Sepuluh tahun lalu, tanggal 11 Maret 2011, Jepang diguncang gempa bermagnitudo 9 yang memicu gelombang tsunami setinggi 40 meter, dan menyapu hampir seluruh wilayah timur laut Jepang. Sedikitnya tercatat 20 ribu orang tewas, 100 ribu rumah hancur digulung tsunami, dan puluhan ribu warga harus mengungsi dan meninggalkan rumah mereka, termasuk di antaranya WNI. Dari sisi ekonomi, kerugian ekonomi ditaksir mencapai 200 miliar dolar AS.
Masalahnya tak hanya itu, gempa dan tsunami itu juga memicu bencana selanjutnya, yaitu kebocoran reaktor nuklir Fukushima Dai-ichi. Lengkap lah bencana menjadi apa yang dinamakan “Triple Disaster” (gempa, tsunami, dan bencana nuklir). Saat itu, saya sedang berada di Tokyo sehingga merasakan sendiri bagaimana suasana mencekam yang diakibatkan oleh gempa, dan kemudian ketakutan akan radiasi nuklir. Hari-hari gelap saya lalui dipenuhi kekhawatiran, masih amankah untuk bertahan di Tokyo? (Kisah ini pernah saya tulis di Kompasiana 10 tahun lalu dengan judul Mengapa saya masih bertahan di Tokyo).
Bagi para penyintas yang merasakan langsung bencana itu, kejadian tahun 2011 di Jepang tak akan terlupakan hingga hari ini. Kenangan, memori, kekhawatiran, bahkan tangisan, masih terasa nyata. Lalu, setelah 10 tahun berlalu, apa yang bisa kita tarik sebagai pelajaran. Untuk itu, pada 11 Maret 2021, beberapa kawan eks-Tokyo yang pada saat kejadian berada di Jepang, berinisiasi menyelenggarakan momen mengenang 1-Dekade Gempa Tohoku. Selain untuk mengenang para korban, juga mengenang bagaimana langkah KBRI Tokyo saat itu dalam melakukan misi penyelamatan atau evakuasi WNI di wilayah bencana. Selanjutnya, dari pelajaran bencana Jepang, apa yang bisa kita gunakan dalam menghadapi pandemi saat ini.
Dubes Jepang untuk RI, Kanasugi Kenji, hadir memberikan sambutan. Ia menyampaikan bagaimana bencana Tohoku menjadi sebuah momen meningkatkan “Kizuna” atau rasa keterikatan, persaudaraan yang erat, antar manusia dan bangsa. Indonesia adalah sahabat Jepang karena pada saat Jepang ditimpa bencana, Indonesia adalah salah satu negara yang paling awal memberikan bantuan. Bahkan Presiden RI saat itu, Bapak SBY, menyempatkan hadir di Kesennuma untuk menengok para korban, memberikan semangat, dan bahkan Ibu negara menyampaikan puisi anak-anak Aceh kepada anak SD di sana untuk meningkatkan semangat. Ini satu hal yang perlu terus kita jaga di tengah tumbuhnya ketidakpedulian pada sesama.
Pak Jusuf Kalla juga menyampaikan hal yang sama. Saat gempa 2011 kebetulan Pak JK dan ibu Mufidah sedang berada di Tokyo. Jadi ia merasakan betul bagaimana bencana itu terjadi. Hal yang dapat dipelajari dari orang Jepang dalam menghadapi bencana ini adalah perlunya kita memiliki sebuah sistem yang baik dan bekerja di saat diperlukan. Sistem penanganan bencana di Jepang bekerja dengan baik saat bencana menerpa. Selain itu, disiplin dan saling peduli warga itu penting. Gotong royong juga terlihat dari setiap warga Jepang ketika mereka menghadap masalah.
Menteri Perdagangan RI, Pak M. Lutfi, yang saat itu menjabat sebagai Duta Besar RI di Tokyo, memaparkan pengalamannya dalam menghadapi bencana Jepang saat itu. Ia kagum dengan sikap masyarakat Jepang yang meski tertimpa bencana tetap memiliki jiwa stoik yang tinggi. Dalam arti mereka bukan bangsa pengeluh. Hampir setiap bertemu dengan korban, umumnya mereka menyampaikan semangat, semangat, dan semangat. Padahal kondisi mereka tidak layak dan membutuhkan bantuan. Ini berbeda dengan beberapa kali pengalaman beliau kalau menghadapi korban gempa di tanah air. Mungkin semangat “gambaru” atau pantang menyerah dan pantang mengeluh perlu terus kita jadikan pelajaran.
Lalu apa yang kita dapat pelajari dari bencana Jepang ini terkait dengan pandemi Covid-19 yang kita hadapi saat ini? M. Lutfi menyampaikan tentang pentingnya bertindak cepat ketika menghadapi ketidakpastian. Upaya memperoleh vaksin dan memberikan vaksin pada masyarakat Indonesia menjadi penting. Upaya ini juga harus didukung oleh masyarakat. Dari banyak negara di dunia, Indonesia termasuk negara yang cepat untuk mendapatkan vaksin dan melakukan program vaksinasi. Kecepatan vaksinasi ini diharapkan dapat mempercepat pemulihan ekonomi.
Dalam pandangan saya, apa yang dikatakan oleh Menteri Perdagangan tersebut tepat. Vaksinasi merupakan “game changer” dalam kehidupan masyarakat di tahun 2021 yang akan dapat mendukung pemulihan ekonomi nasional. Berbagai langkah pemulihan ekonomi dapat dilakukan dengan baik dan cepat, terutama apabila vaksinasi ini berhasil. Setelah itu, fokus pemulihan ekonomi dapat dipertajam dengan strategi respons kebijakan melalui pembukaan sektor produktif dan aman, percepatan stimulus fiskal (realisasi anggaran), peningkatan kredit dari sisi permintaan dan penawaran, stimulus moneter dan kebijakan makroprudensial, dan tentunya digitalisasi ekonomi dan keuangan, khususnya UMKM.
Dari Bencana Tohoku 2011 kita dapat memetik pelajaran bagi perjalanan kita ke depan, termasuk membangun semangat kebersamaan. Menghadapi pandemi saat ini, nilai-nilai seperti kizuna (keterikatan antar manusia), stoicism dengan mengurangi kebiasaan mengeluh, dispilin dan gotong royong (dalam menerapkan 3M dan vaksinasi), serta kemampuan bertindak cepat, menjadi hal yang dapat kita jadikan pelajaran, terutama di saat sulit.
Salam semangat selalu.