Pak Tua Soba dan Dedikasi Kehidupan

Pak tua Suzuki dan istrinya di warung soba milik mereka / photo junanto

Tak jauh dari tempat saya tinggal, ada satu warung Soba sederhana. Pemiliknya adalah Pak tua Suzuki. Usianya sekitar 70 tahun. Setiap hari saya melewati warungnya, baik saat berangkat ataupun pulang bekerja. Saat lewat di depan warung Soba itu, saya dapat menghirup aroma harum dari kuah soba buatan pak Suzuki. Selama tiga tahun tinggal di Tokyo, saya kerap mengunjungi warung itu untuk mencicipi Soba hangat ataupun Soba dinginnya.

Satu hal yang membuat saya suka dengan warung itu adalah kehangatan personal dari Pak Suzuki.  Usai menyajikan soba, ia biasanya duduk di salah satu kursi di pojok warungnya, sambil membaca koran. Sembari makan soba, saya kerap ngobrol-ngobrol dengannya. Kitapun jadi saling mengenal.

Pak Suzuki masih membuat sendiri sobanya setiap hari. Kalau pagi tiba, ia meracik tepung soba hingga menjadi adonan soba. Adonan itu ia iris-iris sehingga menjadi potongan mie soba.

Selama lebih dari 40 tahun lamanya, pak Suzuki membuat soba. Di warungnya, ia dibantu istri dan satu stafnya. Ia juga masih naik motor untuk mengantar soba ke pelanggan-pelanggannya. Ya, warung soba pak Suzuki juga memberikan layanan “delivery” untuk pelanggan di sekitar wilayahnya. Dengan motor tuanya, ia membawa soba ke rumah para pelanggannya.

Sesekali, saya bertemu Pak Suzuki sedang mengendarai motornya untuk mengantar soba.

“Konnichiwa!”, begitu ia selalu berteriak dengan semangat kalau berpapasan dengan saya di siang hari.

Cinta Suzuki-san dalam semangkuk soba / photo junanto

Melakukan pekerjaan dengan “passion” dan serius adalah ciri dari kebanyakan orang Jepang. Pak Suzuki mengatakan pada saya bahwa “bekerja itu mulia”. Apapun pekerjaan itu, harus kita lakukan dengan sepenuh hati.  Persis apa yang dikatakan Confusius, “Wherever you go, go with all your heart”.

Bagi pak Suzuki, bekerja bukanlah sekedar mencari untung, apalagi ingin menjadi kaya. Ia membuktikan bahwa membuat soba adalah dedikasinya pada kehidupan. Saat meracik soba, ia bagai seorang maestro. Ia bagai Shakespeare dengan Othello-nya, Nietzche dengan Uebermensch-nya, Da Vinci dengan Monalisa-nya, terlihat orkestratik, takzim, dan khusyuk.

Di Jepang, saya jarang sekali melihat restoran yang menyajikan aneka ragam makanan. Umumnya mereka fokus hanya pada satu menu, soba saja, udon saja, sushi saja, atau tempura saja.Hal itu membuktikan bahwa kesetiaan, dedikasi pada pekerjaan, menjadi jauh lebih penting dalam kehidupan mereka, ketimbang keuntungan semata.

Ada peribahasa Jepang yang mengatakan “Mochi wa Mochiya”. Pepatah itu secara harfiah berarti “Untuk mencari mochi terbaik, pergilah ke tukang mochi”. Esensinya adalah seseorang harus melakukan sesuatu secara serius hingga mencapai keahlian.

Kecintaan dan keseriusan pada pekerjaan itu, membuat saya jarang sekali mendengar orang Jepang yang mengeluh pada pekerjaannya. Meski ia “hanya” tukang parkir, supir bis kota, ataupun pemilik warung soba, semuanya bangga pada pekerjaannya. Bekerja itu mulia sehingga mereka melakukan dengan sepenuh hati, passionate, dan bangga.

Saat saya katakan padanya bahwa sebentar lagi saya akan kembali ke Indonesia, Pak Suzuki menyalami saya dengan erat. “Arigatou”, katanya dengan berbisik sambil merapatkan badannya ke saya.

Iiie, watashi, Arigatou” , jawab saya. “Justru sebaliknya, saya yang harusnya berterima kasih pada pak Suzuki”.

Ya, saya yang harus berterima kasih padanya. Setiap makan di warungnya, berbicara dengannya, saya belajar banyak tentang kehidupan. Tentang passion, tentang dedikasi, tentang kebahagiaan.

Tak jarang kita, bahkan saya sendiri, sering mengeluhkan pekerjaan sendiri. Yang masalah begini lah. Begitu lah. Kerap kali pula kita menyalahkan orang lain, ataupun menganggap pekerjaan atau posisi kita tidak penting, “Ah, saya kan cuma staf rendahan, cuma kepala bagian, cuma sopir, cuma tukang mie ayam, cuma karyawan biasa, cuma mahasiswa, dan cuma lainnya …. ”.

Keluhan dan kegalauan itu berujung pada hilangnya passion pada pekerjaan.  Setiap hari adalah keluhan demi keluhan.

Kitapun gagal berdamai dengan diri kita sendiri.

Akibatnya, pekerjaan jadi asal-asalan. Kita bekerja, hanya mencari nafkah. Menunggu gajian. Kita buat usaha, hanya mencari untung. Acap kali menghalalkan segala cara. Lupa pada esensi kemuliaan pekerjaan itu sendiri.

Dan di warung soba sederhana itu, pak tua Suzuki mengajari saya arti cinta pekerjaan dan dedikasi pada kehidupan.

Arigatou Suzuki-san!

Arigatou Suzuki-san !

2 comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *