Apa yang membuat Jepang jadi negara maju? Bukan karena teknologi, tapi karena tingkat literasi masyarakatnya. Saat Jepang memenangi pertempuran laut melawan Rusia di awal abad XX, kemenangannya bukan didukung oleh teknologi, melainkan tingginya tingkat literasi. Saat itu, hanya 20 persen tentara Rusia yang bisa “membaca dan menulis”. Sebaliknya seluruh personil tentara Jepang tahu “membaca dan menulis” serta mahir menggunakan peralatan militer modern. Meski kemudian Jepang kalah perang di tahun 1945, negeri itu tetap bisa bangkit kembali menjadi negara berkekuatan ekonomi besar hingga saat ini.
Ya, teknologi bisa diambil setiap saat, bisa dibeli kapan saja, tapi literasi hanya bisa dibangun oleh waktu dan kesabaran. Literasi yang dimaksud di sini adalah tingkat kemampuan masyarakat dalam membaca dan menulis. Tapi tak berhenti di situ, karena literasi juga kini berkembang secara fungsional terkait dengan berbagai fungsi dan ketrampilan hidup.
Hal yang memprihatinkan dari negeri kita saat ini bukanlah krisis nilai tukar. Krisis ekonomi bisa datang dan pergi. Tapi krisis membaca adalah masalah serius kebangsaan. Survei Unesco menunjukkan kalau Indonesia adalah negara di ASEAN yang minat bacanya paling rendah. Sementara itu, perbandingan jumlah buku yang dibaca siswa SMA kita juga memprihatinkan. Kalau di Jepang, anak SMA wajib membaca 22 buku, sementara di negeri kita nol buku. Hal ini pernah disindir oleh Taufiq Ismail dengan istilah “Tragedi Nol Buku”.
Hasil survey dari Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) maupun Programme for International Student Assessment (PISA) juga mencatat bahwa kemampuan memahami dan keterampilan menggunakan bahan-bahan bacaan, khususnya teks dokumen, pada anak-anak Indonesia usia 9-14 tahun berada di peringkat lima terbawah. Angka yang masih memprihatinkan.
Oleh karenanya, kegiatan yang dirintis oleh Ibu Trini Haryanti dan mbak Dini Wikartaatmadja dari Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia (YPPI) ini perlu kita dukung bersama. Pagi tadi, saya datang pada acara puncak Hari Kunjung Perpustakaan (HKP) di Surabaya (29/9). Acara HKP, yang kegiatannya dipusatkan di Perpustakaan Bank Indonesia Surabaya itu, dilakukan oleh para pegiat literasi di Surabaya. Hadir juga Pak Bambang Haryanto, seorang “jendral” dari Republik Aeng-Aeng yang bermarkas di kota Solo, serta pegiat literasi lain dari Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia (YPPI), Asia Foundation, Perpustakaan Lentera, Kampung Sahabat Anak, IIP, dan Taman Bacaan Masyarakat Surabaya Barat.
Kegiatan yang sebelumnya dilakukan setiap hari Minggu dan berlangsung selama satu bulan penuh itu juga dilaksanakan serentak di 13 kota.
Sejak pagi hari, perpustakaan BI yang terletak di Taman Mayangkara, telah dipenuhi oleh berbagai komunitas pecinta buku, pustakawan, maupun anak-anak sekolah di kota Surabaya. Puluhan anak-anak SD sekitar kota Surabaya diajak bergoyang Cesar bersama oleh kakak-kakak pustakawan, mendengarkan dongeng anak-anak yang dibawakan oleh pendongeng terkenal, mas Aryo, menyaksikan pertunjukan topeng monyet, dan lomba membuat menara buku.
Acara ditutup dengan pemberian secara simbolis gerobak buku bantuan dari Bank Indonesia Surabaya kepada Perpustakaan Lentera. Mas Affan dan Mbak Fransiska dari perpustakaan Lentera adalah anak-anak muda Surabaya yang memiliki idealisme dan cita-cita mulia untuk memperluas akses anak-anak pesisir Surabaya pada buku dan pendidikan. Mereka juga membantu mengelola SD Pesisir yang memberi kesempatan pendidikan bagi anak-anak petani atau nelayan miskin di sekitar pesisir pantai Kenjeran, Surabaya.
Kegiatan mulia seperti yang dilakukan pagi tadi tentu sangat membanggakan kita semua. Di tengah krisis ekonomi dan krisis membaca saat ini, masih banyak anggota masyarakat yang punya kepedulian tinggi pada pendidikan anak-anak miskin. Dan yang menarik, upaya mereka dilakukan dengan sebuah cita-cita tulus, tanpa tujuan politis (karena saya tidak melihat adanya spanduk caleg atau calon presiden di belakang itu semua).
Indonesia menghadapi masalah dan tantangan berat dalam perekonomian saat ini. Meski pertumbuhan ekonomi kita masih tercatat tinggi untuk ukuran negara berkembang, angka itu saja tidak cukup. Pertumbuhan ekonomi tinggi tanpa diikuti oleh kualitas masyarakatnya hanya akan menjadikan pertumbuhan itu tumbuh di atas tanah yang rapuh. Untuk menguatkan fondasi perekonomian Indonesia, jawaban jangka panjangnya bukan dengan membeli teknologi, atau membeli barang-barang dari luar negeri. Tapi dengan meningkatkan literasi di masyarakatnya. Masyarakat yang matang memiliki budaya membaca yang tertanam kuat di setiap individunya.
Dukungan pemerintah tentu sangat dibutuhkan dalam hal ini. Namun kesadaran dari masyarakat, terutama kaum terpelajar, juga tak kalah penting. Membiasakan membaca di setiap tingkat masyarakat adalah sebuah perjuangan yang harus terus dilakukan oleh negeri kita. Perpustakaan sebagai “sanctuary” atau benteng pertahanan moral membaca perlu “reach out”, atau keluar merengkuh masyarakat. Perpustakaan, demikian kata Pak Bambang Haryanto, tidak bisa hanya sekedar jadi “biara” yang hening dan sunyi, yang didatangi masyarakat sesekali saja. Tapi perpustakaan harus menjadi ikon peradaban negeri ini.
Mari kita biasakan membaca. Minimal satu buku setiap bulan. Kalau bisa lebih, bagus. Karena itulah perintah pertama Tuhan pada manusia, Bacalah!
Salam literasi.