Fenomena Syeikh Nikmatullah di Jepang

Bersama Syeikh Nikmatullah di Tenda Mina, usianya 110 tahun

Saat menunaikan ibadah haji kemarin, kelompok jamaah haji dari Jepang dibimbing oleh seorang ulama besar yang fenomenal. Namanya Syeikh Nikmatullah Hoja. Usianya 110 tahun. Ia dilahirkan di Turki pada tahun 1901 dan telah berkelana ke lebih dari 50 negara. Syeikh Nikmatullah sendiri telah membimbing jamaah haji sebanyak 90 kali, yang artinya selama 90 tahun ia menunaikan ibadah haji.

Meski berusia lebih dari 100 tahun, Syeikh Nikmatullah tampak segar dan sehat selama memimpin jamaah haji dari Jepang beberapa waktu lalu. Sesekali ia terlihat letih, namun secara keseluruhan tetap sehat wal’afiat. Suaranya lantang kalau mengimami sholat, keras kalau membaca doa, dan tegas kalau memberikan ceramah.

Di kalangan orang Jepang, nama Syeikh Nikmatullah bagai sebuah legenda. Dia adalah guru yang mengajarkan agama Islam pada hampir seluruh orang Jepang yang ingin belajar atau masuk Islam. Kalau anda tanya orang Jepang yang beragama Islam, mereka umumnya kenal dengan nama Syeikh Nikmatullah.

Figur Syeikh Nikmatullah yang tenang memancarkan aura kedamaian. Ia adalah juga gambaran wajah Islam yang damai dan penuh kasih sayang. Sungguh jauh dari bayangan dan persepsi negatif tentang Islam yang dibangun oleh media barat. Janggutnya yang putih memanjang, aura wajahnya yang bersinar, bagai “malaikat” yang ramah menyapa setiap orang. Beberapa kawan bahkan mengatakan wajahnya mirip sinterklas. Tak heran banyak orang Jepang yang menyayanginya dan kerap mengelus-elus janggut putihnya yang panjang.

Fenomena Syeikh Nikmatullah di Jepang sempat diliput oleh saluran televisi Al Jazeera pada tahun 2009 lalu. Di kota Tokyo, Syeikh Nikmatullah sering terlihat berdiri di depan stasiun kereta api Shinjuku, Shibuya, atau Harajuku. Ia berdiri mengenakan jubah dan kerudung putih yang panjang. Di sana, ia membagi-bagikan kartu atau semacam informasi tentang Islam pada orang Jepang yang lalu lalang. Di kartu itu tertulis ajakan untuk mengenal Islam sebagai agama yang damai.

Banyak orang Jepang menerima kartunya. Awalnya mereka hanya menganggap sekedar sebuah kartu. Namun siapa sangka, kemudian banyak orang Jepang yang tergerak dan tertarik pada Islam setelah membaca kartu tersebut.

Kisah seorang anak muda yang bekerja di toko gadget Shinjuku adalah satu contoh. Anak muda pemberontak dan memiliki kehidupan bebas ini suatu hari menerima kartu dari Syeikh Nikmatullah. Ia hanya meletakkan kartu itu di meja kamarnya selama bertahun-tahun. Suatu waktu, anak itu mengalami sebuah periode depresi. Hidupnya hilang tanpa tujuan, tak tahu hendak apa dan kemana. Kadang rasanya ingin bunuh diri. Saat galau itulah, ia melihat kartu yang pernah dibagikan Syeikh Nikmatullah beberapa tahun lalu. Iapun memutuskan untuk menemui sang Syeikh.

Singkat cerita, anak muda itu bertemu dan belajar pada Syeikh Nikmatullah. Dengan ajaran yang penuh kedamaian dan kasih sayang, anak muda itu kemudian memilih Islam. Namanya menjadi Taqy Abdullah. Dan bukan itu saja, Taqy Abdulah kini menjadi imam masjid di daerah Kabukicho, Shinjuku. Bacaan sholatnya fasih dan bacaan Qur’annya tartiil (baik). Setelah memeluk agama, ia mengatakan hidupnya lebih berarti dan hatinya lebih damai.

Banyak lagi kisah-kisah seperti Taqy Abdullah yang mendapat pencerahan setelah bertemu Syeikh Nikmatullah. Di tenda Mina, saya mendengar cerita-cerita itu dengan serius. Syeikh Nikmatullah selalu menyampaikan dengan tenang ke orang-orang Jepang mengenai pentingnya agama. Di tenda Mina kemarin, ia juga meminta orang-orang Jepang yang naik Haji bersama kita saat itu untuk berbagi cerita tentang pentingnya agama, khususnya Islam, dalam kehidupan mereka. Bergiliranlah Omar-san, Saif Takehito, dan Muhammad Syarief memaparkan ceritanya di depan Syeikh Nikmatullah dan seluruh jamaah haji asal Jepang.

Syeikh menyimpulkan dari pemaparan ketiganya, bahwa dengan agama kita dapat meraih ketenangan. Jepang saat ini dinilai sebagai negara yang maju dan memiliki warga yang sangat tinggi akhlaknya. Orang-orangnya santun dan baik. Namun dengan semakin cepatnya kehidupan modern, semakin tergesa-gesanya hidup, berbagai tekanan dan depresi muncul yang mengakibatkan terjadinya kekeringan spiritual. Tingkat stress dan bunuh diri meningkat. Syeikh Nikmatullah mengingatkan pada kita semua, agar jangan sampai tekanan dunia menyebabkan hidup tidak bahagia.

Saya beruntung tinggal satu tenda dengan Syeikh Nikmatullah selama di Mina. Kami makan, tidur, sholat, dan berdoa bersama. Setiap saat Syeikh Nikmatullah selalu mengingatkan kita semua untuk mengingat Allah dan jangan mudah tertipu pada kenikmatan dunia.

Sayapun teringat sebuah buku yang ditulis Anthony Giddens yang berjudul “The Runaway World”, bisa diartikan sebagai “Dunia yang Lintang Pukang”. Kita memang hidup di dunia yang lintang pukang. Pergi kantor, pulang kantor, bekerja, menjalani kemacetan, stress, lintang pukang cari rejeki, hingga bingung hendak menuju ke mana. Di dunia yang lintang pukang inilah, kadang spiritualitas kita kering. Materi berlimpah, pendidikan dan jabatan tinggi, tapi belum tentu hati bahagia. Banyak oase-oase instan yang seolah mengobati kekeringan kita. Tapi biasanya bersifat sementara dan hilang segera. Setelah itu, kekeringan melanda diri kita lagi. Oase sejatinya tentu adalah berpegang pada tali agama.

Apa yang diajarkan Syeikh Nikmatullah kiranya benar adanya. Setiap agama di dunia tentu mengajarkan pada kedamaian, ketenangan, dan kerendahan hati. Berpegang padanya, damailah hidup kita. Tidak ada agama yang diajarkan untuk menebar kebencian, apalagi saling menyakiti umat lain dan membunuh. Bila ada agama seperti itu, bukan agamanya yang salah, tapi pemeluknya yang salah menafsirkan agama. Kita tak boleh menghakimi agamanya, karena kita tahu esensi agama bukanlah itu.

Malam itu, saya ditanya oleh Syeikh Nikmatullah, dari mana asalnya. Saya jawab, “Indonesia”. Sang Syeikh rupanya bisa mengucapkan beberapa kata Indonesia. Dia berkata, “Terima kasih. Indonesia bagus. Sembahyang Bagus. Masuk Surga!”. Saya tanya lagi, “Apakah Syeikh pernah ke Indonesia?”. Dia bilang, “Mesjid Kebon Jeruk Jakarta, dengan Haji Firdaus. Saya pernah ke Mataram dan Makassar. Indonesia Baguss!”.

Di penghujung diskusi, Syeikh Nikmatullah memanggil saya dan bertanya lagi dalam bahasa Arab. “Ismi?” Ia menanyakan nama saya. “Junanto”, jawab saya.

Syeikh lalu menunjuk saya, “Muhammad Junanto!” Dan sayapun mendapat nama baru dari sang Syeikh. Muhammad Junanto. Hari semakin larut, udara gurun semakin dingin, kitapun kemudian berdoa bersama demi kebahagiaan semua dan perdamaian antar umat beragama di dunia.

Salam damai

8 comments

  1. Wah wah.. saya sering denger tentang Syeikh Nikmatullah ini.. Kapan2 kenalin ya pak..

    Sekalian mampir ke blog baru nih.. Selamat.. selamat.. ditunggu cerita2 lainnya..

  2. Hehehe makasih pak @Rane … ini hasil Daeng ATG pak hehehe… Lagi belajar input2. Setelah belajar sama Daeng Amril, saya juga mau belajar isi isi blog sama Daeng Rane….. Soal buku, bagus bukunya pak. Dunia Lintang Pukang.

    Terima kasih @kachan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *