulisan ini, seberapa besar usahamu, itulah derajatmu. Jadi bukan hasil akhir yang menentukan derajat seseorang, tetapi usaha yang dilakukan. Karena hasil itu bukan hak kita, melainkan hak Tuhan untuk menentukan. Manusia berhak mengusahakan, dan usaha itulah yang meninggikan derajat kita.

So kawan, mari kita teruskan usaha-usaha baik, lakukan dengan santuy, dalam arti tidak ngoyo memaksakan hasil. Setiap hari mari kita buat lebih baik. Tidak mematok kebahagiaan kita pada pencapaian orang. InsyaAllah hidup kita bisa lebih santuy juga dan proyek kebahagiaan hidup dapat terlaksana dengan baik, serta kita terhindar dari “Quarter Life Crisis”. Salam Eudomonia.

Pesan Mbahyai

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *