Mengenal Kebijakan Taper dari The Fed

Bersama Jerome Powell saat Pertemuan Tahunan IMF di Bali, 2018

Dalam beberapa waktu belakangan ini dunia finansial diwarnai oleh satu isu menarik, yaitu soal kebijakan Tapering yang akan dilakukan oleh Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed). Banyak pertanyaan ke saya yang ingin mengetahui, apa sih taper itu? Kok jadi berita dan dikhawatirkan oleh pelaku pasar. Secara sederhana dalam tulisan ini, saya akan jelaskan mengenai apa itu Tapering dan kenapa jadi pembicaraan yang ramai di media.

Pertama kita perlu melihat dari awal  saat pertama kali pandemi Covid-19 terjadi, secara khusus di Amerika Serikat. Ketika pandemi melanda negara tersebut, ekonomi terpukul, pengangguran meningkat, dan pasar finansial ambruk. Dalam situasi seperti itu, satu-satunya langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi tekanan dan menenangkan pasar keuangan adalah dengan memberikan injeksi likuiditas, atau menggelontorkan dana ke pasar, agar ekonomi dapat bergerak kembali. Seperti tubuh manusia yang mengalami kurang darah, atau aliran darah tidak lancar, maka upaya menambah darah dan melancarkan perputarannya menjadi penting.

Langkah yang dilakukan oleh The Fed,  juga dilakukan oleh pemerintah dan bank sentral di hampir seluruh dunia saat menghadapi pandemi Covid-19 yang memukul ekonomi. Langkah yang dilakukan hampir mirip, yaitu dengan membeli surat-surat berharga dan menambah pasokan likuiditas dalam perekonomian. Dengan adanya tambahan likuiditas  di pasar, harapannya ekonomi dapat kembali bergerak dan bangkit. Di Indonesia, langkah ini dilakukan melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di mana pemerintah dan Bank Indonesia juga berupaya menambah likuiditas di pasar, baik melalui pasar keuangan ataupun langsung ke masyarakat melalui bantuan sosial, bantuan UMKM, dan perusahaan-perusahaan.

Kembali pada kondisi di AS, langkah menambah likuiditas tersebut, atau yang dikenal dengan istilah Quantitative Easing (QE), telah berlangsung sejak awal 2020, jumlahnya sangat besar, secara total mencapai 2,3 Triliun Dolar AS. Angka ini lebih besar daripada jumlah QE yang dilakukan The Fed saat krisis global tahun 2008-2009.

Nah, setelah melakukan QE selama beberapa waktu, laporan indikator makroekonomi AS menunjukkan bahwa kondisi perekonomian mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Angka pengangguran menurun, pertumbuhan ekonomi mulai mengeliat, dan ada tanda-tanda ekonomi mulai menunjukkan inflasi. Di sinilah, istilah “Tapering” muncul.

Yang dimaksud dengan kebijakan “Tapering” oleh The Fed ini adalah sebuah kebijakan yang secara gradual mulai melakukan pengurangan likuiditas pada perekonomian. Jadi kalau sebelumnya The Fed mengguyur ekonomi dengan likuiditas, dengan tapering perlahan mulai dikurangi. Caranya bagaimana? Bisa dengan mulai mengurangi pembelian surat berharga hingga menaikkan suku bunga.

Lalu mengapa ini jadi penting buat kita? Apa dampaknya bagi ekonomi kita dan perekonomian global? Nah, karena ekonomi dunia ini saling terkait satu sama lainnya, ditambah lagi AS adalah negara adidaya dengan mata uang dolar nya yang digunakan secara global, maka kebijakan yang dilakukan The Fed akan berpengaruh ke banyak negara. Pertama, ketika The Fed mengurangi likuiditas atau menaikkan suku bunga di dalam negerinya, akan menarik dan mendorong dana-dana di dunia untuk masuk kembali ke AS karena mencari suku bunga yang lebih tinggi. Kedua, hal ini otomatis akan berpengaruh pada negara-negara yang memiliki ketergantungan atau dipengaruhi oleh dana asing. Ketika terjadi dana asing keluar (capital outflow), akan berdampak pada nilai tukarnya, ataupun nilai imbal hasil (yield) surat-surat berharganya.

Dan bagaimana kita harus menyikapi hal ini? Gubernur Bank Sentral AS, atau Chairman The Fed, Jerome Powell, sangat menyadari dampak dari kebijakan yang ditempuhnya. Oleh karenanya, kebijakan tapering tidak akan ditempuh secara tiba-tiba atau mendadak dalam waktu dekat. Pak Powell bahkan mengatakan bahwa meskipun inflasi terlihat ada tanda-tanda meningkat, dengan masih belum redanya pandemi, akan ada kemungkinan inflasi turun ke depan. Selain itu, angka pengangguran di AS masih defisit 7,6 juta orang apabila dibandingkan dengan masa sebelum pandemi. Jadi indikasi yang diberikan oleh Pak Jerome Powell tersebut menunjukkan bahwa kebijakan tapering nampaknya tidak akan dilakukan dalam waktu dekat, khususnya di tahun 2021 ini.

Dengan penjelasan tersebut, pemerintah dan bank sentral di berbagai negara dapat melakukan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya tapering di masa depan. Di Indonesia sendiri, Bank Indonesia kita lihat  terus melakukan upaya-upaya stabilisasi nilai tukar dan terus berkoordinasi dengan pemerintah untuk menjaga agar imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tetap berada pada batas yang wajar. Tentunya langkah-langkah gradual perlu ditempuh dalam menyikapi rencana tapering tersebut.

Semoga penjelasan ini dapat memberikan pemahaman kawan terkait dengan apa itu kebijakan tapering dan dampaknya ke ekonomi kita. Salam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *