Ramalan akan terjadinya gempa besar di Tokyo dalam waktu dekat, ternyata bukan isapan jempol belaka. Hal itu didukung oleh penelitian yang kredibel dari para peneliti Jepang. Mereka menyebutkan bahwa terdapat 75% kemungkinan gempa besar akan terjadi di Tokyo dalam waktu dekat hingga empat tahun ke depan.
Orang Tokyo menyebut gempa besar itu dengan istilah “shuto chokka-gata”. Chokka artinya “tepat di bawah”. Hal ini menunjukkan bahwa gempa kali ini pusatnya akan berada tepat di bawah wilayah Tokyo dan sekitarnya.
Setelah gempa dan tsunami di Tohoku, 11 Maret 2011 lalu, gerak lempengan bumi terindikasi semakin aktif dan menuju Tokyo. Para peneliti di Universitas Tokyo mengamati frekuensi tremor di kawasan Metropolitan Tokyo yang terus meningkat dalam satu tahun terakhir. Mereka memperkirakan serangan gempa dalam frekuensi lima kali lebih tinggi, dalam magnitudo 7 atau 8, akan terjadi di Tokyo.
Kalau melihat dari sejarah, gempa besar memang tidak pernah berdiri sendiri. Umumnya gempa besar yang terjadi akan diikuti oleh gempa selanjutnya yang bisa juga skalanya besar. Saat bencana tsunami Aceh 2004 lalu misalnya, gempa besar lanjutan terjadi di pesisir Padang hingga Yogyakarta yang memakan korban tidak sedikit.
Adanya ramalam gempa besar di Tokyo tersebut, tentu saja cepat menyebar di masyarakat kota Tokyo. Selain media massa di Jepang yang berulang kali menulis soal kemungkinan gempa besar, pembicaraan dari mulut ke mulut di lingkungan penduduk Tokyo juga marak.
Saya dan keluarga tentu was-was dan memperkirakan terjadi kepanikan di kota Tokyo, sebagaimana sering terjadi di negeri kita. Biasanya isu seperti ini akan semakin cepat menyebar melalui email, bbm, atau sms berantai yang ditambah dengan berbagai bumbu untuk menakut-nakuti warga dan menimbulkan keresahan.
Namun yang terjadi di Tokyo sungguh di luar perkiraan saya. Masyarakat justru terlihat tetap tenang. Di satu sisi, mereka percaya dengan para peneliti bahwa gempa besar akan terjadi di Tokyo dalam waktu dekat. Tapi di sisi lain mereka juga menyadari bahwa hal itu tak bisa dihindari.
Masyarakat Tokyo terlihat terus menerus melakukan persiapan demi persiapan di segenap lapisan masyarakat. Kemarin (13/3), kantor kami di daerah Marunouchi melakukan pelatihan menghadapi gempa. Pelatihan gempa di gedung perkantoran Jepang dilakukan dengan penuh keseriusan.
Saat pelatihan dimulai, tepat pukul 10.00, speaker di gedung berbunyi mengumumkan terjadinya gempa bumi yang besar. Dalam keadaan seperti itu, kita disarankan untuk tetap berada di ruangan dan jangan keluar gedung. Hal ini adalah standard dan kebiasaan orang Jepang. Meski gedung bergoyang-goyang, mereka tetap diam di ruangan.
Di setiap meja karyawan, kami diwajibkan untuk menyediakan berbagai perlengkapan gempa (earthquake tools). Mulai dari sempritan, helm, senter, sarung tangan, tali, sampai dengan makanan dan minuman, harus selalu tersedia dalam tas ransel di meja setiap karyawan.
Saat gempa terjadi, kita juga berpedoman pada pengumuman pengelola gedung, yang disampaikan melalui pengeras suara (speaker). Persis seperti kejadian di tahun 2011 lalu, saya mengandalkan pengumuman demi pengumuman tersebut untuk menyelamatkan diri.
Usai guncangan, pengelola gedung memperkenankan kita turun melalui tangga darurat. Seluruh penghuni gedung lalu berkumpul di tempat evakuasi yang telah disediakan. Kita juga diajarkan melakukan penyelamatan apabila ada rekan atau warga yang pingsan ataupun terkena serangan jantung saat terjadi gempa.
Satu hal yang saya catat dari pengalaman mengikuti pelatihan gempa kemarin adalah keseriusan penyelenggara dan peserta. Para penghuni gedung, pekerja dan karyawan, semua mengikuti drill ini dengan serius. Tidak ada yang terlihat bercanda dan tertawa-tawa. Hal ini karena mereka menyadari, bila gempa besar terjadi, mereka harus saling memikirkan orang lain, bukan hanya menyelamatkan diri sendiri. Oleh karenanya, mereka mempelajari betul hal apa yang harus dilakukan saat gempa.
Pelatihan menghadapi gempa besar di Tokyo bukan hanya dilakukan di gedung tinggi saja. Di lingkungan tempat tinggal kami, hal itu juga dilakukan. Anak saya juga secara rutin melakukan pelatihan di SD tempatnya bersekolah. Kami sekeluarga diberikan pamphlet dan selebaran yang berisikan persiapan-persiapan dalam menghadapi gempa besar kota Tokyo.
Kami sekeluarga juga diminta menentukan meeting point apabila saat gempa besar terjadi kita sedang berada pada lokasi yang terpisah. Biasanya jaringan telpon putus saat gempa sehingga terjadi kesulitan menghubungi keluarga. Kemungkinan pula rumah atau gedung kita rusak karena gempa. Jadi kita sepakat menentukan tempat pengungsian yang telah ditunjuk di masing-masing kelurahan sebagai tempat bertemu saat gempa terjadi.
Bencana memang tidak kita inginkan, namun ia juga datang tanpa bisa kita tolak. Kota Tokyo secara rutin ditimpa gempa besar sepanjang sejarah. Sejak 1895, lima gempa besar dengan skala magnitudo 6,7 hingga 7,2 terjadi di wilayah Tokyo dengan episentrum di Ibaraki (1895 dan 1921), Tokyo (1894), Chiba (1987), dan ujung Teluk Tokyo (1923). Gempa Tokyo terakhir terjadi pada tahun 1923 dan menghancurkan kota serta memakan korban jiwa hingga 100.000 orang.
Kapan, di mana, dan berapa pastinya magnitudo gempa selanjutnya akan terjadi, para peneliti belum bisa memastikan. Hal yang jelas adalah, gempa besar itu akan terjadi dalam waktu dekat.
Menyikapi hal itu, masyarakat Tokyo tidak panik dan menebar keresahan, apalagi menyalahkan pemerintah, atau hal mistik lainnya. Masyarakat Tokyo justru terus menerus melakukan persiapan diri, berlatih, dan saling menebarkan semangat untuk tetap bangkit. “Gambare.. gambare….”, demikian kata-kata mereka.
Sebagai sesama negeri yang rawan bencana, kiranya hal ini bisa jadi sebuah catatan di Indonesia. Salam semangat dari Tokyo.
Wah makasih pak infonya…
Waduh jadi was was baca tulisan pak Jun… >.<
Jadi ga tenang apalagi kalau sampai berpotensi tsunami