Agama Tanpa Agama

On Religion

Saya baru saja menyelesaikan satu buku yang menarik. JudulnyaOn Religion, karangan John D. Caputo. Buku ini menarik karena menawarkan sebuah konsep yang dikatakan oleh Caputo, ‘agama tanpa agama. Pesannya adalah kelanjutan buku sebelumnya yang berjudul, “Religion without religion”. Yang dimaksud Caputo dengan agama tanpa agama adalah laku agama namun tanpa harus terjebak atau terkungkung dalam lingkaran agama formal. Alasan ini didasari oleh sebuah keyakinan yang dimiliki Caputo bahwa itulah intisari agama apapun di dunia ini. Bahwa keberagamaan perlu memunculkan ‘tali kasih’ antar manusia.

Buku On Religion diawali oleh pendapat Caputo bahwa agama adalah bagi para pecinta (Religion is for lovers). Ia menulis bahwa manusia akan dihadapkan pada kebingungan pada begitu beragamnya agama di dunia. Ada agama timur, agama kuno, agama modern, monotheistic, polytheistic, dan bahkan atheis yang religius. Begitu banyak jenis agama dan begitu banyak yang harus dipahami. Perbedaan itu bahkan kerap menimbulkan pertentangan dan peperangan. Agama yang satu menganggap dirinya lebih benar, dan menghujat agama lainnya. Perang dan pertentangan mewarnai kisah agama-agama sepanjang sejarah. Menurut Caputo, sebenarnya agama adalah sesuatu yang sederhana, terbuka, dan memiliki makna klasik tentang cinta Tuhan. Namun ekspresi dari cinta Tuhan seperti apa, inilah yang perlu ditelaah lebih jauh. Kalimat cinta Tuhan saja tanpa pemaknaan akan seperti “macan ompong” belaka. Oleh karenanya, pertanyaan eksistensial yang diangkat oleh Caputo berasal dari pertanyaan St. Augustine dalam Confession, “What do I love when I love God”, apa yang aku cintai kala aku cinta pada Tuhan. Atau pertanyaan seperti “What do I Love when I Love You, my God?” Apakah aku mencintai Tuhan, agama, atau jangan-jangan hanya cinta pada diri sendiri .

Agama, menurut Caputo, adalah bagi para pecinta. Lawan dari pecinta ini adalah mereka yang tidak beragama atau tidak memiliki cinta. Orang yang tidak beragama dalam pandangan Caputo adalah orang yang egois, tak memiliki rasa cinta, yang tidak memiliki energi spiritual untuk mencinta, kecuali pada kepentingannya sendiri.

Hal menarik dari buku Caputo ini adalah sebuah pemikiran bahwa ‘agama’ yang dirindukan bukanlah agama formal, melainkan agama spritualitas yang mengedepankan cinta kasih. Spiritualitas cinta kasih itulah yang jauh lebih penting. Karenanya, Caputo yang banyak tertular pemikiran Jacques Derrida – menawarkan gagasan di atas: agama tanpa agama. Bukan berarti bahwa kita tidak meyakini agama, namun agama dimaknai sebagai cinta kasih atau religiositas. Sebab itu pula, Caputo menulis “Kebalikan manusia religius adalah manusia tanpa cinta. Agama adalah cinta kasih. Manusia religius adalah yang punya cinta (hal 5).”

Meski begitu, bukan berarti Caputo menafikan urgensi agama formal. Ia sendiri tetap memegang teguh tradisi keberagaamaan formal. Karenanya, setelah menawarkan gagasan ‘agama tanpa agama,’ dia menulis kembali: “Saya harus segera menambahkan bahwa agama-agama besar dunia sangat penting (hal 141).” Pernyataan ini menunjukkan bahwa Caputo tetap menghormati agama formal dan itu dibuktikannya.

Buku ini menarik untuk dibaca karena pemikiran Caputo seperti sedang menyindir atau menyentil keberagamaan manusia yang justru tidak mendatangkan kedamaian di muka bumi. Agama bahkan dijadikan alasan untuk pertentangan dan peperangan. Padahal ajaran agama adalah cinta kasih, yang merupakan makna otentik dari setiap agama. Itulah ruh agama. Dan agama harus diartikan sebagaibeing religious, kereligiusan manusia. Karena itu, apa yang dinyatakan Caputo, dalam konteks kekinian, di mana agama kerap dijadikan alat untuk saling menyerang antar umat, menjadi sangat relevan. Cinta kasih lah yang seharusnya kita kedepankan guna mewujudkan rasa damai, aman, dan saling menghormati antar keragaman. Kita tidak dapat sepenuhnya bersembunyi di balik benteng agama formal, dengan mengklaim diri sebagai yang terbenar. Anggapan itulah yang justru memandang agama lain salah.

Bagi yang menggemari buku-buku religius dan ketuhanan, membaca buku Caputo ini mengasyikkan. Namun bagi yang kurang tertarik, buku ini memang terkesan monoton dan berisi banyak khutbah karena Caputo kerap mengutip Kitab Suci. Namun di buku ini Caputo telah menuliskan sebuah karya filsafat postmodern yang sungguh populer, memiliki terminologi, dan pilihan kata yang kaya, namun menarik dibaca oleh pembaca umum.

Caputo mengajak kita untuk menukik lebih dalam tentang keberagamaan kita. Ia mengajak kita untuk meyakini pusat mistik dari keimanan, sesuatu yang supranatural, atau esensi dari agama itu sendiri. Sebelum kita memeluk sebuah agama, pusat inti agama ini harus kita peluk terlebih dahulu. Karena setiap upaya yang berusaha mendefinisikan secara rasional obyek-obyek agama sebenarnya mengecilkan makna agama. Itulah hal yang kerap dilakukan oleh para fundamentalisme. Kala manusia meyakini bahwa mereka telah mencapai dan memahami pengetahuan dari Tuhan, pada saat bersamaan manusia itu juga rentan terhadap dorongan fanatisme dan berkurangnya rasa tenggang yang dibutuhkan untuk menghargai mereka yang berbeda keyakinan. Upaya meniadakan semua hal yang bersifat absolut dalam agama tersebut inilah yang menurut Caputo dinamakan sebagai proses dekonstruksi. Mudah-mudahan kita tetap bisa berada dalam cinta.

Selamat akhir pekan. Selamat membaca buku. Salam.

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *