Satu hal menarik dari kehidupan malam di Tokyo adalah ragam klub live housenya. Di berbagai sudut kota, tersebar aneka live house yang memainkan bermacam musik. Kalau anda pecinta jazz, cobalah ke Ochanomizu. Beragam klub jazz dapat ditemui di sepanjang jalannya. Kalau mau coba yang agak berkelas, bisa ke Cotton Club atau Blue Note.
Tapi bagi pecinta musik rock, pilihannya lebih banyak. Semalam saya diajak oleh rekan Jane, Norman, dan Abid, menyambangi satu klub rock favorit mereka. Namanya “Bauhaus”. Klub kecil ini terletak di daerah Roppongi. Keunggulan Bauhaus dibanding klub lainnya adalah soal tema. Bauhaus mengangkat tema yang sesuai dengan umur saya, rock tahun 70 dan 80-an. Yeaaay!
Then We Rock !
Memasuki Bauhaus, Jane sudah langsung disambut hangat oleh Rio Takagi, wanita setengah baya dan penyanyi di klub itu. Kita diantar memasuki klub kecil yang terletak di lantai dua sebuah gedung tak jauh dari Hard Rock Café, Roppongi. Kehangatan penerimaan dan pelayanan personal adalah kelebihan Bauhaus.
Suasana kekeluargaan langsung kita rasakan di klub ini. Keunikan lainnya dari Bauhaus adalah mereka menerapkan “total football” live house. Artinya, mulai dari pelayan, juru masaknya, kasir, dan pemain musiknya, dilakukan oleh orang yang sama. Ya, mereka-mereka juga.
Semula saya tidak percaya. Namun saat melihat para pelayan menerima kami, mengajak ngobrol, menerima order, lalu naik ke atas panggung, dan memulai aksi rock, saya cukup terkejut. Waah, betul-betul live house “total football” nih.
Penampilan ciamik gitaris mereka, Kay-chan, patut diacungi jempol. Usianya mungkin sudah lebih dari 50 tahun. Tapi gaya bermainnya penuh semangat dan mirip anak muda. Kay-chan membuka penampilan dengan lagu “Jumpin Jack Flash” dari Rolling Stone. Suasana klub mulai menghangat.
Kita lalu berkenalan dengan Dave. Nah dia ini penyanyi baru di Bauhaus. Baru bekerja dua minggu. Ia melayani tamu, menjadi bartender, tapi sekaligus juga menjadi vokalis di club itu. Suaranya dahsyat. Ia menyanyikan lagu “Sweet Child O Mine” dari Guns and Roses dengan lengkingan yang luar biasa.
Usai menyanyi, Dave mampir di meja kita. “Saya dari Filipina, baru kerja di sini dua minggu” ujarnya membuka pembicaraan. “Mau pesan minum apa?”, tanyanya. Kita pun menyebut pesanan dan Dave mencatat, lalu mengambilkan minuman kita. Duduk sebentar di meja, Dave bilang, “Saya balik nyanyi dulu ya”. Iapun naik lagi ke atas panggung.
Diselingi minuman, kudapan, dan alunan musik rock 80-an, Bauhaus adalah sebuah oase di tengah rutinitas kehidupan kota Tokyo. Bukan hanya soal mendengarkan musik, tapi juga suasana kekeluargaan.
Rio Takagi, sang penyanyi, tak lama kemudian menghampiri kami dan memberi tahu akun facebooknya. “Yuk, kita temenan di FB”, ujarnya. Tak seperti orang Jepang yang tertutup, ia justru sangat terbuka. Dan, kitapun semua berhubungan pertemanan dengan Takagi-san melalui jejaring Facebook.
Sebelum pulang, ia mengundang kita untuk datang pada penampilan band-nya di bulan Desember. Katanya ia akan manggung bersama rekannya, Seki Show, seorang pemusik Jepang yang cinta Indonesia.
Salam Bauhaus.