Bagi masyarakat Jepang, tahun baru bukanlah momen pesta pora. Tahun baru justru dilalui dengan nafas syahdu. Di hari tahun baru, atau 1 Januari, masyarakat Jepang yang mayoritas beragama Shinto, memadati kuil (shrine) yang banyak terdapat di setiap kota.
Untuk merasakan suasana tersebut, di hari tahun baru kemarin, saya juga mengisi hari dengan melihat keramaian masyarakat Tokyo yang pergi ke kuil. Keramaian itu sudah dirasakan sejak dari kereta api yang membawa mereka ke kuil. Sebagian besar orang terlihat menenteng bawaan, yang nanti akan dipersembahkan di pintu kuil Shinto.
Shinto memang menjadi agama mayoritas dan tertua masyarakat Jepang. Ajaran ini juga dikenal dengan sebutan Kami-No-Michi atau Jalan Dewa (Ruh). Ajaran Shinto menyeimbangkan antara pikiran, perbuatan, serta kebersihan jiwa dan fisik.
Salah satu kuil Shinto yang terkenal di kota Tokyo adalah Meiji Shrine yang terletak di daerah Harajuku, tak jauh dari stasiun kereta api Harajuku. Ke sanalah saya menuju dan melihat suasana tahun baru. Di hari tahun baru, hampir tiga juta orang memadati kuil Meiji untuk berdoa dan menggantungkan harapan, agar tahun ini menjadi tahun yang lebih baik.
Sejak turun di stasiun kereta Harajuku, saya sudah merasakan kepadatan yang luar biasa. Pintu keluar stasiun Harajuku, yang biasanya menuju Takeshita Dori, sudah dialihkan langsung ke pintu kuil, atau arah yang berlawanan. Ratusan polisi berjaga di sekitar stasiun dan kuil. Saya melihat bahwa ini adalah jumlah polisi yang banyak untuk satu event di Jepang, apalagi event peribadatan.
Untuk sampai ke kuil Meiji, dari stasiun Harajuku kita perlu berjalan kurang lebih sekitar satu kilometer. Dalam keadaan normal mungkin membutuhkan 20-25 menit. Namun di tahun baru bisa berjam-jam karena padatnya antrian. Udara musim dingin yang menggigit nampaknya bukan menjadi halangan para peziarah yang lebur dan hanyut ingin beribadah.
Kuil Meiji dibangun pada masa Kaisar Meiji (1868-1912) dan merupakan kuil Shinto tertua di Tokyo. Salah satu ciri khas dari kuil Shinto adalah pintu gerbang besarnya yang disebut Otorii. Pintu gerbang ini dibuat dari kayu Cypress (sejenis pohon cemara) yang dibawa dari Taiwan dan usianya lebih dari 1500 tahun.
Sebelum memasuki Kuil ini, para peziarah umumnya membawa persembahan-persembahan yang diperuntukkan bagi para Dewa. Ada anak panah kayu, ada kertas uang dan berbagai simbol lain yang diserahkan pada sebuah gubuk kecil sebelum memasuki gerbang kuil. Mereka percaya bahwa Dewa akan menerima persembahan itu dan memberi balasan yang setimpal. Tak jauh dari kuil itu, terdapat Naien Garden, sebuah taman yang konon merupakan replika surga firdaus di muka bumi. Taman itu dibangun oleh kaisar Meiji sebagai bukti cinta kepada sang permaisuri. Tamannya begitu indah karena berisikan segala jenis tanaman dari penjuru Jepang.
Masuk ke kuil Shinto harus mengikuti etika kuil. Pertama, para peziarah harus melalui otorii (pintu gerbang). Pintu gerbang itu menyimbolkan hijrahnya jiwa pada tingkatan yang lebih baik. Selanjutnya kita diharapkan menyucikan diri dengan air suci. Kita mencuci tangan, muka, dan meneguk sedikit air suci sebelum memasuki kuil.
Dalam perjalanan masuk ke kuil, lemparkanlah koin pada beberapa gentong yang ada disana. Hal ini menunjukkan bahwa kita harus melepaskan diri dari ikatan kekayaan dan harta benda duniawi. Setelah itu, di dalam kuil kita diminta menundukkan badan sebanyak dua kali, dan menepuk tangan sebanyak dua kali, atau membunyikan bel. Setelah itu menunduklah sekali lagi sebelum keluar. Etika ini perlu diikuti oleh para peziarah sebagai prasyarat menuju ketenangan jiwa.
Masyarakat Jepang, dengan kemajuan tekhnologi dan kekayaan ekonominya, begitu “tahu diri” dalam menyambut pergantian tahun. Mereka enggan melewati tahun baru dengan pesta pora. Mereka lebih memilih untuk takzim memadati kuil.
Di hari tahun baru, saya melihat mall-mall kota Tokyo banyak yang tutup. Sepulang dari kuil Meiji, saya coba mampir ke daerah Shinjuku yang biasanya padat di hari libur. Tapi di sana suasana sangat sepi dan lampu-lampu dimatikan. Sebagian orang memang enggan ke mall di hari tahun baru.
Hal yang menarik bagi saya adalah bahwa tak hanya orang tua, namun kebanyakan justru generasi muda, keluarga dengan anak-anaknya, pasangan muda, bahkan para kekasih yang sedang memadu asmara, yang pergi ke kuil di tahun baru. Mereka rela mengantri berjam-jam dan mengorbankan hari liburnya.
Kultur spiritual dan relijius memang terasa di Jepang saat tahun baru. Saat dunia berubah dengan pesta pora dan gemerlap tahun baru, kultur ini tak luntur diterpa godaan.
Selamat Tahun Baru