Siang tadi (26/2), saya menyaksikan lomba lari Tokyo Marathon 2012. Ini adalah ajang Marathon terbesar di Asia, yang diikuti oleh sekitar 36.000 peserta dari berbagai negara. Menurut saya, Tokyo Marathon bukan hanya ajang lari terbesar, tapi juga ajang lari yang unik. Mengapa unik? karena selain berlari, para pesertanya juga menjadikan ajang marathon ini sebagai hiburan dan pengobar semangat sesama.
Banyak peserta lari marathon yang tampil dengan aneka kostum, layaknya sebuah festival. Ada yang berpakaian Batman, Pokemon, Peter Pan, Putri Salju, beragam tokoh anime Jepang, hingga ada yang tampil menirukan Yesus memanggul salib besar. Sementara itu, para penonton datang mengobarkan semangat dengan berbagai cara.
Pemerintah kota Tokyo juga ingin menunjukkan pada dunia internasional bahwa Jepang telah pulih dari bencana dan aman untuk dikunjungi. Oleh karenanya, Tokyo Marathon juga menghadirkan banyak pelari nasional dan internasional. Selain itu berbagai media lokal dan asing ikut meliput acara ini.
Meski menampilkan keunikan layaknya festival, Tokyo Marathon adalah ajang marathon resmi yang diadakan di kota Tokyo setiap tahun. Lomba ini pertama kali diadakan pada tahun 2007. Namun sebelum itu Tokyo sudah memiliki dua lomba marathon internasional, yaitu “Tokyo International Marathon” dan “Tokyo-New York Friendship Marathon”. Kedua lomba itu telah dimulai pada tahun 1981. Sejak tahun 2007, kedua lomba tersebut digabung menjadi Tokyo Marathon.
Titik Start Tokyo Marathon dimulai dari Kantor Pemda Tokyo di daerah Shinjuku. Lomba ini berakhir di Tokyo Big Sight, Odaiba, dengan jarak tempuh sepanjang 42 kilometer. Pelari akan melewati Suidobashi, Imperial Palace, Shinagawa, Toyosu, Tsukiji, dan Ariake di Odaiba.
Guna menyaksikan ajang marathon tersebut, saya berangkat pagi hari untuk mencari spot terbaik dari rute yang ada. Saya memilih lokasi di sekitar Imperial Palace karena di Shinjuku atau Odaiba pasti penuh oleh penonton. Namun ternyata di sepanjang jalan yang dilalui oleh lomba marathon tersebut, penuh sesak oleh penonton. Untunglah saya masih mendapatkan tempat untuk menonton.
Satu hal lain yang membuat saya tertarik melihat lomba ini adalah kesempatan untuk menyaksikan secara langsung para pelari kelas dunia. Banyak peserta Tokyo Marathon yang memang bukan pelari sembarangan.
Michael Kepyogi, yang menjadi juara Tokyo Marathon tahun 2012 ini misalnya, adalah, pelari dari Kenya yang juga finalis pada lomba atletik dunia tahun 2009. Selain itu, ikut juga pelari legendaris, Haile Gebrselassie dari Ethiopia, yang pernah meraih dua medali emas Olimpiade untuk lari 1000 meter dan empat medali emas untuk Kejuaraan Dunia Atletik. Belum lagi nama-nama seperti Stephen Kiprotich dari Uganda, dan pelari terkenal Jepang, Arata Fujiwara. Pelari Jepang Fujiwara tersebut menjadi juara 2 pada Tokyo Marathon 2012 kali ini.
Menyaksikan para pelari kelas dunia ini tentu sebuah tontonan menarik. Saat para pelari ini lewat, seluruh penonton berteriak keras memberi semangat. Saya kagum dengan para penonton di Tokyo. Mereka sama sekali tidak berisik dan mengganggu konsentrasi pelari. Saat berteriak, para penonton hanya mengeluarkan suara untuk mengobarkan semangat bagi para pelari.
Saat seorang pelari yang berpakaian kostum ala Pokemon lewat misalnya, semua berteriak “Pokemon, gambare!”, yang artinya “Ayo terus semangat Pokemon”. Kata-kata Gambare juga diteriakkan pada peserta-peserta lari yang lain.
Pelari Gebrselassie sendiri merasakan semangat yang berbeda dari para penonton di Tokyo. Dalam pernyataannya, ia mengatakan bahwa penonton Tokyo sangat santun dan selalu memberi semangat bagi para pelari. Hal itu tentu menambah motivasi bagi para pelari.
Tepat apa yang dikatakan Gebrselassie, “Kalau lari jarak pendek, kita melawan kompetitor. Tapi dalam marathon, kita melawan jarak”. Oleh karena itu, motivasi, determinasi, dan ketabahan hati menjadi modal utama dalam lari marathon.
Menyaksikan Tokyo Marathon bagi saya memang bukan sekedar melihat orang lari. Saya justru melihat nilai-nilai tentang bagaimana orang Jepang memandang lari dalam hidup mereka.
Bagi orang Jepang, lari bukan sekedar lari. Ia adalah sebuah tradisi, sebuah budaya, yang berakar panjang dalam kehidupan mereka. Sejak jaman dahulu, orang Jepang diajarkan untuk berlari. Di sekolah-sekolah dasar, ada lomba yang dinamakan “undokai”. Itu adalah lomba atletik anak-anak setiap tahun yang saling mengadu kompetisi anak-anak dalam berlari. Tak heran hingga dewasa kebiasaan lari ini terus terbawa dalam kebanyakan orang Jepang.
Lari bagi orang Jepang adalah juga sebuah filosofi. Orang Jepang sangat cinta dengan lari. Sejak saya tiba di Jepang sekitar dua tahun lalu, saya selalu melihat orang Jepang berlari. Mereka senang lari di pagi, siang, bahkan malam hari. Teman saya yang orang Jepang pernah bilang bahwa ia memiliki filosofi, “I live, eat, and run”. Lari adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Dalam buku “Running and Philosophy: A Marathon for the Mind” yang disusun oleh Michael W. Austin, lari memang bukan semata sebuah gerak tubuh. Di balik olah raga lari, tersimpan banyak unsur, mulai dari budaya, agama, penderitaan, dan kebahagiaan. Sejak jaman Yunani Kuno, lari juga telah menjadi bagian dari kehidupan manusia.
Film “Forrest Gump” juga menunjukkan bagaimana filosofi lari membawa Tom Hanks ke berbagai kejadian hidup dan kesuksesan. Dalam film itu, Tom Hanks hanya memegang satu prinsip dalam hidupnya, yaitu “berlari”. Maka, ia selalu berlari dalam setiap kesempatan.
Oleh karena itu, saat Tokyo Marathon siang tadi, saya melihat sebuah gairah, semangat, dan kegembiraan dari warga Tokyo, baik yang berlari maupun yang menyaksikan. Berbagai atribut, kostum, aneka lagu pengobar semangat, menandakan hal itu.
Tapi harap ingat nih. Lari yang baik itu adalah lari yang menuju pada satu tujuan. Bukan lari dari kenyataan ya hehehe….
Ayo kita lari ! Salam lari dari Tokyo.