Mengawali 2015, saya diajak Mas Ipung, penulis buku “Surabaya Punya Cerita”, untuk melakukan blusukan sejarah dengan mengunjungi satu kampung pecinan di Surabaya, yang kerap terlupakan. Kampung Tambak Bayan namanya. Lokasi tepatnya di wilayah Kelurahan Alun-Alun, Bubutan. Kampung ini dihuni oleh mayoritas keturunan Tionghoa sejak tahun 1930. Dulu, mereka datang ke Surabaya, bermigrasi dari daratan Kanton. Saat ini yang tertinggal umumnya adalah generasi ketiga dan keempat. Mereka memiliki keahlian seperti tukang kayu, tukang kawat, penjahit, maupun menjual makanan.
Saya bertemu dengan mas Gepeng yang merupakan anak muda generasi keempat di kampung itu. Turut bergabung di tim blusukan sejarah pagi itu, Satria, Adrea, dan Josef. Gepeng kemudian membawa kami menelusuri sudut-sudut Tambak Bayan. Kami dikenalkan dengan Pak Tjoe, penduduk tertua di kampung tersebut, usianya 84 tahun. Meski sudah tua, Pak Tjoe bersemangat kalau diajak cerita tentang Tambak Bayan. Ia mengisahkan perjalanan dirinya diajak oleh orang tuanya, dari Tiongkok, ke Surabaya, pada saat ia berusia 12 tahun. Sejak itulah ia tinggal di Kampung Tambak Bayan ini. “Saya di sini lebih dari 70 tahun, saya mau tetap di sini, mati di sini”, demikian kata pak Tjoe.
Dahulu, Tambak Bayan terkenal sebagai tempat istal atau kandang kuda. Ada satu bangunan besar yang digunakan sebagai kandang kuda pada jaman kolonial Belanda dan Jepang. Di sekitar istal itulah dibangun pemukiman bagi warga Tionghoa yang membantu dan merawat kuda dan melakukan pekerjaan pendukung, seperti tukang kayu, memasak dll. Hingga kini kita masih bisa melihat sisa istal tersebut, dan rumah-rumah petak yang dibangun di sekitarnya.
Selain istal dan rumah petak, di sekitar kampung Tambak Bayan juga masih banyak terdapat rumah dengan arsitektur indische dan kolonial, yang tetap dipertahankan bentuknya hingga sekarang. Beberapa rumah terlihat dirawat dan dicat ulang, namun beberapa di antaranya terlihat terbengkalai. Kami berhenti dan berpose di beberapa rumah.
Kampung Tambak Bayan dalam beberapa waktu belakangan ini ramai diberitakan media terkait dengan sengketa lahan. Ada satu pihak yang meng-klaim kepemilikan lahan di Tambak Bayan, sementara penduduk yang tinggal di sana juga merasa sudah tinggal di lahan itu dari generasi ke generasi. Hingga kini permasalahan itu belum menunjukkan penyelesaian. Pak Tjoe dan penduduk sekitarnya tentu berharap permasalahan kepemilikan lahan di Tambak Bayan dapat segera diselesaikan.
Terlepas dari permasalahan itu, menelusuri Kampung Tambak Bayan membawa kita pada sebuah dimensi yang berbeda dalam melihat keturunan Tionghoa di Indonesia. Umumnya penduduk di sini tinggal di rumah petak, ukuran 4×3 meter, atau 4×5 meter, dan diisi oleh banyak anggota keluarga. Jalanan kampung ini juga sempit berupa lorong dan gang-gang kecil. Kesan yang didapat memang sungguh memprihatinkan. Namun dengan kehidupan yang dihadapi sehari-hari seperti itu, warga Tambak Bayan tampak menikmati kehidupannya. Setiap bertemu dengan warga, senyum dan keramahan tersebar dari wajah meraka. Warga di sini memang guyub dan bersatu. “Sing penting tetep kumpul, bagai saudara”. Demikian kata seorang warga.
Nice artikel