Bang Ramelan yang Saya Kenal

Pray Ramelan (paling kanan) bersama Nenek Ramelan (tengah) dan seluruh kakak-adiknya / photo Junanto

Saat Prayitno Ramelan mengumumkan rencananya untuk maju sebagai calon Gubernur DKI dari jalur independen, kami di keluarga Ramelan tentu saja kaget. Hal itu karena keluarga kami bukanlah keluarga yang punya darah politisi. Rata-rata pekerjaan keluarga kami adalah pegawai negeri. Bahkan almarhum kakek saya, Ran Ramelan, adalah seorang wartawan. Prayitno Ramelan sendiri adalah seorang purnawirawan militer, dengan pangkat terakhir Marsekal Muda TNI Angkatan Udara.

Namun pada akhirnya, seluruh keluarga ikut mendukung keputusan beliau, dan memberi doa. Tentu saja doa adalah opsi terbaik, terutama jika melihat beratnya tugas Gubernur DKI saat ini. Belum lagi melihat jalan yang panjang dan berliku untuk menuju kursi DKI-1 tersebut.

Secara personal, Prayitno Ramelan adalah Oom saya. Saya, dan keponakan-keponakan lain, memanggilnya dengan sebutan Oom Ayit. Ia adalah adik kandung dari ibu saya. Kakek kami, Almarhum Ran Ramelan, adalah seorang wartawan tiga jaman, yang juga pernah menulis beberapa buku dan naskah film. Almarhum kakek, menikah dengan Ibu Pariah (yang saat ini berusia 90 tahun), dan dikaruniai tujuh orang anak. Prayitno Ramelan adalah anak nomor lima dari tujuh bersaudara.

Di kalangan blogger Kompasiana, Prayitno Ramelan juga bukan nama asing. Ia dikenal sebagai Bapak Blogger Kompasiana, dengan panggilan Pak Pray. Dari idenya-lah blog publik Kompasiana ini lahir. Sebelumnya, ide awal Kompasiana hanyalah blog untuk wartawan Kompas saja (journalist blog).

Saya teringat membaca artikel di harian Kompas sekitar bulan September-Oktober 2008. Saat itu ada tulisan Pepih Nugraha tentang Kompasiana, sebagai blog-nya wartawan Kompas. Rupanya Pak Pray juga membaca artikel itu. Beberapa hari kemudian, ia bertemu saya dan bercerita bahwa ia mengirim e-mail ke Kang Pepih untuk mengusulkan agar Kompasiana dibuka juga bagi tulisan publik.

Ternyata ide itu disambut baik oleh Kang Pepih, sehingga Kompasiana kemudian bergulir menjadi sebuah blog publik besar seperti sekarang ini. Di awal-awal Kompasiana itulah (penghujung 2008), saya di-encourage oleh Pak Pray untuk menulis dan meramaikan Kompasiana. Sejak itu, saya tak bisa lepas dari Kompasiana.

Kembali ke Pak Pray, saya mengenal betul karakter Oom saya ini. Sebagai keponakan, hubungan kami sangat dekat. Kami dibesarkan dalam keluarga besar yang “guyub”. Pertemuan keluarga secara rutin diadakan setiap waktu di rumah nenek kami di kawasan Bendungan Jago, Kemayoran, tak jauh dari Kali Jiung.Berbagai pertemuan keluarga itu juga yang membuat hubungan keluarga Ramelan menjadi dekat.

Dari berbagai hubungan keluarga itu, saya melihat pembawaan pak Pray yang disiplin, keras, namun di sisi lain juga santai. Bagi saya, Pak Pray adalah seorang militer yang berhati sipil. Ia memiliki displin dan ketegasan seorang militer, namun kerap berpikir dan bertindak layaknya seorang sipil. Di sisi lain, sifat humorisnya juga tinggi. Setiap bertemu pak Pray, pasti banyak lelucon atau joke-joke yang ia lontarkan. Jadi, ia jauh dari kesan seram seorang jendral militer.

Di keluarga Ramelan, kepemimpinan Pak Pray juga sangat terasa. Banyak keputusan keluarga belum berjalan kalau ia belum memberikan suaranya. Hampir banyak keputusan besar di keluarga kami, juga dilakukan oleh Pak Pray. Namun bukan berarti Pak Pray adalah seorang yang otoriter, karena ia juga mendengarkan masukan dari seluruh anggota keluarga, termasuk keponakannya yang masih kecil. Sikap demokratis ini, diikuti sikap keras dan decisive, menjadi ciri Pak Pray di keluarga.

Soal keras dan disiplin, saya teringat waktu SMA dulu, pernah pergi keluar malam dengan anak sulung pak Pray yang usianya hampir sama dengan saya. Namanya Didit. Saat itu, kita berdua pergi ke pesta ulang tahun teman dan pergi bergadang sampai pagi. Padahal janjinya pulang jam 10 malam. Tentu saja kita tidak memberi kabar ke rumah, karena saat itu belum ada handphone, dan telpon umum masih sulit ditemukan. Maklum namanya anak SMA, jadi pikirannya tidak jauh dari main saja.

Sampai di rumah keesokan harinya, kita berdua kena tegur oleh Pak Pray. Kita diceramahi berjam-jam tentang pentingnya disiplin, kejujuran, dan arti keluarga dalam kehidupan. Ia mengingatkan bagaimana ibu dan nenek kita khawatir karena kita tak pulang semalaman. Pesan tersebut saya selalu pegang hingga sekarang. Dalam bekerja, saya selalu mengingat pentingnya disiplin, kejujuran, dan doa Ibu.

Pray bersama Eyang Ramelan / photo Junanto

Pak Pray sangat menekankan pentingnya Doa Ibu. Menurutnya, itu adalah kunci utama keberhasilan seseorang. Tak heran bila Pak Pray begitu cinta dengan Ibunya, nenek Ramelan. Saat ia sudah berpangkat Jendral dan dihormati anak buahnya, Pak Pray masih secara rutin menyempatkan diri mengunjungi dan memohon doa pada Ibunya di setiap kesempatan. Ia kerap berkomentar, “Ridho Allah itu adalah Ridho Ibu”.

Meski saat ini Pak Pray sudah purnawirawan, Ia tak diam dan berhenti berkarya. Prayitno Ramelan adalah seorang ahli intelijen, terror, dan keamanan. Selain membagi terus ilmunya melalui tulisan dan buku “Intelijen Berthawaf”, Pak Pray juga tetap sibuk bekerja di perusahaannya. Ia betul-betul gambaran dari ungkapan “Old Soldier Never Die”.

Kini, Pray Ramelan ingin maju sebagai calon independen Gubernur DKI. Sebuah keputusan yang tentu tidak mudah. Jakarta, adalah sebuah komplikasi. Hujan sebentar, jalanan macet, banjir, dan banyak warga mengungsi. Musim kemarau, debu dimana-mana, got mampet. Bila malam tiba, kita harus hati-hati di lampu merah dan kendaraan umum. Banyak pula gerombolan penjahat yang mengincar wanita sendirian. Jakarta, menjadi sebuah kampung yang ruwet dan penuh masalah. Kalau tidak ditangani dengan baik, Jakarta akan menjadi kota yang menghancurkan dirinya sendiri.

Oleh karena itu, menjadi Gubernur DKI bukanlah sebuah jabatan yang penuh prestise. Tak cukup hanya mengetahui masalah saja untuk menjadi Gubernur. Karena “To Know, is Different than To Do”. Mengetahui dan mengerti masalah Jakarta, serta mengusulkan penyelesaian, sangat berbeda dengan mengerjakannya. Banyak orang pandai dan intelek yang memahami Jakarta dan menawarkan solusi. Tapi itu saja tentu tak cukup.

Untuk implementasi kebijakan di Jakarta yang bagai rimba belantara, dibutuhkan ketegasan, kekuatan hati, dan keberanian menghadapi kecaman. Jakarta adalah sebuah melting pot berbagai suku bangsa. Belum lagi keragaman golongan rakyat, mulai dari yang berpendidikan tinggi sampai kalangan preman, semua ada di Jakarta. Keputusan apapun yang diambil, ujungnya bisa saja akan mengecewakan satu atau lebih golongan. Nah, kuatkah Gubernur DKI nanti menghadapi hantaman dan kecaman atas kebijakannya?

Pak Pray adalah seorang ahli intelijen dan teror. Ia paham betul kekuatan-kekuatan teror dan premanisme di Jakarta. Di sini, kita bisa berharap agar ia mampu melakukan pendekatan pada kekuatan itu, bila nanti menjadi Gubernur.

Tapi, jalan masihlah panjang. Tak mudah bagi calon independen untuk bersaing di ajang Pilkada. Meski kepercayaan publik terhadap partai politik mulai pudar, calon independen tidak lantas mudah melenggang. Mereka harus bersaing, terutama dalam mengumpulkan dukungan sekitar 400 ribu KTP pendukung. Selain itu, banyak pula calon-calon lain yang sama-sama memiliki potensi bagus untuk bersaing.

Hidup tentu berisi berbagai kemungkinan. Prayitno Ramelan telah memilih jalan untuk maju sebagai DKI-1. Kita tentu berdoa yang terbaik untuk Jakarta. Kalau pak Pray berhasil, kita berharap ia dapat menjadikan Jakarta kota yang lebih baik lagi. Tapi kalaupun Pak Pray tak berhasil, atau mampu melewati proses Pilkada ini, saya tak akan terlalu kecewa. Karena saya yakin, niat luhurnya membenahi Jakarta akan tetap dicatat oleh Yang Maha Kuasa.

Salam

(keponakan Pray yang sedang tinggal di Tokyo)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *