Mewaspadai Kembali Arus Modal Asing

foreign exchange / photo bloomberg-guido

Tulisan ini dimuat di Harian KONTAN, 27 Februari 2012, halaman 23

Di tengah belum adanya kepastian penyelesaian krisis di Eropa dan Amerika Serikat, negara-negara di Asia kembali dihadapkan pada risiko terjadinya pembalikan arus modal asing.  Hal tersebut juga mengemuka dalam sidang para Gubernur Bank Sentral negara-negara anggota South East Asian Central Bank (SEACEN) di Seoul, Korea Selatan, pada 14 Februari 2012.

Dalam sidang tersebut, gubernur bank sentral  dari 18 negara, termasuk Indonesia, menggarisbawahi pentingnya negara-negara Asia untuk meningkatkan koordinasi dan kewaspadaan pada ancaman pembalikan arus modal asing, khususnya yang bersifat jangka pendek dan spekulatif.

Kita menyadari bahwa ekonomi Asia tidak sepenuhnya kebal terhadap krisis global yang terjadi saat ini. Krisis merambat ke Asia melalui tiga jalur, yaitu jalur perdagangan (trade channel), jalur keuangan (financial channel), dan deleveraging, atau pelepasan asset dan utang dari investor-investor Eropa di Asia. Ketiga hal itu akan menyebabkan tekanan bagi pasar di Asia yang dampaknya dapat mengganggu stabilitas ekonomi regional.

Menyikapi ancaman tersebut, negara-negara  di wilayah Asia perlu bersiap diri membangun garis-garis pertahanan. Sejak krisis global terjadi di tahun 2008, arus modal asing mengalir secara deras ke wilayah Asia, termasuk Indonesia. Hal tersebut meningkatkan risiko terjadinya pembalikan, yang kini mulai dirasakan di beberapa negara, dan menyulitkan pihak otoritas dalam mengendalikan stabilitas makroekonomi.

Indonesia memiliki pengalaman buruk dengan pelarian modal asing saat krisis ekonomi tahun 1998 lalu. Saat itu, modal asing ditarik dari Indonesia dalam sekejap dan berakibat pada runtuhnya perekonomian Indonesia. Pengalaman ini membuat kita belajar untuk lebih berhati-hati dalam menyikapi masuknya modal asing.

Di satu sisi, kita perlu tetap menjaga keterbukaan Indonesia pada modal asing yang masuk. Perekonomian  yang sedang berkembang tetap memerlukan asing. Namun di sisi lain, kita perlu mencermati jenis modal yang masuk. Modal asing, terutama yang sifatnya portfolio dan berjangka pendek, apabila masuk dalam jumlah besar dan waktu singkat akan menyebabkan kondisi yang tidak sehat pada transaksi berjalan (unsustainable current account).

Apabila modal asing terus menerus masuk dalam jumlah besar, akan menyebabkan nilai tukar rupiah menguat atau terapresiasi. Pada satu level tertentu, apresiasi yang berlebihan berakibat tidak baik karena dapat menyebabkan ekspor Indonesia terpukul.

Sementara itu, rupiah yang terus menguat juga akan meningkatkan permintaan domestik terhadap barang-barang impor. Apabila impor, terutama yang bersifat konsumtif, terus meningkat tajam dan tidak diiringi oleh meningkatnya ekspor, terjadilah ketidakseimbangan eksternal. Ketidakseimbangan ini sangat berbahaya, khususnya apabila secara tiba-tiba terjadi pelarian (pembalikan) arus modal asing dalam jumlah besar.

Keseimbangan dalam negeri

Di sinilah perlunya otoritas masing-masing negara di Asia melakukan langkah-langkah pengamanan. Indonesia berupaya untuk melakukan berbagai upaya dalam menangani modal asing ini. Di sisi nilai tukar, Bank Indonesia (BI) melakukan kebijakan stabilisasi di pasar valuta asing.

Namun kebijakan itu saja belum cukup, mengingat terus masuknya modal asing ke dalam negeri. Stabilisasi BI di pasar valas justru menambah jumlah likuiditas rupiah di pasar uang. Akhirnya, Bank Indonesia harus menyerap kembali likuiditas tersebut agar tidak memberikan dampak inflasi.  Penyerapan itu dilakukan melalui instrumen moneter yang pada akhirnya justru menambah beban operasi Bank Indonesia.

Kemudian BI menerapkan kebijakan lain, seperti holding period atau batas minimum kepemilikan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) di dalam negeri. Modal asing yang masuk ke dalam SBI dibatasi minimal harus bertahan di dalam negeri selama 6 bulan. Hal ini cukup mengurangi derasnya dana-dana spekulatif yang masuk ke SBI. Selain itu ada juga kebijakan pembatasan saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek bank, peningkatan giro wajib minimum valuta asing Bank, dan munculnya term deposit untuk menjaga kestabilan di pasar uang.

Penerapan kebijakan itu telah terbukti efektif meredam masuknya dana asing jangka pendek yang bersifat spekulatif. Di sisi lain, kebijakan itu mampu diterima publik tanpa adanya kekhawatiran terjadinya penerapan capital control

Meski kita telah menempuh berbagai aturan makroprudensial, kita tak boleh berpuas diri. Risiko tetap ada, mengingat jumlah modal asing yang masuk ke dalam negeri saat ini relatif masih besar.

Satu langkah lain yang juga kita lakukan adalah membangun kerjasama dengan negara-negara di wilayah regional. Hal ini penting, negara-negara di Asia memiliki permasalahan yang sama. China misalnya, pada triwulan IV-2011 menghadapi pelarian modal asing sekitar 100 miliar dolar AS. Hal tersebut cukup memberi tekanan pada stabilitas perekonomian China.

Kerjasama multilateral untuk memperkuat posisi likuiditas valuta asing guna mengatasi permasalahan neraca pembayaran dan likuiditas jangka pendek. Salah satu inisiatif yang telah dilakukan adalah Chiang Mai Inisiatif Multilateralisme (CMIM) antar negara ASEAN+3, yang telah disusun dengan  menyediakan dana jaga-jaga sebesar 120 miliar dolar AS. Selain itu, otoritas negara-negara di kawasan Asia terus mengembangkan berbagai forum kerjasama seperti SEACEN, EMEAP, dan kerjasama bilateral lainnya.

Tentu saja kita tak boleh melupakan pentingnya menjaga keseimbangan di dalam negeri. Upaya melakukan reformasi struktural untuk menciptakan lapangan kerja, serta harmonisasi kebijakan moneter dengan fiskal dan stabilitas sistem keuangan, terutama dalam mencermati dana asing yang masuk ke pasar obligasi, menjadi syarat mutlak yang perlu dilakukan untuk memperkuat pertahanan domestik.

Junanto Herdiawan, Analis Ekonomi Senior, Kantor Perwakilan BI Tokyo


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *