Kesehatan vs Ekonomi : Mana Lebih Penting?

“Manakah yang perlu didahulukan, masalah kesehatan atau masalah ekonomi?”  Kalau kita menjawab salah satu, maka kita akan terjebak dalam dualisme.  Mengapa demikian?  Pertanyaan yang sifatnya kontradiktif memang kerap menimbulkan kebingungan. Ada yang berpendapat kalau kita membatasi kegiatan masyarakat, seperti kebijakan PSBB atau PPKM Mikro, dapat mengganggu proses pemulihan ekonomi. Tapi di sisi lain, pendapat juga mengatakan bahwa  melonggarkan kegiatan ekonomi dapat memicu risiko lonjakan pasien Covid-19.

Kita melihat bahwa ekonomi Indonesia tahun 2020 terkontraksi minus 2,07 persen. Sementara itu, jumlah pasien positif Covid-19 di Indonesia secara keseluruhan telah menembus angka satu juta orang, dengan angka kematian lebih dari 30 ribu orang. Tentunya kita berharap  kehadiran vaksin dapat membawa optimisme dalam pemulihan ekonomi.

Presiden Jokowi telah membuat pernyataan tegas bahwa kesehatan dan ekonomi itu sama penting dan harus diselesaikan secara bersamaan. Dari sisi sejarah ilmu ekonomi, yang dapat kita baca juga melalui sungai sejarahnya yang panjang, masalah kesehatan dan ekonomi bukanlah dua hal terpisah yang bisa didikotomikan. Saat ini banyak orang yakin, bahkan beberapa ekonom, bahwa ilmu ekonomi itu adalah sebuah bangunan ilmu yang berada pada kompartemen terpisah. Maksudnya begini, kalau ada masalah seperti kesehatan, atau kerusakan lingkungan, muncul anggapan bahwa hal itu berada di luar bangunan ekonomi.  Padahal aspek kesehatan merupakan bagian tak terpisahkan dari aspek ekonomi, sosial, dan kehidupan seseorang.

Ekonomi dalam praktiknya di keseharian adalah sebuah dimensi kehidupan yang kiranya tidak dipisahkan dari aspek-aspek kehidupan lainnya. Dalam bukunya The Great Transformation (1944), Karl Polanyi mengangkat gagasan tentang ketertanaman ekonomi (embedded economy). Ide yang diangkat Polanyi adalah bahwa ekonomi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial dan politik. Masih menurut Polanyi, ekonomi itu perlu tertanam secara organik dalam masyarakat dan alam. Upaya memisahkan ekonomi sebagai sistem yang terpisah dengan hukumnya sendiri telah memutuskan kaitan organik dan mensubordinatkan masyarakat dan alam ke dalam ekonomi. Tidak pernah dalam sejarah suatu sistem sosial terpisah atau menjadi subordinat ekonomi. Ekonomi manusia selalu tertanam dalam masyarakat dan alam. Ketertanaman berarti bahwa ekonomi tidak pernah otonom, malahan cenderung sebagai subordinat dari politik dan masalah sosial lainnya.

Nah, apabila ekonomi itu tertanam dalam kehidupan, berarti tidak bisa lagi kita memisahkan mana yang lebih penting, kesehatan atau ekonomi, karena keduanya berada dalam bangunan yang sama di kehidupan manusia sehari-hari. Lalu kenapa kesannya dipisahkan? David Harvey, seorang ekonom dan ilmuwan geografi, mengatakan bahwa pembangunan yang digerakkan oleh kinerja kapitalisme, telah membawa aksi pelakunya untuk berlari cepat mengejar keuntungan dan pertumbuhan yang berlipat ganda. Berkembangnya teknologi internet dan transportasi telah semakin mempercepat gerak arus modal ke berbagai penjuru dunia. Akibatnya, ekonomi seolah terlepas dari dimensi kehidupan lainnya termasuk dimensi etis, yang bahkan dipisahkan keluar dari bangunan ekonomi.

Dalam kondisi pandemi saat ini, pemisahan itu menjadi semakin problematik karena kemampuan masyarakat dalam melakukan penyesuaian atas berbagai perubahan tidak setara akibat struktur sosial yang berbeda. Contoh sederhana yang dapat kita lihat misalnya aturan “menjaga jarak” untuk mengurangi risiko penularan Covid-19. Aturan itu baik dan tidak menjadi masalah untuk sebagian kelompok masyarakat, tetapi menjadi sulit diterapkan pada masyarakat yang tinggal di wilayah padat dan area miskin. Demikian pula kebijakan pendidikan melalui daring yang memang harus ditempuh dalam kondisi pandemi. Namun untuk sebagian masyarakat, terutama di kalangan miskin, ketidaktersediaan perangkat internet, fasilitas komputer, hingga ketiadaan telpon genggam, menjadi sebuah masalah besar.

Dengan demikian,  kesehatan dan ekonomi harus saling tertanam dalam satu jalinan tatanan masyarakat. Pertanyaannya kemudian bukanlah, mana yang lebih penting antara kesehatan dan ekonomi, tetapi menjadi, bagaimana masalah ekonomi dan kesehatan bisa diatasi sehingga kepentingan masyarakat terlindungi? Di sinilah pentingnya kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah.  Kebijakan ekonomi perlu menyeimbangkan kepentingan dari kelompok masyarakat yang kaya, menengah, pengusaha, pekerja, hingga masyarakat miskin. Upaya melindungi masyarakat yang berada di kelompok kurang beruntung perlu menjadi prioritas karena dampak pandemi menyangkut pada urusan hidup mati mereka. Dalam kondisi seperti ini, ekonomi tidak bisa diserahkan kepada kekuatan pasar dan kepentingan pemilik modal semata.

Kita tentu perlu mengapresiasi langkah pemerintah untuk menyelamatkan kelompok masyarakat miskin yang terdampak pandemi melalui program pemulihan ekonomi nasional. Di tahun 2021 ini, pemerintah menganggarkan biaya untuk pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 627,9 Triliun yang digunakan untuk memberikan perlindungan sosial, kesehatan, dukungan pada UMKM dan Koperasi, Insentif Usaha dan Pajak, serta beberapa program prioritas.

Peran pemerintah dengan daya regulasinya adalah pilihan etis yang dibutuhkan di masa pandemi ini untuk melindungi masyarakat yang tidak beruntung. Dalam kondisi seperti ini kita tidak bisa menyerahkan nasib pada kekuatan pasar semata. Sepanjang sejarah ekonomi, sistem perekonomian selalu berayun di antara kebebasan berusaha dan daya regulasi. Ketika ekonomi didominasi oleh kebebasan berusaha yang berlebihan atau bahkan sebaliknya, didominasi oleh daya regulasi yang mencengkeram, maka tatanan masyarakat akan diwarnai oleh dehumanisasi. Paham neoliberalisme yang memberikan ruang kebebasan berusaha berlebihan, sama berbahayanya dengan paham otoritarianisme, fasisme, komunisme, dan ultra kanan yang memberikan ruang cengkeraman regulasi berlebihan. Jadi kita harus berhati-hati juga apabila ada pihak yang mengecam kapitalisme lalu membawa pada tawaran sistem yang mencengkeram. Itu sama berbahayanya.

Jadi, pengambil kebijakan perlu mencari titik optimum untuk menyeimbangkan elemen ‘kebebasan berusaha’ dan ‘daya regulasi’. Langkah pemerintah untuk turun tangan dalam menempuh kebijakan di masa pandemi ini sudah tepat. Namun pemerintah juga jangan sampai terjebak pada dorongan untuk menjadikan daya regulasi semakin mencengkeram, atau mengatur kehidupan secara berlebihan. Masyarakat juga tidak mudah termakan hoax yang mengecam satu sistem tetapi memberikan solusi yang sama berbahayanya.

Oleh karena itu, regulator juga perlu didukung oleh komunitas, kelompok masyarakat, yang memiliki kepedulian untuk menyeimbangkan berbagai dimensi kehidupan, termasuk menanamkan  etika tertanam kembali dalam ekonomi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *