Kalau Petani Jepang Protes ke Jalan

Aksi Protes Petani Jepang / japannews

Saat baru tiba di Tokyo sekitar dua tahun lalu, saya masih jarang melihat aksi protes di jalanan. Tapi beberapa bulan terakhir ini, saya mulai terbiasa dengan maraknya aksi protes di kota Tokyo, mulai dari protes anti nuklir, penanganan pemerintah soal bencana alam, kebijakan energi, hingga aksi protes para petani.

Selama beberapa hari lalu, di daerah Kasumigaseki, Tokyo, atau tempat berpusatnya pemerintahan Jepang, para petani Jepang menggelar aksi protes. Sekitar lebih dari 400 orang petani, yang didukung oleh 100 politisi dan anggota parlemen Jepang turun ke jalan, menentang diterapkannya apa yang dinamakan perdagangan bebas Trans Pacific Partnership (TPP).

Apa itu TPP? Ini adalah perjanjian perdagangan bebas antara 9 negara di wilayah Asia Pasifik, yang bertujuan membebaskan tarif dan meliberalisasi pasar di antara negara-negara anggotanya. Adapun negara-negara yang rencananya menyepakati TPP adalah Brunei, Chile, New Zealand, Singapura, dan kemudian diikuti oleh Australia, Malaysia, Peru, Amerika Serikat, dan Vietnam. Bulan November 2010 lalu, kesembilan negara ini menyepakati proposal yang diajukan oleh Presiden Barrack Obama untuk menargetkan kesepakatan TPP dapat ditandatangani pada pertemuan APEC November 2011.

Jepang kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, Jepang ingin ikut serta dalam perjanjian TPP tersebut. Dengan ikut serta di TPP, Jepang akan memiliki kesempatan besar memperluas pasar bagi produk-produk ekspor dan hi-technya. Namun di sisi lain, Jepang sebenarnya bukan sebuah negara terbuka. Mereka sangat protektif dan tertutup, khususnya untuk sektor pertanian dan peternakannya.

Namun PM Jepang, Noda, telah memberikan pernyataan untuk mempercepat proses Jepang ikut serta dalam TPP. Noda mengatakan bahwa Jepang perlu memutuskan sikap sebelum dilaksanakannya pertemuan puncak APEC pada pertengahan November 2011.

Pernyataan inilah yang memicu aksi protes para petani di kota Tokyo.

Di dalam negeri Jepang sendiri, pendapat memang terpecah, antara pendukung dan penentang TPP. Di sisi pendukung, adalah kalangan pengusaha Jepang. Tak kurang dari pimpinan Kadin Jepang (Keidanren), Hiromasa Yonekura, berulangkali mengatakan bahwa Jepang harus memutuskan sikap untuk bergabung dengan TPP sebelum pertemuan APEC. Yonekura mengatakan bahwa pemerintah dan partai politik perlu memandang permasalahan TPP ini dalam kepentingan dan lensa ekonomi nasional. Pendapat ini juga didukung oleh Professor Motoshige Ito dari Universitas Tokyo. Menurut Ito, Jepang adalah negara yang miskin sumber daya alam. Oleh karenanya, Jepang diuntungkan oleh perdagangan bebas sejak perang dunia ke-II melalui penguasaan ekspornya ke mancanegara. Sangat absurd bila kali ini Jepang tidak bergabung dalam pakta perdagangan bebas TPP.

Di sisi penentang TPP, adalah para petani dan peternak di Jepang. Mereka menganggap bahwa TPP akan memukul kehidupan mereka karena ancaman produk pertanian murah dari luar negeri. Saat ini Jepang memang menerapkan proteksi yang tinggi (high cost barrier) bagi produk pertanian ataupun peternakan dari luar negeri. Selain petani, organisasi dan LSM yang mendukung pertanian Jepang, berada di sisi oposisi dan menentang berlakunya TPP.

Dilihat dari sisi pertanian dan peternakan, Jepang memang bukan negara yang menerapkan pasar bebas sepenuhnya (full-fledged market system). Jepang sangat melindungi nasib para petaninya. Mereka tidak membuka penuh pasarnya bagi barang pertanian dan peternakan dari luar negeri, seperti beras dan daging sapi misalnya. Untuk berbagai komoditi tersebut, Jepang menerapkan tarif dan hambatan-hambatan lainnya. Terkait dengan itu, diterapkannya TPP tentu akan mengancam kehidupan dari petani-petani Jepang, terutama diakibatkan oleh membanjirnya produk pertanian asing yang harganya lebih murah.

Bagi Jepang, keadaan saat ini memang sangat dilematis. TPP juga bukan sekedar soal tarif, namun juga mengatur soal mobilitas tenaga kerja antar negara Asia Pasifik. Selain proteksi yang tinggi pada sektor pertanian dan peternakan, Jepang juga terkenal tertutup untuk mobilisasi tenaga kerja asing. Kebijakan imigrasi Jepang sangat ketat. Pekerja asing sangat sulit untuk masuk Jepang. Pemerintah menetapkan hanya pekerja profesional seperti perawat, dokter, pekerja pabrik, arsitek, yang dapat masuk bekerja di Jepang. Itupun dengan persyaratan yang ketat dan waktu terbatas. Untuk membatasinya, berbagai cara, mulai dari penyaringan hingga tingginya kualifikasi dan ujian nasional diterapkan bagi pekerja asing.

Diterapkannya TPP, selain berarti Jepang harus membuka pasar bagi produk pertanian dan peternakan, Jepang juga harus rela membuka diri bagi pekerja asing. Hal ini dikhawatirkan akan mendorong terjadinya arus pekerja asing ke Jepang yang akan membuat kolaps sistem kesehatan dan asuransi, selain berbagai masalah sosial lainnya.

Dari aksi protes para petani di Jepang tersebut, kita dapat memetik catatan menarik. Hal ini terutama terkait dengan keikutsertaan Indonesia pada berbagai perjanjian dan kesepakatan internasional, termasuk kesepakatan kita mengikuti pasar bebas. Kita harus menyadari bahwa kesepakatan perdagangan bebas memiliki dua sisi yang kerap bertentangan, terutama bila dikaitkan dengan industri ataupun sektor tertentu domestik. Oleh karenanya, kemampuan untuk menyeimbangkan kedua kepentingan tersebut menjadi penting bagi kita sebelum meratifikasi sebuah perjanjian.

Pemerintah Jepang awalnya tidak terburu-buru dalam meratifikasi TPP, karena mereka melihat dampaknya yang besar bagi kehidupan petani domestik. Namun di sisi lain mereka kini mendapat tekanan yang berat di sisi ekonomi, terutama pascabencana Maret 2011, sehingga keinginan bergabung dengan TPP menjadi besar.

Apapun keputusan yang akan ditempuh nanti, tentu tidak akan bisa memuaskan kedua pihak. Memasuki perdagangan bebas adalah sebuah dilema. Pun bagi Jepang, apalagi Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *