Ini sedikit kisah tentang kawan saya, Pak Joaquin Monseratte, Konsul Jendral AS di Surabaya. Saya mengenalnya sejak tahun 2013, saat ia datang ke kantor memenuhi undangan diskusi ekonomi. Biasanya, hampir tidak pernah seorang Konsul Jenderal datang ke diskusi tingkat tekhnis. Mereka mendelegasikan pada bidang ekonomi untuk hadir. Namun, pak Joaquin datang sendiri karena ingin mendengar, dan tentunya ingin berkenalan.
Dari situ terlihat pendekatannya yang santai, rileks, dan tidak formal. Beda dengan umumnya diplomat yang terkesan resmi, bahkan tak sedikit yang bersikap kaku. Pak Joaquin ini beda. Pembawaannya memang agak-agak koboi dan tidak protokoler.
Bagi kota Surabaya, sosok Joaquin memang bukan orang baru. Di tahun 2000-2002, ia pernah ditempatkan di Surabaya sebagai staf Konjen AS. Itu kenapa, ia begitu fasih berbahasa Indonesia, karena saat penempatannya dulu, ia belajar bahasa. Makanan Jawa Timur juga disantapnya. Kesukaan pada Lontong Kupang, Rawon, Soto, menjadikannya unik. Tak banyak loh orang bule yang suka makan Lontong Kupang. Saya aja ga berani hehehe….
Sejak pertemuan pertama itu, kitapun berkawan. Saya beberapa kali bertemu dan diundang pada berbagai acara Konsulat, baik resmi maupun informal. Dan akhir pekan lalu, kita janjian sarapan pagi untuk mencicipi Soto Banjar. Ada satu warung Soto Banjar di dekat perumahan Graha Famili yang direkomendasikan oleh kawan Fadhil. Sarapan kita dilakukan dalam rangka perpisahan dengan Fadhil, yang baru lulus dari Universitas Ciputra dan harus kembali ke kampung halamannya di Bontang.
Pak Joaquin memang tidak pernah memandang pangkat, jabatan, atau formalitas dalam bersahabat. Selama ini Fadhil adalah mahasiswa yang aktif membantu kegiatan-kegiatan konsulat, sebagai volunteer muda. Nah saat ia mendengar Fadhil mau pulang kampung, ia langsung ajak bikin sarapan farewell. Dan kita bertigapun janjian di warung Soto Banjar.
Well, bukan pak Joaquin kalau tidak memberi kejutan.
Pagi itu, saya dan kawan Fadhil sudah datang duluan. Kitapun menanti kedatangan Pak Joaquin. Biasanya ia datang menggunakan mobil dinas SUV anti peluru dengan plat CC-12-01. Plat nomor konsuler.
Nah, saat kita menunggu, tiba-tiba ada motor Harley masuk dikendarai orang memakai helm. Suara Harley khas meraung-raung memasuki wilayah warung. Kita berdua membatin, “Eh liat tuh ada bule naik motor Harley terus pake baju batik, lucu banget”. Memang terlihat unik sekali ada bule yang tinggi besar, pakai helm, berbaju batik, dan mengendarai motor Harley Davidson.
Eh, tapi motor itu tiba-tiba berhenti di depan kita, lalu pengendaranya melepas helm. Taraaaa, ternyata itu Pak Joaquin! … Kitapun tertawa bersama.
Ia bercerita bahwa menaiki motor Harley adalah salah satu hobinya di kala senggang, terutama saat akhir pekan. Motor Harley dibawanya dari Kuba. Di Jawa Timur, ia pernah naik Harley sampai Pamekasan Madura, berdua saja dengan istrinya. Namun ia bilang, kalau hari biasa tidak sanggup naik Harley di Surabaya, selain panas, jalanannya juga sudah ramai dengan motor.
Pak Joaquin adalah satu contoh diplomat yang membumi. Hobinya blusukan, makan kuliner lokal, menyatu dengan masyarakat. Ia rajin berkunjung ke berbagai pesantren, komunitas, pelosok daerah, semua didatanginya. Kawannya berbagai kalangan, mulai dari pejabat pemerintah, bupati, walikota, pengusaha, akademisi, kyai-kyai, hingga anak-anak sekolah. Pendekatannya horizontal, bukan vertikal dan “angkuh” sebagaimana banyak pejabat ataupun diplomat. Hal ini yang menjadikan banyak orang menganggapnya sebagai kawan. Kefasihannya berbahasa Indonesia membuatnya semakin mudah diterima.
Pak Joaquin membawa wajah baru diplomasi AS di Indonesia, dan Surabaya pada khususnya, sebagaimana dulu juga pernah dibawakan oleh Dubes-Dubes AS seperti Pak Paul Wolfowitz, dan para penerusnya. Sukses terus Pak!
Keren pak