Sore hari, tanggal 31 Desember 2011, jelang tahun baru, saya berjalan-jalan ke daerah Ginza di Tokyo. Ginza adalah daerah pertokoan yang populer di kota Tokyo. Kalau dibandingkan dengan Jakarta, Ginza ibarat wilayah Thamrin Sudirman yang padat dan dipenuhi pertokoan. Di hari-hari biasa, Ginza ramai sekali oleh pengunjung. Namun di malam tahun baru, Ginza justru sepi dan banyak toko yang tutup.
Beberapa turis dari Indonesia tampak kebingungan saat melihat banyak toko yang tutup, dan jalanan yang sepi. Tidak ada yang jualan dan meniup terompet, apalagi bakar kembang api. Ya, kalau tahun baru di Tokyo memang tidak ada apa-apa. Lain bila dibandingkan di Jakarta yang meriah.
Bagi masyarakat Jepang, tahun baru bukanlah momen pesta pora. Tahun baru justru dilalui dengan nafas syahdu. Berkumpul bersama keluarga dan berdoa, adalah kegiatan pokok masyarakat Jepang di tahun baru. Tak heran kalau perayaan tahun baru di Tokyo jarang sekali masuk dalam deretan kota-kota dunia yang diliput TV. Kalau New York, Paris, dan Sydney, merayakan pesta kembang api dengan gemerlap, Tokyo merayakannya zonder terompet dan mercon.
Malam tahun baru, atau omisoka dalam bahasa Jepang, secara tradisi dirayakan dengan amat sangat hening. Sore itu, saya melanjutkan perjalanan ke daerah Yurakucho, yang biasanya padat oleh pengunjung. Tapi malam itu, suasana sepi dan jalanan lengang, bahkan sepert kota mati tanpa gairah.
Detik tahun baru di Jepang “hanya” dirayakan di kuil-kuil. Warga Jepang membunyikan lonceng sebanyak 108 kali. Menurut seorang sahabat, jumlah itu adalah simbol banyaknya nafsu duniawi yang menguasai tubuh kita. Lonceng dibunyikan sebagai penanda agar kita dapat melakukan “detachment” terhadap nafsu-nafsu duniawi itu.
Usai detik-detik tahun baru, saya melewati kuil lokal di daerah Meguro. Satu kuil di dekat stasiun Meguro padat dipenuhi masyarakat Jepang yang berdoa atas pergantian tahun. Di Kuil lainnya, Otori Jinja, pengunjung terlihat lebih padat. Bukan hanya orang tua, namun juga banyak anak muda dan anak-anak yang tinggal di sekitar Meguro yang datang untuk berdoa.
Selain melewatkan waktu dengan berkumpul di rumah, menyaksikan televisi, atau melakukan refleksi bersama, orang Jepang di tahun baru selalu mencicipi “toshikoshi soba”, atau Soba Tahun Baru. Makan toshikoshi soba dianggap sebagai penanda keberuntungan masa depan. Saat detik tahun baru tiba, hingga siang harinya, mereka bersama-sama pergi ke kuil untuk bersembahyang.
Terkait dengan perkara sepi dan hening di tahuh baru Jepang, saya jadi teringat bahwa dahulu bangsa kita juga pernah mengagungkan makna hening. Stupa tertinggi Borobudur adalah salah satu penanda akan kekosongan yang hening. Pujangga Ronggowarsito bahkan pernah menulis, “suwung sakjatining isi”. Secara harafiah, kalimat itu berarti “Kekosongan adalah kepenuhan”. Kata “suwung” sebenarnya bukan sekedar “kosong” atau “hampa”. Ia justru sebuah keadaan yang didominasi oleh kepenuhan.
Dalam keheningan di kuil-kuil Jepang, bukan kekosongan yang sebenarnya dirayakan. Perayaan hening lebih merujuk pada kemampuan diri kita untuk secara total melampaui ikatan-ikatan dunia. Jiwa seseorang akan merdeka jika ia mampu membiarkan diri terlepas dari segala ikatan dunia.
Merayakan Tahun Baru dalam keheningan adalah gambaran dari “ketiadaan” diri kita. Malam itu, kita dipaksa untuk luruh dan menjadi “suwung”. Kita diam dan merenung. Keheningan total, berarti bebas dari pengaruh rasa dan emosi. Tidak ada lagi senang, tidak ada lagi sedih, yang ada hanya keheningan dan kedamaian.
Budaya Buddhisme dan Shintoisme yang kental di Jepang nampaknya membentuk imajinasi dan kultur dari masyarakatnya. Mereka percaya bahwa Nirvana adalah sesuatu yang berada di luar pancaindera. Nirvana tak dapat dijangkau dengan kenikmatan inderawi. Rasa kenyang, keterpuasan seksual, kenikmatan ragawi, bukanlah cara merasakan Nirvana. Keheningan di kuil-kuil pada malam tahun baru ini mengingatkan kita betapa pentingnya kembali pada hakikat diri kita.
Mudah-mudahan kita tidak tersedot dalam keriaan di struktur permukaan. Semoga kita juga tidak terjebak pada sebuah keadaan, saat kita gemerlap dalam berbagai sorak sorai, kemeriahan, dan hiruk pikuk, namun fana sesudahnya tanpa arti.
Selamat Tahun Baru 2012. Selamat merayakan keheningan.
Assalamualaikum Wr. Wbr.salam kenal pak. ini pemula atnadg berkunjung, baca dulu ya. salam ukhuwah dari Pekanbaru Riau