Dari Copet Jakarta hingga Copet Tokyo

Suasana Jam Sibuk di Kereta Tokyo / photo Junanto

Jakarta mungkin salah satu “training centre” copet terbesar di dunia. Hampir setiap hari selalu ada berita tentang orang yang kecopetan. Saya sendiri sudah sejak kecil bersinggungan dengan copet. Waktu masih SD, saya sering melihat bagaimana copet beraksi di bis Robur (metro mini di tahun 80-an).

Dibesarkan dalam deru dan debu ibu kota, saya juga sempat berkenalan dengan banyak copet. Dulu saya pernah punya teman preman yang juga raja copet. Namanya Iwano Pachinko Nariko Ohara, begitu dia sering menyebut dirinya. Buat yang dibesarkan di daerah saya pada tahun 80-an, pasti mengenalnya. Bagi Pachinko, menjadi preman dan sesekali mencopet memang kehidupannya. Saya sempat belajar dari dia bagaimana merogoh saku dan celana tanpa terasa. Untung kemudian saya disekolahkan oleh orang tua. Kalau tidak, mungkin sudah jadi raja copet di Jakarta hehehe (naudzubillah min dzalik ah). Entah bagaimana kabar Pachinko Ohara sekarang. Terakhir saya dengar ia masuk penjara dan sakit keras.

Copet memang sebuah profesi di Jakarta. Bukan hanya di bis kota, kereta, atau tempat keramaian, tapi di masjid pun ada copet. Seorang kawan pernah kecopetan sepulang mengikuti dzikir akbar di masjid Istiqlal. Mengagumkan memang melihat bagaimana copet bisa melakukan ekspansi operasi di tempat ibadah.

Tapi ternyata, copet bukan hanya ada di Indonesia. Di Eropa, copet juga merajalela. Seorang kawan yang baru pulang dari Eropa bercerita bahwa ia sempat kecopetan saat membeli makanan di Barcelona. Sekilas saja lengah, raiblah semua barang yang dimilikinya. Kawan lain bahkan pernah dirampok habis harta bendanya di Barcelona. Mulai dari passport, kamera, handycam, dan tentu uang, habis dijarah oleh perampok. Barcelona memang tempat yang terkenal rawan dengan copet. Begitu pula dengan beberapa kota di Italia, kita perlu waspada menghadapi aksi pencopet dan penipu di sana. Kaum wanita perlu lebih waspada lagi, karena para penipu dan copet di Italia rata rata berwajah ganteng bak bintang film dan pemain bola.

Di Paris, pernah ada sekumpulan anak muda gipsy yang mencoba menarik-narik jaket saya. Untung saja passport dan uang saya pegang erat-erat hingga mereka pergi dengan sendirinya. Ilmu mencopet dari Pachinko dulu saya coba ingat-ingat agar tidak jadi korban kecopetan. Lain lagi dengan di New York. Suatu malam di subway, saya pernah dikelilingi beberapa anak muda hitam yang besar-besar. Mungkin saya stereotyping, tapi melihat gelagatnya, mereka memang sedang mengamati saya. Kata teman yang juga New Yorkers, yang penting jangan tatap mata mereka. Sayapun terus menunduk sepanjang jalan. Untung saja kereta segera sampai ke stasiun dan ada polisi di sekitar situ. Amanlah saya.

Seorang kawan yang tinggal di Washington DC pernah bercerita bagaimana istrinya sempat dicopet di kereta. Padahal Washington DC tergolong kota yang aman di dunia. Kasus pencopetan dan kejahatan jarang terjadi. Tapi namanya copet, biar di Washington juga, ia tetap bisa beraksi.

Adakah Copet di Tokyo?

Bagaimana dengan di Tokyo? Ketika pertama kali tinggal di Tokyo, terus terang saya cukup ngeri setiap pergi dan pulang kantor setiap hari. Lautan Tokyoites (para penduduk Tokyo) menghambur dan memenuhi bis serta kereta, yang menjadi alat angkutan saya sehari-hari. Kalau pagi hari, saya bukan hanya harus berdiri, namun  juga harus berdesak-desakan rapat tubuh ke tubuh dengan para Tokyoites. Sampai bernafaspun rasanya susah. Wajah kita rapat melekat di jendela kereta sehingga menimbulkan embun di jendela saking sesaknya. 
Dalam keramaian seperti itu, pikiran saya cuma satu. Awas Copet!!

Sebagai seorang homo Jakartensis, pemikiran copet saya bekerja. Naluri waspada sambil memegang harta benda dilakukan terus menerus. Namun melihat para Tokyoites itu berdesak-desakan, saya sungguh heran. Mereka tampak tidak peduli dengan barang-barang mereka. Kala kereta penuh, bahkan beberapa wanita dengan santai meletakkan tas Louis Vuitton atau Hermes-nya di tempat barang yang ada di atas kepala. Kemudian mereka asyik dengan buku atau handphone tanpa peduli pada tasnya. Naluri seorang copet pasti berdesir melihat tas yang tak dijaga seperti itu. Tapi sampai kereta berhenti, tas itu tak ada yang menyentuh.

Dompet Menyembul di Celana

Satu hal lagi, anak muda pria di Tokyo paling senang meletakkan dompet panjang mereka di celana belakang. Posisinyapun menyembul di belakang. Sebagai copet, tentu sangat mudah menarik dompet itu tanpa terasa. Tapi sekali lagi, belum ada cerita mereka kecopetan. Bahkan dalam keramaian dan desak2an saya sering melihat dompet menyembul yang aman tak tersentuh.

Di Tokyo, jangankan copet, kehilangan barang sekalipun hampir dipastikan akan bisa kembali. Banyak kasus laptop yang tertinggal di stasiun sampai beberapa hari masih utuh tak tersentuh. Berkebalikan dengan di Jakarta, kalau kehilangan barang di Tokyo, yang bingung bukan yang kehilangan, tapi yang menemukan. Karena ia harus melaporkan ke polisi atau mengembalikan pada yang memiliki.

Secara umum, copet memang hampir dikatakan tidak ada di kota Tokyo. Meski kejahatan dan pencurian tetap ada di Jepang, jumlahnya relatif kecil. Berdasarkan data statistik, tingkat kejahatan di Jepang jumlahnya satu per lima dari Amerika dan Eropa. Selain itu, sekitar 92% kejahatan selalu dapat ditanggulangi oleh polisi. Jadi kalau kecopetan, hampir dipastikan 92% itu copet akan tertangkap. Oleh karena itu, di Tokyo, kita akan relatif aman kalau berjalan sendirian di kala malam. Naik kereta bawah tanah saat malam juga aman bagi wanita.

Meski demikian, penjahat yang paling sering beroperasi dalam kereta yang berdesak-desakan dikenal dengan nama “Chikan”. Mereka adalah orang yang profesinya meraba-raba wanita di kereta. Dalam kondisi berdesak-desakan, tangan mereka beroperasi ke wilayah rawan para wanita muda Tokyo. Chikan adalah sejenis penjahat seksual di Jepang. Selain di kereta, mereka kerap menguntit wanita, mencuri pakaian dalam, dan sejenisnya. Namun kebanyakan dari Chikan ini tertangkap oleh penegak hukum di Jepang.

Menghadapi copet dan kejahatan, tak ada salahnya kita harus tetap waspada. Jagalah selalu barang bawaan kamu, simpan di balik baju, dan tetaplah cermat mengamati kondisi sekitar kita. 
Namun, sebagai teman seorang copet, kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan profesi pencopet. Mereka adalah produk dari struktur sosial masyarakat. Semakin senjang pendapatan suatu negeri, maka copet muncul sebagai hasil samping dari kecemburuan sosial. Copet adalah juga sebuah pemberontakan terhadap kemapanan mereka yang berpunya.

Di Jepang, masalah kesenjangan sosial diatasi dengan baik, hukum juga ditegakkan, dan kultur menghargai orang sangat melekat dalam diri orang Jepang. Namun, bukan tak mungkin pula, kala kondisi ekonomi Jepang menjadi semakin sulit dan kemiskinan meningkat, copet bisa saja muncul.

Anda punya pengalaman dengan Copet?

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *