Merayakan Imlek di Surabaya

Beribadah di Klenteng Hok An Kiong Surabaya / photo junanto

Hari pertama saya tinggal di Surabaya bertepatan dengan perayaan Hari  Imlek atau Tahun Baru China. Tahun ini diyakini oleh masyarakat China sebagai tahun Ular Air, yang juga bisa berarti tahun awal dari sebuah kehidupan baru yang lebih baik.

Menurut seorang teman, keyakinan itu muncul karena ada salah satu gigi ular yang hanya digunakan sekali saja seumur hidupnya, yaitu saat ia lahir ke dunia. Gigi ular itu digunakan untuk memecah cangkang telurnya sehingga ia bisa keluar dan tumbuh besar. Dengan demikian, tahun ular bisa diartikan juga sebagai tahun untuk memulai kehidupan baru.

Untuk melihat bagaimana masyarakat Tionghoa di Surabaya merayakan Imlek, siang tadi saya berjalan-jalan di kawasan Pecinan Surabaya. Seperti wilayah Glodok atau Kota di Jakarta, kawasan Pecinan Surabaya terletak di wilayah kota tua. Daerahnya sangat menarik, karena saya menemukan banyak bangunan eksotik masa lampau. Meski beberapa gedung tampilannya tidak terurus, aura masa lalu kaum Tionghoa di Surabaya dapat dirasakan.

Perjalanan saya mulai dari kawasan Jalan Bibis, Jalan Karet, dan Jalan Coklat, hingga melintasi kawasan Kembang Jepun. Di sana banyak terdapat rumah sembahyang milik warga Tionghoa.

Saya kemudian mampir ke Klenteng Hok An Kiong. Ini adalah klenteng tertua di Surabaya yang dibangun sejak tahun 1830 M. Saat saya memasuki pagarnya, banyak masyarakat Tionghoa yang mengantri untuk melakukan sembahyang. Di luar pagar, banyak warga yang mengemis dan menunggu pembagian angpau. Agak ironis, tapi itulah pemandangan khas di setiap Hari Raya di Indonesia, ada saja masyarakat yang mengemis untuk meminta pembagian rejeki.

Klenteng Hok An Kiong Surabaya / photo junanto
Warga Tionghoa Bersembahyang di Hari Imlek / photo junanto

Kembali ke Imlek, Klenteng Hok An Kiong ini awalnya adalah tempat persinggahan bagi pendatang dari Tiongkok di Surabaya. Menurut sejarah, mereka datang dengan membawa serta patung Makcho, dewi pelindung para pelaut dan nelayan untuk disembahyangi di lokasi persinggahan.

Seiring dengan berjalannya waktu, kawasan itu berkembang menjadi pemukiman. Akhirnya masyarakat Tionghoa membangun sebuah klenteng sebagai tempat ibadah dan penghormatan kepada Makcho atau Ma Cou Po. Keunikan klenteng Hok An Kiong ini adalah bangunannya yang sama sekali tidak menggunakan paku dari logam, melainkan potongan bambu yang diruncingkan.

Di Klenteng ini pula, masyarakat Tionghoa Tri Dharma melakukan perayaan Bwee Gee saat Hari Imlek. Dalam perayaan tersebut, mereka menggelar sembahyangan untuk memohon kesejahteraan, kesehatan, serta mendoakan bangsa dan negara agar menghargai keberagaman dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.

Beberapa polisi dan anggota masyarakat tampak berjaga-jaga di sekitar klenteng untuk memastikan peribadatan umat Tionghoa berjalan lancar dan aman. Saya melihat perayaan Imlek siang itu berlangsung dengan lancar dan aman.

Pada dasarnya kita semua perlu juga menyadari bahwa keragaman adalah kekayaan bangsa kita. Untuk itu nilai kemanusiaan dan kerukunan perlu didahulukan di atas perbedaan.

Dan kalau belajar pada sejarah masa lalu, kita melihat bahwa banyak orang China yang ternyata memiliki peranan besar dalam penyebaran agama Islam di Jawa.  Salah satunya adalah peranan dari Laksamana Cheng Hoo atau Sam Poo Kong. Pasukan Cheng Hoo berasal dari wilayah Yunnan, China Selatan, yang masuk nusantara pada abad XIV di era Dinasti Ming.

Usai melihat perayaan Imlek di Klenteng, saya mampir ke satu Masjid unik di Surabaya yang lokasinya tak jauh dari kawasan Pecinan tadi. Namanya Masjid Muhammad Cheng Hoo. Arsitekturnya sama sekali berbeda dengan masjid pada umumnya yang berbentuk kubah. Masjid Cheng Hoo malah berarsitektur China, bahkan mirip dengan klenteng.

Masjid Muhammad Cheng Hoo Surabaya / photo junanto

Saya mampir untuk menunaikan sholat, dan usai sholat saya mendengarkan pengajian yang dipimpin oleh seorang Ustadz Tionghoa. Sangat menarik mendengarkan ceramahnya yang mengangkat pentingnya kita menghargai perbedaan dan keragaman.

Menikmati Pecinan, khususnya di Hari Imlek, sangatlah menyenangkan, terutama bagi para pecinta sejarah, budaya, dan bangunan-bangunan kuno. Dan Surabaya, ternyata menyimpan banyak cerita tentang kekayaan sejarah atau heritage masa lalu.

Selamat Tahun Baru Imlek.

Ustadz keturunan Tionghoa mengisi ceramah di Masjid Cheng Hoo / photo junanto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *