Meningkatkan Motivasi Hidup dengan Demotivasi

Buku Kumpulan Kalimat Demotivasi Syarif Maulana

Judul buku: Kumpulan Kalimat Demotivasi II: Panduan Hidup Bahagia untuk Medioker

Pengarang: Syarif Maulana

Penerbit: Buruan & Co

Tebal Halaman: 98 hal + xiv

Dalam sebuah diskusi virtual saya dengan beberapa kawan milenial, ada satu topik menarik yang diangkat. Salah satu peserta bercerita bahwa sejak kecil ia diajari semangat dan motivasi untuk menggapai kesuksesan. Hidupnya kemudian termotivasi untuk sukses. Hal itu ditandai dengan berbagai pencapaian dan prestasi, baik secara akademis maupun organisasi. Sejak SD hingga kuliah, ia mengejar nilai tinggi, juara, dan lulus memuaskan. Setelah itu, ia bekerja di perusahaan atau lembaga ternama. Segala hal yang ia perjuangkan sejak kecil, telah diraih. Namun, ia kini justru mengalami semacam kehilangan makna, karena kembali diburu oleh motivasi-motivasi untuk terus berprestasi. Dengan ketatnya persaingan karir di kantor, seolah kesuksesan ini belum cukup. Ia merasa harus terus menerus berlari mengejar sukses dan karir.

Di sisi lain, beberapa waktu lalu, media sosial juga ramai diisi pencapaian anak-anak muda sukses. Ada yang telah menjadi CEO di bawah usia 30 tahun, ada yang mengunggah pencapaiannya meraih Rp.100 juta di usia 25 tahun dan sejenisnya. Para motivator kemudian berlomba menebarkan virus motivasi untuk berpikir positif, yakin pasti bisa, dan berbagai ajaran lain untuk memotivasi anak-anak muda agar sukses seperti contoh di atas. Bagi sebagian anak muda, apalagi yang hobinya rebahan dan berulangkali mengalami kegagalan, baik dalam nilai kuliah, melamar kerja, hingga cinta ditolak, hal itu tentunya semakin memukul mental. Tekanan untuk sukses, malah menjadikan hidup bagai sebuah kesengsaraan.

Di tengah kondisi tersebut, hadirnya buku “Kumpulan Kalimat Demotivasi II” karya Syarif Maulana, seolah menjadi sebuah oase penyegar, dan pengingat bagi kita semua. Bahwasanya, kaum medioker, remaja sekte rebahan, anak muda yang sedang-sedang saja, juga bisa hidup bahagia. Kebahagiaan tak melulu dikaitkan dengan berbagai pencapaian material. Pemikiran di buku ini betul-betul seperti angin segar di tengah hiruk pikuk kerasnya tuntutan dunia modern.

Syarif Maulana adalah seorang pengajar di Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, dan saat ini juga kandidat Doktor Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Ia juga inisiator Kelas Isolasi, sebuah kelas filsafat yang rutin melakukan diskusi dan kelas secara daring. Dengan latar belakangnya itu, jelas buku ini bukan sebuah buku “kaleng-kalengan”, meski kesannya buku ini ringan dan penuh humor. Buku ini justru menyimpan pesan filosofis yang pekat dan sarat dengan makna, tetapi disampaikan secara santai.

Buku “Kumpulan Kalimat Demotivasi II” ini semacam sekuel buku sebelumnya “Kumpulan Demotivasi: Panduan Menjalani Hidup dengan Biasa-Biasa Saja” yang terbit pada tahun 2020. Dalam buku kedua ini, Syarif Maulana menfokuskan pada upaya menggapai hidup bahagia, khususnya bagi kaum medioker, atau kelompok masyarakat yang biasa-biasa saja. Apabila buku pertama sarat dengan pemikiran-pemikiran filsuf, mulai dari Yunani Kuno hingga Emil Cioran dan ajaran Buddhisme, di buku kedua ini tulisan terasa lebih praktis, ringan, tanpa meninggalkan nafas filsafat.

Buku ini dibagi dalam beberapa bab, yang menggunakan berbagai pendekatan dalam melihat demotivasi, antara lain melalui pendekatan sains/logika (hal 19), linguistik (hal 29), etika kapitalisme (hal 49), maupun secara spiritual melalui doa-doa demotivasi (hal 59). Kontekstualisasi pandemi Covid-19 sebagai virus demotivasi juga diangkat secara baik, sehingga kita diajaknya merenung. Menurut Syarif, pandemi Covid-19 adalah semacam virus untuk mengingatkan manusia agar tidak diselimuti optimisme yang berlebihan dalam menghadapi hidup. “Pertama, berbagai konsep kemajuan yang diagung-agungkan oleh manusia, … ternyata bisa diperlambat, setidaknya untuk sementara oleh pandemi. Kedua, … virus ini menghinggapi orang kaya dan sukses, ..jangan-jangan menjadi kaya dan sukses bukan sebuah cita-cita luhur, toh tetap saja terkena Covid. Ketiga, kemampuan manusia memprediksi masa depan (dengan bantuan sains dan teknologi) ternyata belum sanggup menyimpulkan kapan pandemi Covid-19 akan berakhir” (hal 12-13).

Sebagaimana buku pertama, buku ini teguh mengajukan kritik terhadap konsep motivasi, terutama motivasi artifisial (yang kerap dijual para motivator), yang berpendapat bahwa pola pikir positif seolah bisa dijadikan panasea atau “obat bagi segala” (hal 19). Syarif mengajukan kritik pada para motivator yang meyakini bahwa orang sukses itu adalah yang pola pikirnya sukses, seolah orang gagal adalah orang yang pola pikirnya gagal. Umumnya, pemikiran itu berasal dari buku The Secret karya Rhonda Byrne dan The Science of Getting Richkarya Wallace Wattles. Menurut Syarif, gagasan Wattles bermasalah karena melakukan simplifikasi bahwa kekayaan adalah konsekuensi dari pola pikir positif dan kemiskinan merupakan konsekuensi dari pola pikir negatif (hal 21). Wattles seolah-olah lupa bahwa manusia punya banyak cara untuk hidup bahagia (hal 23).

Membaca buku ini, kita juga diajak memasuki ajaran “mindfulness” yang saat ini sedang marak digandrungi anak muda.  Tujuan demotivasi, pada ujungnya adalah adalah juga bagaimana bisa mencapai kebahagiaan dan ketenangan jiwa. Bukankah itu makna kita hidup di dunia? Sukses, kaya, atau apapun kondisi kita, akan sia-sia bila hati tak tenang. Buku ini mengingatkan kita bahwa begitu banyak alasan untuk selalu bersyukur, dan merasakan keistimewaan untuk hidup biasa-biasa saja.

Bab doa-doa demotivasi secara kritis mengingatkan kita yang kerap lupa dengan kenikmatan-kenikmatan kecil yang diberikan Tuhan sepanjang hari. Pikiran kita seringkali terlalu jauh ke depan dan berdoa meminta hal-hal besar, kadang tak sadar seperti memberi instruksi pada Tuhan. Namun kita lupa mensyukuri hal kecil, kalau ban motor tidak kempes dalam perjalanan, baterai laptop tidak drop, pasangan kita sedang manis, adalah juga sebuah anugerah (hal 60).

Dan sebagaimana judulnya, buku ini juga berisikan kalimat-kalimat demotivasi yang mengundang senyum geli. Namun kalau dipikirkan secara mendalam, kita akan berkata, “bener juga ya!”.

Misalnya: “ Di balik setiap kesulitan, boleh jadi tersimpan kesulitan lain yang lebih besar”, atau “Sukses bukan soal bakat, kerja keras, ataupun kemauan untuk belajar. Sukses sering kali bermula dari keadaan keluarga yang memang sudah sukses” (hal 54).

Dan juga, “Hidup itu seperti mengendarai sepeda: Sekuat apa pun kita mengayuhnya, tetap kalah cepat oleh motor” (hal 55).

Satu hal yang menjadi catatan dalam buku ini adalah kesannya yang menjadi terlalu berhati-hati dalam menyampaikan ide demotivasi. Berbeda dengan buku pertama yang terkesan lepas, di buku kedua ini, Syarif seperti ingin menegaskan demarkasi tentang siapa yang perlu menerima ajaran demotivasi ini. Hal ini ditegaskannya beberapa kali tentang siapa target buku ini (hal 37), hingga dibuatkan satu bab sendiri tentang kategori target sasaran buku ini (hal 75).

Menurutnya, “Demotivasi bukan untuk anak kecil, orang yang sudah sepuh, dan orang yang sedang sakit. Demotivasi cocok untuk anak muda yang terlalu bersemangat dan terlampau visioner” (hal 37). Penegasan ini kembali ditulis di bab “Sesudah Demotivasi” (hal 83) yang mengangkat tegangan pendulum antara motivasi dan demotivasi.

Pengingat dan demarkasi ini mungkin baik, karena kerapkali ide demotivasi ini salah sasaran apabila kita tidak dapat menerima dengan cukup matang. Namun, tentunya sesekali bisa juga dilanggar, khususnya bagi anak kecil yang terlalu ambisius, atau orang sepuh yang masih melihat hidup ini seperti perlombaan, mereka yang kerap membangga-banggakan diri, termasuk kesuksesan anak cucunya. Padahal itu bukan cerminan kebahagiaan.

Sebagai penutup, buku ini perlu dibaca sebagai penyeimbang kehidupan. Saya mengutip tulisan Prof. Driyarkara dari bukunya, Filsafat Manusia. Inti pesannya kalau kita baca: “Bermainlah dalam permainan, tapi jangan main-main. Hidup ini cuma permainan. Mau tak mau kita harus bermain, tapi jangan cuma main-main. Seriuslah. Mainlah dengan sungguh-sungguh, tetapi permainan jangan dipersungguh”. Dan Syarif Maulana mengingatkan kita kembali bahwa hidup ini memang cuma permainan, jangan terlalu serius. Seperti juga ditulis Saras Dewi  yang mengutip lagu dangdut Vety Vera dalam pengantar buku ini; “Hidup ini jangan serba terlalu, Yang sedang-sedang saja

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *