Siapa tak kenal lagu “Geef Mij Maar Nasi Goreng”? Lagu yang populer di Belanda dan Indonesia tersebut dinyanyikan oleh Wieteke van Dort. Ia adalah orang Belanda yang lahir pada tahun 1943 di Surabaya. Wieteke meninggalkan Indonesia ke Belanda, saat berusia 14 tahun. Kini, ia tinggal di Den Hag. Usianya 70 tahun.
Saya sendiri adalah penggemar Wieteke van Dort. Lagu-lagunya sangat unik karena menggambarkan kecintaan orang Belanda pada kehidupan di Indonesia. Kalau melihat lirik-lirik lagunya, selain berisi kecintaan, juga kerinduan pada kehidupan di Indonesia. Namun informasi mengenai Wieteke sangat minim di internet. Ia memang memiliki website, tapi sayangnya semua dalam bahasa Belanda, sehingga tak banyak yang bisa memahaminya.
Saat seorang kawan mengajak saya untuk menemui Wieteke van Dort beberapa hari lalu, saya langsung menyambut gembira. Mbak Maya, penggagas komunitas Plesiran Pecinan Surabaya, menghubungi saya dan memberitahu kalau Wieteke van Dort sedang berlibur di Jawa Timur. Dan yang menarik lagi, ia bersedia menerima kita untuk ngobrol-ngobrol.
Kamipun menuju villa Kaliandra, milik Yayasan Kaliandra Sejati, yang terletak di Desa Ledug, kaki Gunung Arjuna, Pasuruan. Di sana, Wieteke sedang menjalani liburan bersama suaminya, Theo Moody, dan dua orang kawannya, Reen dan Iest. Perjalanan menghabiskan waktu sekitar 1,5 jam, dari Surabaya ke villa Kaliandra.
Setiba di Kaliandra, kami diterima dengan hangat oleh tante Wieteke, suami, dan kawan-kawannya. Di usianya yang sudah 70 tahun, tante Wieteke masih tampil prima dan energik. Ekspresinya juga hangat dan penuh semangat. Dari semula ngobrol-ngobrol di beranda luar, ia malah mengajak kita untuk sarapan pagi bersama di beranda dalam villa yang sangat indah itu. Suasana villa Kaliandra memang sungguh nyaman dan cocok untuk mereka yang ingin berlibur jauh dari keramaian kota. Theo Moody menyebut tempat itu sebagai “paradise”.
Rupanya ini adalah kali kedua mereka berlibur di sana. Ya, meski tinggal di Belanda, kecintaan tante Wieteke pada Indonesia tidak pernah luntur. Setiap tahun, ia dan suaminya selalu berlibur ke Indonesia. Bisa dua hingga tiga kali dalam setahun. Ia selalu mampir Surabaya, sebagai kota masa kecilnya. Di Surabaya, Wieteke masih memiliki sahabat masa kecil yang kini sudah sama-sama berusia 70 tahun. Namanya Poplin dan Rosie. Mereka kadang bertemu, melakukan reuni, dan mengenang masa kecil mereka di Surabaya.
Bagaimana Surabaya sekarang menurut tante Wieteke? Sejak dulu, Surabaya sudah ramai, dan sekarang semakin ramai. Tapi ia kagum dengan kondisi Surabaya kini yang lebih tertata rapi. Ia bercerita tentang masa kecilnya di Surabaya. Keluarga Wieteke tinggal di Jalan Supratman No. 70. Rumah itu masih ada hingga kini namun sudah dimiliki orang lain. Ia kerap berhenti di depan rumahnya dulu untuk mengenang masa-masa kecilnya. Wieteke juga masih ingat kondisi di jalan Embong Sawo, Darmo, hingga pabrik karet milik ayah tirinya di Ngagel Jaya.
Sambil menerawang jauh, ia teringat peristiwa di tahun 1957. Saat itu, Presiden Sukarno menasionalisasi asset-aset milik asing yang ada di Indonesia. Dan otomatis, keluarga van Dort kehilangan seluruh hartanya. Mereka juga harus meninggalkan Indonesia, bersama dengan sekitar 300 ribu orang Belanda lainnya. Kembali ke Belanda pada masa itu bukanlah hal yang menyenangkan. Mereka harus beradaptasi kembali dengan cuaca yang dingin, makanan yang “tidak enak”, hingga penerimaan yang kurang baik dari warga Belanda.
Wieteke muda kemudian menempuh pendidikan di Akademi Seni dan Drama. Dari situlah, ia kemudian berkecimpung di dunia seni dan pertunjukan. Di Belanda, Wieteke van Dort lalu dikenal sebagai artis, komedian, penyanyi, dan pembawa acara di berbagai media, baik televisi maupun panggung-panggung.
Program televisinya, The Late Late Lien Show, mendapat penggemar yang banyak, umumnya para orang-orang tua di Belanda yang memiliki kenangan pada Indonesia. Di program itu, Wieteke menjadi host dengan berperan sebagai Tante Lien. Acara Lien Show mengangkat berbagai topik, dan sebagian besarnya adalah kenangan pada Indonesia, atau berbagai hal yang berkaitan dengan pengalaman di masa “Indische”.
Ia bercerita, kalau dalam penampilannya menyebutkan kata-kata Indonesia, seperti “bangkrut”, “makan”, atau kata lainnya, banyak yang ikut-ikutan mengulang kalimat itu sambil mengingat-ingat artinya. Mereka seolah dibawa pada masa kecilnya dulu.
Program Tante Lien sudah berakhir beberapa tahun lalu. Tapi di usianya kini, ia belum berhenti. Wieteke masih terus beraktivitas. Setiap hari, ia sibuk mengisi panggung sandiwara, cerita anak-anak, dan tentu tetap menyanyi di berbagai acara. Meski sudah tinggal di Belanda, kerinduan dan kecintaan Wieteke van Dort pada Indonesia tak pupus. Ia terus mencipta lagu-lagu yang berisi kerinduan pada Indonesia. Lagu nasi goreng bercerita tentang kerinduan pada nasi goreng. Selain itu, ada lagi lagu “Terima Kasih voor jouw nasi”, yang bercerita tentang terima kasihnya pada nasi di Indonesia.
Selain menyanyi, Wieteke kini juga sedang dalam proses menulis buku. Ia menuliskan kisah-kisah masa kecilnya di Surabaya dalam beberapa seri buku. Saat ini bukunya masih berbahasa Belanda. Namun saya menyarankan juga untuk segera dapat diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, agar orang Indonesia dapat membaca rekaman Surabaya tempo doeloe dari kenangan seorang Belanda yang pernah tinggal di sana.
Kurangnya penghargaan pada seniman
Ada satu hal yang disesalkan oleh Wieteke van Dort tentang karya-karyanya di Indonesia. Hal itu menyangkut soal penghargaan pada seniman. Ia bercerita bahwa dulu pernah ada orang Indonesia yang menawarkan kontrak atas lagunya “Geef Mij Maar Nasi Goreng”. Lagu itu akan diputar di Indonesia dalam berbagai rekaman. Tapi, hingga saat ini, ia tak pernah menerima satu peserpun royalti atau penghargaan atas lagu itu. Padahal, lagu itu sering diputar di berbagai acara televisi berskala nasional, acara-acara resmi, bahkan di lomba-lomba reality show.
Wieteke mengatakan bahwa kalau ia membawakan lagu seperti Bengawan Solo, atau Jembatan Merah, ia selalu mengeluarkan uang untuk membeli royalti atas penggunaan lagu tersebut. Ia bahkan pernah memberikan kompensasi langsung ke Gesang, pengarang lagu Bengawan Solo, karena menyanyikan lagu tersebut di salah satu albumnya. Yaah, penghargaan pada seniman di Indonesia memang masih belum seperti di Belanda, demikian ujarnya.
Terlepas dari itu semua, Wieteke tetap cinta pada Indonesia. Keindahan alam Indonesia, keramahan orang-orangnya, kelezatan masakannya, hingga kenangan indah di masa kecilnya, menjadikan Indonesia sebagai tanah air keduanya. Sambil makan gado-gado, Wieteke mengatakan bahwa makanan Indonesia adalah satu hal yang selalu membuatnya rindu. Di Belanda ada banyak warung Indonesia, tapi tetap saja tidak selezat di Indonesia.
Pagi hari itu, petugas villa menawarkan nasi goreng pada tante Wieteke. Tapi ia menolak dengan alasan sudah kenyang. Sambil bergurau saya katakan, “Katanya tante kangen nasi goreng, sambil merefer lagu nasi goreng, kenapa sekarang tidak mau makan?” Ia menjawab sambil tertawa, “Hahaha.. saya sudah tua sekarang, harus kurangi makanan yang berat-berat di pagi hari”.
Tante Wieteke kemudian memberikan saya salah satu CD albumnya yang berjudul, “Land van de Zon”, atau Land of the Sun. Album itu berisi lagu-lagu yang mengacu pada keindahan negeri Indonesia. Ya, negeri kita memang indah, kaya, dan penuh potensi. Tak heran kalau banyak orang asing yang rindu pada keindahannya. Tentu amat disayangkan, kalau kita tidak mampu menjaganya.
Salam Nasi Goreng. Geef Mij Maar Nasi Goreng !