Ada Coto Kuda di Jeneponto

 

Kerja Keras Bagai Kuda
Kerja Keras Bagai Kuda

Pergi ke Sulawesi Selatan, mampirlah ke Jeneponto. Dalam kesempatan meninjau Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Jeneponto, Sulawesi Selatan, seorang kawan mengajak saya untuk mencicipi hidangan lokal daerah tersebut. “Apa itu?” tanya saya. “Coto Makassar”, katanya. “Wah kalau itu saya sudah sering mencoba”, kilah saya.

“Tapi yang ini beda”, ujar teman saya lagi.

“Coto Makassar di Jeneponto menggunakan daging Kuda….”

Jreeeng…jreeeeng!

Kuda?? Tentu ada sedikit kerisihan ketika mendengar daging kuda dimakan untuk coto. Ya, kuda memang bukan jenis binatang yang umum dijadikan makanan. Selain untuk hiasan, kuda kan selama ini kita kenal memiliki fungsi sebagai tunggangan atau transportasi. Sering juga dipakai sebagai keindahan lukisan-lukisan dan patung. Hubungan emosional manusia dengan kuda yang selama ini dijadikan tunggangan atau teman berekreasi seperti itu memang menjadikan kita merasa tidak layak memakannya. Jadi memang tak mudah untuk menerima kenyataan kalau daging kuda dijadikan makanan.

Urusan kuda sebagai makanan memang memiliki berbagai pandangan. Ada negara yang melarang, ada juga yang membolehkan. Di beberapa negara, seperti Inggris misalnya, daging kuda pernah dianggap tabu dan dilarang untuk dimakan. Kalau melihat sejarah dulu, Paus Gregorius III di tahun 732 pernah mengeluarkan larangan memakan daging kuda. Dari sudut pandang agama Islam juga ada beberapa pandangan tentang makan daging kuda, dari yang menghalalkan, makruh, hingga melarang.

Di Perancis pada masa perang Napoleon pernah terjadi suasana kelaparan yang menjadikan banyak tentara memakan daging kuda sebagai sumber tenaga mereka. Kebiasaan ini mulai meluas di Abad 19 seiring dengan mahalnya harga daging sapi saat ini. Kuda kemudian dilegalkan sebagai makanan di Perancis. Di beberapa negara lain, seperti Jepang, daging kuda juga memiliki sejarah sama. Saat terjadi kelaparan, penduduk memakan kuda hingga kemudian menjadi kebiasaan hingga sekarang. Di wilayah Kumamoto, penduduknya memakan kuda sebagai asupan daging sehari-hari. Mereka menyebut daging kuda dengan istilah “sakura-niku” karena dagingnya yang berwarna pink mirip bunga sakura saat mekar. Saya pernah mencicipi sashimi kuda saat tinggal di Jepang, ya, sashimi daging kuda mentah hehehe… aneh ya.

Kembali ke warung coto kuda di Jeneponto, saya dan kawan-kawan akhirnya mengikuti saran kawan tadi dan masuk ke warung yang menyajikan coto kuda. Tidak semua kawan mau mencicipi karena kerisihannya. Tapi sebagian lainnya mau mencoba petualangan itu. Di Jeneponto, makan daging kuda sudah menjadi bagian dari tradisi mereka. Menurut Ibu Mardiana, kawan di kantor Makassar yang aslinya orang Jeneponto, sejak kecil mereka sudah dibiasakan makan daging kuda. Bahkan kalau ada acara kendurian, syukuran, daging kuda menjadi sebuah hidangan wajib. “Belum sah acaranya kalau belum ada daging kuda”, begitu ujarnya.

Coto Kuda Jeneponto disajikan dengan kuah encer
Coto Kuda Jeneponto disajikan dengan kuah encer

Well, itu kearifan lokal, dan kekayaan serta dinamika dari kuliner di nusantara. Sejarahnya tentu panjang. Jadi ada baiknya kita menghormati dan mencoba mengenali, kalau berani, ya ikut mencicipi.

Persepsi pertama tentang daging kuda adalah alot. Ya, mungkin ada yang pernah punya pengalaman makan sate kuda di Jogja yang kebetulan dapat daging alot. Sejak itu persepsi akan melekat terus. Tapi persepsi itu tidak selamanya benar. Menurut pemilik warung coto kuda, daging kuda yang mereka sajikan bukan berasal dari kuda pacuan, kuda transport, atau kuda delman, melainkan kuda yang memang disiapkan untuk dimakan dagingnya. Jadi dari sisi asupan dan gerak mereka juga disesuaikan. Kuda yang diambil dagingnya juga bukan kuda tua, melainkan yang berumur sekitar satu tahun.

Dan benar kata pak pemilik warung, daging kuda yang dijadikan coto kuda ini sangat lembut. Serat daging kuda lebih besar dibandingkan daging sapi, tapi soal kelembutannya tidak kalah. Soal rasa juga relatif lebih ”strong” dibanding sapi, namun tidak sekeras daging kambing yang kadang ”prengus”.

Mencicipi daging kuda adalah sebuah pengalaman. Tentunya ini jenis makanan yang sifatnya “acquired taste”, atau cita rasa yang memerlukan pembiasaan sebelum bisa memakannya. Juga memerlukan wisdom tersendiri untuk menilainya. Jadi wajar saja bila orang yang baru pertama mendengar akan merasa risih untuk mencicipinya.

Namun kalau mau mencoba pengalaman, tentunya tak akan melewatkan kesempatan tersebut. Jadi teringat lagu Koes Plus yang liriknya berbunyi, “Kerja Keras Bagai Kuda” …. Mungkin kalau makan kuda, dipercaya bisa sekuat kuda hehehe …. Salam.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *