Eksotisme Blue Fire di Kawah Ijen

Eksotisme Kawah Ijen / photo junanto
Eksotisme Kawah Ijen / photo junanto

Filsuf Immanuel Kant pernah berkata, “Ada dua hal yang membuatku kagum, langit berbintang, dan hukum moral di hatiku”. Dan langit berbintang itulah yang saya lihat di kawasan Gunung Ijen, Jawa Timur, saat saya bersiap mendaki ke puncak kawahnya. Sebagai anak kota, atau city boy, yang lahir dan dibesarkan di tengah gemerlap lampu ibu kota, melihat langit yang penuh sesak dengan bintang gemintang  adalah sebuah kemewahan. Dan tentunya, sebuah keindahan.

Pukul 00.30 di Pos Paltuding, saya memulai pendakian ke kawah gunung Ijen. Kawah Ijen, yang terletak di perbatasan Bondowoso dan Banyuwangi itu, adalah satu keindahan gunung berapi di Indonesia yang wajib dilihat, terutama bagi pecinta fenomena alam. Kawah itu berada pada ketinggian 2388 meter di atas permukaan laut.

Sebelum mendaki, kita diperingatkan oleh pemandu bahwa medan yang akan dilalui tidak ringan. Kita diperingatkan untuk berhati-hati.

Perjalanan ke atas kawah memang tidak mudah, terutama bagi saya yang bukan seorang pendaki gunung. Saya harus berjalan kaki sepanjang tiga kilometer. Medan yang ditempuh juga mendaki, bahkan sekitar 1,5 kilometer di antaranya, adalah jalan yang menanjak 45 derajat. Duh, andai ada gondola yang bisa mengangkut kita hingga puncak ya (sambil mengkhayal).

Berbeda dengan kondisi di Gunung Bromo yang banyak terdapat ojek atau kuda, di Ijen suasananya lebih “suci”, dalam arti  bersih dari kendaraan, juga pedagang. Kita hanya bisa berjalan kaki untuk menuju puncaknya. Apabila kita berangkat dari Banyuwangi, mobil hanya diperkenankan sampai pos Paltuding, di kaki pegunungan.

Tapi, dengan berjalan kaki itulah saya justru menemukan keheningan. Hanya ada saya, gunung, dan langit berbintang. Meski naik mendaki bersama kawan-kawan, kita menahan diri untuk tidak banyak berbicara untuk menghemat energi. Sesekali saja, kawan saya Gde, yang sudah beberapa kali naik gunung Ijen, memberi semangat. “Tinggal bentar lagi pak, sedikit lagi menanjaknya”. Lumayan membangkitkan semangat.

Waktu terbaik mendaki Gunung Ijen adalah di musim kemarau, sekitar bulan Mei hingga Oktober, saat dini hari hingga pagi. Kalau kita bisa tiba di puncak kawah sebelum matahari terbit, kita dapat menyaksikan “Blue Fire” atau “Api Biru, sebuah fenomena alam yang sangat indah.

“Blue fire” memang menjadi tujuan kami mendaki. Api berwarna biru tersebut adalah api yang tercipta dari semburat belerang cair dari dalam kawah Ijen. Panasnya kawah yang berpadu dengan belerang menciptakan efek api berwarna biru di permukaan. Fenomena ini hanya bisa disaksikan sebelum matahari terbit. Oleh karena itu, kita harus melakukan pendakian, setidaknya mulai pukul 01.00 dari pos Paltuding.

Setelah melalui perjuangan mendaki yang lumayan “ngos-ngos-an”, saya tiba di puncak kawah pada sekitar pukul 03.30. Dan di puncak itulah, saya menyaksikan “blue fire” dengan mata kepala sendiri.

Fenomena Blue Fire di Kawah Ijen / photo junanto
Fenomena Blue Fire di Kawah Ijen / photo junanto

Kawah Ijen adalah satu-satunya kawah di Indonesia yang memiliki fenomena alam “blue fire”. Di dunia, hanya ada dua tempat yang memiliki Blue Fire. Selain Indonesia, menurut pemandu kita, blue fire juga terdapat di Islandia. Karena ini fenomena langka, tak heran kalau banyak sekali orang asing yang mendaki kawah Ijen pada dini hari itu. Umumnya mereka dari Eropa, seperti Jerman, Belanda, Perancis, Belgia.

Blue fire adalah sebuah fenomena, yang mampu membuat saya ternganga dan kagum terus menerus. Semburat panas dari kawah mengeluarkan kilatan api berwarna biru. Menjilat-jilat udara di atasnya. Rasa lelah mendaki, rasa gigil karena angin dingin pegunungan, semua sirna dan hilang saat melihat keindahan di bawah sana.

Saat matahari terbit, saya  melihat keindahan lainnya, yaitu danau kawah Ijen dengan jelas. Danau yang terbentuk dari letusan gunung berapi sekitar 2500 tahun lalu itu, memiliki air berwarna hijau toska. Sungguh indah. Danau kawah Ijen adalah danau yang memiliki keasaman tinggi, dan merupakan danau vulkanik terbesar di dunia. Dengan kedalaman hingga 200 meter dan luas lebih dari 5000 hektar, danau kawah ijen adalah sebuah fenomena.

Saat mentari bersinar itulah, saya bisa melihat aktivitas penambangan belerang di kawah Ijen. Para penambang memanggul bongkahan belerang di dasar kawah kemudian memanggulnya ke bawah untuk dikumpulkan pada perusahaan penambangan. Rata-rata seorang penambang, bisa mengangkut antara 50 hingga 90 kilogram belerang sekali jalan. Dan hebatnya, mereka bisa berjalan dengan cepat untuk naik turun gunung.

Saat saya bersusah payah mengatur nafas turun dari kawah, karena medan yang curam, seorang kakek tua dengan ringannya menyalip saya sambil memanggul 80 kilogram belerang. Oh noooo !!

Wajah Penambang Belerang / photo Junanto
Wajah Penambang Belerang / photo Junanto

Beberapa tahun lalu, para penambang ini bekerja dengan penuh risiko tanpa dilindungi oleh asuransi jiwa. Namun, Bupati Banyuwangi saat ini, Abdullah Azwar Anas, membuat kebijakan agar seluruh penambang belerang dilindungi oleh asuransi. Syukurlah, karena tugas mereka sangat penuh dengan risiko.

Kawah Gunung Ijen, dan fenomena Api Biru adalah satu dari hal terindah yang pernah saya saksikan dengan mata kepala sendiri. Meski perjuangan mencapai ke sana lumayan berat, kesemuanya terhapus dengan keindahan di puncaknya.

Dan pada momen menyaksikan keindahan alam itu, saya teringat ungkapan Voltaire, “Dans ton Immensite”. Aku terpukau di hadapan ke-Maha Besaran –Mu. Maha Suci Allah.

The Mountaineers
The Mountaineers

3 comments

  1. Goa di Gunung Widodaren, Pesona Lain Gunung Bromo – Bagi penikmat alam Indonesia, Gunung Bromo pasti sudah tidak asing lagi. Pemandangan cantik gunung di Jawa Timur ini sering kali diburu para wisatawan lokal maupun manca Negara. tetapi, di balik Hamparan lautan Pasir Bromo dan sekitar gunung bromo, terselip gua dengan mata air yang cantik, yaitu Widodaren. Mungkin hampir dari semua wisatawan Bromo datang untuk menyaksikan ‘negeri di atas awan’ atau pemandangan sunset saja. Padahal bila Anda melihatnya lebih cermat lagi, terdapat banyak objek wisata yang dapat dijelajahi di sini. Salah satunya yang paling menarik adalah mata air di Gua Widodaren. Gua ini tidak jauh dari kawah Gunung Bromo . Namun, kondisi medan yang sulit membuat gua ini tidak bisa dilalui dengan kendaraan apapun. Walau begitu, Gua Widodaren sangat cocok menjadi objek penjelajahan para penyuka wisata petualangan. Untuk bisa sampai ke Gua Widodaren , Anda harus berjalan kaki selama 50 menit. Bagi yang sudah handal mendaki atau menuruni gunung, mungkin trek ini terbilang mudah. Akan tetapi, bagi Anda yang masih pemula, perjalanan ini bisa saja menjadi sangat melelahkan. Perjalanan menuju mulut gua akan terbayar ketika Anda sampai di sana. Pemandangan yang indah sangat berbeda ketika Anda saksikan dari puncak Wisata Gunung Bromo . Tempat ini sebenarnya tidak terlihat seperti gua pada biasanya. Akan tetapi, masyarakat sekitar menyebutnya dengan nama gua. Gua ini dijadikan sebagai lokasi pemujaan masyarakat Hindu Tengger. Di bibir gua, terdapat mata air yang mengalir cukup deras. Air tersebut dipercaya oleh masyarakat Suku Tengger sebagai air suci yang mampu menghasilkan panen yang melimpah. Selain itu, patung yang sering digunakan sebagai pemujaan umat Hindu juga berdiri kokoh di sini. Selain mata air, bibir gua juga menarik karena pemandangannya. Gunung Bromo terlihat berbeda dari posisi ini. Belum lagi kabut yang menutupi badan gunung, sangat cantik untuk dijadikan target bidikan kamera.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *