
Ini cerita dari upacara Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (HUT RI) di Tokyo yang saya hadiri. Setiap hari Kemerdekaan, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Jepang selalu menyelenggarakan upacara HUT RI yang bertempat di Wisma Duta RI.
Di upacara tersebut, selain pejabat dan staf KBRI, juga turut diundang masyarakat Indonesia lainnya, dan juga beberapa orang Jepang yang memiliki simpati ataupun keterkaitan dengan Indonesia. Salah satu orang Jepang tersebut adalah Watanabe-san, umur 81 tahun. Kami menyebutnya dengan panggilan “Obaa-san”, atau “nenek” dalam bahasa Jepang. Ia orang Jepang asli. Tapi cinta pertamanya adalah Indonesia. Obaa-san lahir pada tahun 1929 di kota Medan. Ia tinggal di sana hingga tahun 1941. Saat itu ia kelas 6 SD. Ayahnya adalah Konsul Jendral Jepang di Medan. Sebelum Perang Dunia ke-II meletus, ayahnya ditarik kembali ke kampung halamannya di Nagasaki, Jepang. Meski sudah kembali ke Jepang, kecintaan Obaa-san pada Indonesia tak pernah putus.
Kenangan masa kecil yang indah di Medan senantiasa membekas di hati Obaa-san. Ia menyesalkan terjadinya Perang Dunia yang membuat bangsa-bangsa bertikai. Jepang ataupun negara lainnya harus belajar bahwa peperangan hanya membawa penderitaan.
Oleh karena itulah, Obaa-san, yang juga berprofesi sebagai seorang perawat, kemudian membentuk Asosiasi Persahabatan Jepang-Indonesia. Asosiasi ini aktif di berbagai kegiatan sosial. Menurut Obaa-san, Indonesia dan Jepang adalah sahabat yang saling membantu saat membutuhkan. Saat terjadi tsunami di Aceh, bencana bom bali, dan tragedi lain di Indonesia, Obaa-san selalu menggalang bantuan bagi Indonesia. Sebaliknya, saat Jepang dilanda tsunami Maret lalu, Indonesia berada di garda terdepan yang terjun menolong.
Selain melalui kegiatan sosial, rasa cinta Obaa-san terhadap Indonesia juga ditunjukkan dengan kehadirannya di setiap acara maupun upacara 17 Agustus di KBRI Tokyo. Saat 17 Agustus tiba, Obaa-san selalu datang dengan penuh semangat. Bukan hanya di upacara pengibaran, namun juga di upacara penurunan bendera. Ia datang bersama rekan-rekannya dari Asosiasi Persahabatan Jepang-Indonesia, yang sebagian besar pernah tinggal di Indonesia.
Pada upacara 17 Agustus 2011 hari ini, Obaa-san kembali hadir di tengah kami para peserta upacara. Sudah lebih dari empat Duta Besar Indonesia yang menjadi inspektur upacara, Obaa-san selalu hadir. Upacara, yang bertempat di Wisma Duta, KBRI Tokyo tersebut, menurut Obaa-san, mampu membangkitkan kenangan-kenangan indahnya tentang Indonesia.

Di usianya yang ke-81 tahun, Obaa-san masih terlihat energetik. Ia selalu menolak untuk dipapah atau dibantu berjalan, meski kadang ia kepayahan. Saat bendera merah putih dikibarkan, ia masih sanggup berdiri dan memberi hormat. Ia juga tetap semangat jalan kian kemari menemui rekan maupun warga Indonesia yang hadir.
Meski cuaca saat upacara bendera cukup panas, Obaa-san mengatakan bahwa itu belum apa-apa dibandingkan kecintaannya pada Indonesia. Usianya mungkin sudah tua, kemampuannya mungkin sudah menurun, tapi semangat dan cintanya pada Republik Indonesia masih tinggi.
Melihat semangat Obaa-san mengikuti upacara bendera hari ini, saya merasa malu. Banyak dari kita yang masih muda sudah mulai “enggan” ikut upacara bendera. Mulai dari alasan panas, ditambah saat itu jatuh pada bulan puasa, serta tidak melihat manfaaat dari upacara bendera, hingga alasan lainnya.
Mungkin ada berjuta alasan yang masuk akal untuk enggan mengikuti upacara. Sayapun kerap begitu. Tapi hari ini, di musim panas kota Tokyo yang menyengat, di hari puasa yang memekatkan tenggorokan, saya belajar dari Obaa-san yang orang Jepang asli, tentang makna cinta, disiplin, dan pengorbanan bagi bangsa.
Selamat Hari Ulang Tahun RI. Dirgahayu !
