Pekan lalu (13-14 Feb), saya mendampingi Gubernur Bank Indonesia untuk menghadiri sidang ke-31 para Gubernur Bank Sentral negara anggota SEACEN. Sidang tersebut, selain berupaya untuk memperkuat kerjasama antar bank sentral di wilayah Asia, juga membahas beberapa isu strategis yang dihadapi oleh negara-negara Asia. Salah satunya adalah pentingnya masing-masing negara mencermati arus modal asing. Berikut catatan saya, dari sidang tersebut ….
Upaya otoritas moneter untuk mencermati dan menempuh kebijakan yang tepat dalam menghadapi arus modal asing berjangka pendek yang sifatnya spekulatif, dianggap semakin penting, khususnya di tengah krisis global yang berkepanjangan saat ini. Demikian salah satu kesimpulan Sidang ke-31 Gubernur Bank Sentral negara-negara anggota South East Asian Central Bank (SEACEN) yang berlangsung di Seoul, Korea Selatan, 13-14 Februari 2012.
Krisis ekonomi yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat telah menyebabkan terjadinya perpindahan arus modal, khususnya yang berjangka pendek dan spekulatif, secara besar-besaran dan dalam waktu yang singkat. Hal tersebut pada gilirannya menyulitkan otoritas negara-negara, khususnya di Asia, dalam mengendalikan stabilitas makroekonomi.
Oleh karenanya, masing-masing negara kemudian berupaya melakukan berbagai kebijakan untuk mencegah dampak negatif dari berpindahnya arus modal. Namun sebelum menempuh kebijakan, para Gubernur Bank Sentral negara anggota SEACEN menggarisbawahi pentingnya koordinasi dan saling berbagi informasi antar otoritas ekonomi di wilayah regional.
Dalam kesempatan sidang itu, Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution, menyampaikan kepentingan Indonesia yang juga waspada pada isu arus modal asing yang bersifat spekulatif. Indonesia saat ini senantiasa berupaya mencegah dampak negatif dari pergerakan modal yang berlangsung cepat.
Darmin Nasution menyampaikan pengalaman Indonesia melakukan langkah-langkah kebijakan makroekonomi yang berhati-hati dalam menjaga kestabilan makroekonomi, termasuk di dalamnya berbagai aturan terkait arus modal asing.
Satu kebijakan penting yang ditempuh adalah dengan menerapkan “minimum holding period” atau batas minimum waktu kepemilikan untuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Kebijakan tersebut mencegah investor asing untuk menanamkan dananya ke dalam SBI yang berjangka pendek. Penerapan kebijakan itu telah terbukti efektif dalam meredam masuknya dana asing jangka pendek yang sifatnya spekulatif. Di sisi lain, kebijakan itu mampu diterima publik tanpa adanya kekhawatiran akan terjadinya penerapan capital control.
Selain mencermati arus modal asing, para Gubernur bank sentral anggota SEACEN menganggap penting upaya masing-masing negara anggotanya untuk mencermati berbagai faktor eksternal lainnya yang dapat meningkatkan risiko wilayah regional terhadap munculnya krisis. Berbagai hal tersebut antara lain pentingnya melakukan reformasi struktural untuk menciptakan lapangan kerja, mencermati gelembung di harga asset, harmonisasi kebijakan moneter dengan fiskal dan stabilitas sistem keuangan, dan pentingnya kerjasama regional.
Sidang kali ini juga menyepakati masuknya Laos sebagai anggota ke-18 SEACEN. Dengan demikian, SEACEN kini menjadi forum kerjasama bank sentral negara-negara di Asia Pasifik yang beranggotakan 18 negara, yaitu Brunei Darussalam, Kamboja, China, Fiji, Indonesia, Korea Selatan, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Nepal, Papua New Guinea, Filipina, Singapura, Srilanka, Taiwan, Thailand, Vietnam, dan Laos.