Menjadikan Rupiah Berdaulat di NKRI

Gunakan Rupiah Untuk Transaksi di NKRI
Gunakan Rupiah Untuk Transaksi di NKRI

tulisan ini dimuat pula di Harian Kompas, Kolom Opini hal 7, tanggal 27 Juni 2015

Rupiah stabil dan berdaulat adalah harapan kita semua. Meski demikian, kenyataan tak selalu berjalan seiring dengan harapan. Beberapa waktu terakhir kita justru menyaksikan sendiri bagaimana nilai tukar Rupiah tertekan. Alasan utama yang kerap disampaikan adalah karena faktor eksternal, sehubungan dengan rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed. Hal tersebut mengakibatkan Dolar AS menguat terhadap berbagai mata uang lain di dunia, termasuk Rupiah.

Dengan sistem nilai tukar mengambang yang kita anut saat ini, nilai tukar Rupiah ditentukan oleh besarnya permintaan dan penawaran. Ini artinya, apabila permintaan dolar AS lebih tinggi, secara alamiah nilai Dolar akan menguat terhadap Rupiah. Dari sini dapat kita lihat bahwa kalau kita ingin menjadikan Rupiah lebih stabil dan menguat, langkahnya sederhana, yaitu kurangi permintaan dolar, tingkatkan permintaan atau penggunaan Rupiah.

Namun masalahnya tentu tak sesederhana itu. Sejak tahun 2011, kondisi di pasar valuta asing (valas) kita diwarnai oleh lebih tingginya permintaan valas, terutama dolar AS, daripada pasokannya. Hal tersebut menyebabkan Rupiah secara signifikan terus tertekan. Tingginya permintaan Dolar AS itu didasari oleh beberapa alasan, antara lain untuk kebutuhan impor, pembayaran utang luar negeri, dan penjualan barang jasa dalam satuan valuta asing.

Repotnya, guna memenuhi kebutuhan valas di dalam negeri, sekitar 80 persen pelaku pasar masih bertransaksi di pasar spot, atau melakukan penjualan dan pembelian secara tunai atau langsung. Baru sekitar 20 persen pelaku pasar yang melakukan transaksi derivative, seperti forward atau swap. Selain itu, baru sekitar 26 persen pelaku transaksi valas yang melakukan lindung nilai (hedging). Tentu saja, kondisi seperti di atas dapat menyebabkan pelaku pasar rentan terhadap risiko nilai tukar yang bergejolak, serta dapat menimbulkan kerentanan pada kondisi makroekonomi.

Di sisi lain, kebutuhan pembayaran utang luar negeri kita juga meningkat. Hal ini seiring dengan jumlah utang luar negeri yang meningkat signifikan. Di tahun 2005, utang luar negeri swasta mencapai sekitar 80 miliar dolar AS. Di tahun 2015, atau sepuluh tahun kemudian, jumlahnya mencapai sekitar 160 miliar dolar AS. Rasio pembayaran utang luar negeri swasta terhadap pendapatan ekspor, atau yang dikenal dengan istilah Debt Service Ratio (DSR) juga meningkat, dari sekitar 15 persen di tahun 2007, menjadi sekitar 54 persen di tahun 2015. Kondisi ini juga mengakibatkan tekanan pada nilai tukar Rupiah dan kerentanan makroekonomi.

Selain kedua faktor di atas, secara geoekonomi, kita melihat kecenderungan meningkatnya pemakaian mata uang asing, khususnya dolar AS, dalam berbagai transaksi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam praktik sehari-hari, masih banyak masyarakat Indonesia yang enggan menggunakan Rupiah dan cenderung memilih menggunakan mata uang asing.

Hal itu terlihat dari tingginya transaksi mata uang asing di wilayah NKRI yang dilakukan antar penduduk Indonesia non bank. Bayangkan, transaksi dolar AS tersebut jumlahnya mencapai 7,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp78 Triliun setiap bulan. Hal ini berarti sekitar Rp 936 Triliun per tahun. Sementara itu, perputaran uang kertas asing (UKA) di Indonesia mencapai sekitar Rp 10 triliun per bulan.

Tingginya transaksi dalam dolar atau “Dolarisasi” tersebut telah merambah ke segala sektor ekonomi, mulai dari sektor migas, pelabuhan, tekstil, manufaktur, hingga perdagangan. Fenomena penggunaan mata uang asing di wilayah NKRI tak bisa dipandang sebagai konsekuensi dari liberalisasi, namun bisa juga dilihat sebagai bentuk “ancaman” atau soft invasion terhadap kedaulatan politik dan ekonomi suatu negara.

Pengalaman beberapa negara di Amerika Latin, Karibia, dan Pasifik, membuktikan bahwa sikap permisif pada penggunaan mata uang asing di dalam negeri pada akhirnya justru menggusur peran mata uang lokal. Ada premis yang mengatakan bahwa mata uang yang kuat akan menggeser yang lemah. Tentunya kita tidak ingin hal itu terjadi di NKRI.

Beberapa kebijakan perlu ditempuh untuk mengatasi berbagai permasalahan di atas. Pertama, perlunya upaya melakukan pendalaman pasar keuangan. Langkah ini perlu dilakukan agar pelaku pasar memiliki lebih banyak instrumen dan kemudahan dalam bertransaksi, sehingga mengurangi risiko atau kerentanan. Kedua, perlunya monitoring yang ketat terhadap utang luar negeri, khususnya di sektor korporasi atau swasta. Utang luar negeri swasta yang tidak terkendali akan meningkatkan risiko nilai tukar, likuiditas, dan terlalu banyak berutang (over leveraging).

Ketiga, dan yang tak kalah pentingnya, adalah perlunya masyarakat untuk mendukung langkah penggunaan mata uang Rupiah untuk bertransaksi di wilayah NKRI. Kita tentu tak ingin mata uang asing berkuasa atau lebih dihargai di negara ini. Undang-undang Mata Uang No 7 Tahun 2011 serta Peraturan Bank Indonesia No 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah NKRI telah secara tegas mengatur mengenai penggunaan Rupiah tersebut.

Menjadikan Rupiah sebagai mata uang yang stabil dan berdaulat memang bukan langkah mudah. Tekanan terhadap Rupiah ditentukan oleh banyak hal yang saling berkelindan. Langkah meningkatkan produktivitas ekonomi tidak dapat ditawar lagi. Namun di sisi lain, upaya menjadikan Rupiah berdaulat di negeri sendiri juga perlu didukung. Mata Uang Rupiah adalah salah satu simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Kita pernah memiliki pengalaman pahit saat lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari NKRI. Salah satu alasan yang muncul pada waktu itu adalah karena Rupiah tidak lagi digunakan untuk bertransaksi di sana.

Junanto Herdiawan

Deputi Direktur, Departemen Komunikasi Bank Indonesia

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *