Heroisme Perawat Indonesia di Jepang

Suster Suwarti saat memberikan keterangan Pers

Kisah para perawat Indonesia di Jepang adalah sebuah kisah tentang heroisme. Kemarin saya berkesempatan duduk makan siang bersama dan mendengar kisah itu dari para perawat Indonesia di Jepang, yang kebetulan sedang mengunjungi Tokyo. Mereka adalah Suwarti, Toji, Evi, dan Rofiq. Masing-masing mereka bekerja di kota dan Rumah Sakit yang berbeda. Suwarti bekerja di RS Red Cross Himeji, Rofiq di RS Kikuna Memorial Yokohama, Toji Pio di RS Tsuchiya Hiroshima, dan Evi di RS Fukuoka.

Para perawat tersebut bercerita tentang bagaimana beratnya mereka menghadapi ujian keperawatan, termasuk ketika menghadapi gempa dan tsunami 11 Maret 2011 lalu. Beberapa hari setelah bencana menghantam Jepang, keadaan sangat mencekam. Banyak orang asing yang mengungsi dan keluar dari Jepang. Namun para perawat Indonesia ini, yang saat itu belum lulus ujian keperawatan, justru menghadap ke pimpinan di rumah sakitnya dan meminta untuk dikirim ke daerah bencana.

Hal itu mengagetkan banyak pihak, terutama masyarakat Jepang. Saat ditanya mengapa perawat Indonesia, yang saat itu belum lulus ujian, mau datang ke sana, Suwarti berkata, “Saya dan teman-teman mungkin belum lulus ujian, kami juga mungkin bukan bangsa Jepang, tapi jiwa kami tetap adalah seorang perawat. Melihat penderitaan bangsa Jepang, berarti melihat juga penderitaan kami sendiri. Kita semua bersaudara. Jadi, tolong kirim kami ke daerah bencana”.

Kalimat Suwarti ini diamini oleh rekan-rekan perawat Indonesia lainnya di Jepang. Di berbagai kota, mereka menyatakan kesediaannya untuk membantu para korban, meski saat itu nyawa menjadi taruhannya.

Ucapan Suwarti dkk ini sangat mengharukan dan menarik perhatian banyak kalangan. Banyak orang Jepang yang tak menyangka bahwa perawat Indonesia memiliki keberanian dan ketulusan untuk membantu mereka. Selain pimpinan rumah sakit, beberapa media di Jepang juga tersentuh atas keberanian para perawat Indonesia itu.

Televisi dan media di Jepang sempat mewawancarai Suwarti dan mengangkat kisah heroisme perawat Indonesia tersebut. Suwarti muncul di berbagai pemberitaan di Jepang (keterangan foto di atas).

Selain Suwarti, pemerintah Jepang juga telah memberikan penghargaan pada Suster Rita, salah seorang perawat Indonesia, yang tetap bekerja di daerah bencana, saat tsunami menghantam Jepang.

Kedatangan Suwarti dkk ke Tokyo kemarin (23/4), juga adalah untuk menerima penghargaan dari President of Japan-Indonesia Association (Japinda), Yasuo Fukuda, yang juga mantan PM Jepang. Turut hadir di acara tersebut Dubes RI untuk Jepang, Muhammad Lutfi, dan ketua Perhimpunan Persahabatan Indonesia Jepang (PPIJ), Rahmat Gobel.

Pihak KBRI Tokyo sendiri selama ini telah banyak mendukung dan melakukan berbagai pendekatan pada pemerintah Jepang agar jumlah perawat Indonesia yang lulus dapat terus bertambah. Para perawat sempat bertemu dengan Ridwan Abbas, Atase Ekonomi KBRI Tokyo, yang selama ini menangani kegiatan para perawat Indonesia. Ridwan Abbas selalu membuka komunikasi agar berbagai kesulitan yang dihadapi para perawat dapat diselesaikan. Upaya ini dirasakan sangat membantu dan memberi dukungan moral pada para perawat Indonesia di Jepang.

Sejak pertama kali perjanjian Economic Partnership Agreement (EPA) antara Indonesia dan Jepang ditandatangani, Indonesia memang telah mengirimkan ratusan perawat ke Jepang. Namun, tak banyak yang bisa lulus standar ujian keperawatan di Jepang.

Tahun 2010 lalu, hanya ada dua orang yang lulus dari sekitar 300 orang yang dikirim dari Indonesia. Namun tahun ini, hasilnya lebih baik, meski masih jauh dari memuaskan. Dari 318 orang, ada 16 orang yang dinyatakan lulus. Suwarti dkk termasuk di antara ke-16 perawat yang lulus tersebut.

Untuk lulus ujian keperawatan di Jepang memang tidak mudah. Standar kelulusan perawat Jepang sangat tinggi. Para perawat tersebut, selain menghadapi kendala bahasa, baik untuk berbicara maupun penggunaan huruf kanji dengan istilah medis, juga dituntut menguasai sistem keperawatan, asuransi, dan kesehatan di Jepang yang cukup rumit. Berbagai tekanan mental, cuaca yang tidak bersahabat, kesendirian dan kebosanan, menjadi penambah beban mereka dalam menghadapi ujian.

Suwarti, Rofiq, Toji, dan Evi, yang sebelumnya pernah bekerja di berbagai RS di Indonesia, merasa bersyukur karena banyak pihak yang membantu dan memberi dukungan kepadanya. Selama ini mereka telah merasakan kebaikan teman, pimpinan, dan rekan-rekannya di Jepang. Jadi mereka merasa berdosa bila di kala orang Jepang membutuhkan bantuan, mereka justru pulang ke Indonesia. Apalagi mereka adalah para perawat.

Pekan depan, Suwarti akan berangkat ke Iwate, salah satu daerah yang terkena bencana di Timur Laut Jepang. Ia akan bertugas di posko Pemulihan Rehabilitasi Mental untuk trauma psikis pascabencana. Ia bersama dengan tim Palang Merah Jepang, seorang dokter tulang, dan beberapa perawat lainnya, akan membuka posko di Iwate dan mencoba membangkitkan semangat para korban. Suwarti juga telah membuat majalah dinding yang dipenuhi oleh tulisan tangan para warga Indonesia di Jepang yang memberikan dukungan bagi para korban.

Kisah Suwarti dkk di atas adalah sepenggal kisah kecil yang mengharumkan nama bangsa kita di negeri orang. Semangat gambaru Indonesia, kemauan berkorban, dan peduli pada penderitaan orang lain, telah semakin membuka bangsa Jepang akan kelebihan dari para perawat Indonesia.

Dengan kisah ini, mudah-mudahan bangsa kita tidak lagi melihat mereka, para perawat, pekerja, dan TKI Indonesia di luar negeri dengan sebelah mata. Karena sejatinya, mereka itulah para pahlawan-pahlawan bangsa.

Salam dari Tokyo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *