Cinta Yamashita-san Pada Indonesia

Yamashita-san di acara Upacara HUT RI 2012 / photo junanto

Namanya Yamashita-san. Orang Jepang asli. Usianya sudah 92 tahun. Jalannya mulai payah dan bicaranya sedikit terbata-bata. Tapi kecintaannya pada Indonesia, jangan ditanya.  Meski panas menyengat di kota Tokyo, Yamashita-san tetap datang ke Wisma KBRI Tokyo untuk mengikuti upacara peringatan HUT-RI ke-67.

“Tujuh puluh tahun lalu, saya bertugas di Surabaya”, cerita Yamashita-san pada saya, sambil menunjukkan foto masa mudanya di Surabaya.  Saat itu usianya masih 22 tahun. Ia ikut dalam rombongan orang Jepang ke Indonesia. Tapi ia tidak bertugas di militer. Banyak juga orang Jepang yang datang ke Indonesia pada masa itu, bertugas sebagai tekhnisi, guru, ataupun pekerja biasa.

Yamashita-san sungguh menyesalkan terjadinya Perang Dunia ke-II yang menyimpan kisah suram antara Indonesia dan Jepang. Padahal hubungan Jepang-Indonesia tidak melulu soal perang. Banyak kisah sosial, budaya, perdagangan, dan pendidikan di antara kedua negara, yang tertutup oleh kekejaman perang.

Kecintaan Yamashita-san pada Indonesia menjadikannya terus menerus aktif dalam kegiatan di Asosiasi Persahabatan Jepang Indonesia (Japindo).  Asosiasi ini aktif di berbagai kegiatan sosial antara kedua negara.

Hari ini, Yamashita-san, datang bersama rekan-rekannya yang juga aktif di Japindo, yaitu Kato-san (82 tahun) dan Imazawa-san (98 tahun). Mereka berdua juga pernah tinggal di Indonesia pada tahun 1940-an. Imazawa-san di Papua dan Maluku, sementara Kato-san mengatakan bahwa ia berada di Indonesia saat kelas 3 SMP untuk mengikuti kedua orang tuanya.

Rasa cinta ketiga orang tua Jepang tersebut pada Indonesia juga ditunjukkan dengan semangat mereka untuk menghadiri upacara HUT RI ke-67. Padahal, udara di kota Tokyo pada musim panas sangat menyengat. Suhu berkisar antara 31 hingga 34 derajat Celcius, namun lebih pengap dari Jakarta. Pemerintah Jepang bahkan sudah memperingatkan orang-orang tua untuk tetap berdiam di dalam rumah guna menghindari hal yang tidak diinginkan, seperti serangan “heat-stroke”, atau “netsucho” dalam bahasa Jepang.

Namun Yamashita-san tak mau diam di rumah. Baginya, upacara 17 Agustus adalah sebuah tempat baginya untuk menunjukkan kecintaannya pada Indonesia.  Iapun hadir di tengah upacara.

Upacara di Wisma KBRI Tokyo dimulai pada pukul 8.00 pagi, dipimpin langsung oleh Inspektur Upacara, Dubes RI untuk Jepang, Muhammad Lutfi.

Saat upacara berlangsung, matahari terik menyengat. Yamashita-san saya lihat berdiri saat bendera merah putih dikibarkan. Namun tak lama, ia duduk terkulai. Yamashita-san tak sadarkan diri. Kato-san dan Imazawa-san berusaha menolong dan memberikannya minuman. Tapi Yamashita-san tak bereaksi.

Petugas upacara kemudian mendatangi dan memapah Yamashita-san yang terlihat lemah. Tim dokter membantunya memberi alat bantu oksigen dan minum. Alhamdulillah, berkat juga kesigapan tim dokter, Yamashita-san akhirnya sadar. Ia bisa berbicara kembali. Kita semua lega.

Melihat semangat Yamashita-san untuk datang upacara, sebagai orang Indonesia saya jadi malu. Banyak dari kita, terutama anak-anak muda, yang terlihat enggan melakukan upacara bendara. Apalagi cuaca saat ini panas dan sedang berpuasa. Tak sedikit saya lihat di status bbm atau twitter yang mengatakan dirinya malas upacara, pegel, panas, dan berjuta alasan lainnya, sampai tidak melihat esensi upacara.

Tapi dari apa yang terjadi pada Yamashita-san hari ini, saya belajar makna cinta tanah air. Di tengah musim panas yang menyengat, Yamashita-san rela mengambil risiko terkena serangan heat stroke demi menunjukkan cintanya pada negeri Indonesia. Kalau orang Jepang saja begitu besarnya cinta pada negeri kita, selayaknyalah kalau cinta kita harus lebih besar. Dan cinta, tak cukup di kata, ia harus ditunjukkan dalam perbuatan.

Selamat Hari Ulang Tahun Indonesia ke-67. Dirgahayu !

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *