Ingat Surabaya, pasti ingat Rujak Uleg, atau dikenal juga dengan nama Rujak Cingur. Ya, itulah “masterpiece” makanan Surabaya. Makanan itu telah terkenal sejak dulu kala.
Nah, bagaimana kalau ada 1500 orang berkumpul dan membuat rujak cingur bersama-sama? Pasti heboh kan.
Siang tadi (12/5), saya menyaksikan peristiwa tersebut di Jalan Kembang Jepun, Surabaya. Ribuan orang tumpah ruah memadati jalanan sejak pukul 12.00 siang. Jalan Kembang Jepun ditutup khusus untuk memeriahkan Festival Rujak Uleg 2013, yang digelar dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Surabaya yang ke-720.
Dan ini yang menarik, saat saya tiba di ujung jalan, saya melihat peserta festival, membuat rujak uleg dengan menggunakan aneka dandanan unik. Ada yang model drakula, carok, tokoh wayang, pendekar Cina, tokoh animasi, bahkan ada yang memakai topeng Eyang Subur.
Demi Tuhaaan ! memang itu topeng eyang Subur. Sambil membuat rujak cingur, mereka semua ramai-ramai berteriak, “Demi Tuhaaaan ! “. Saya rasa rujak cingur buatan mereka rasanya akan sangat emosional.
Rujak uleg dibuat secara beregu, masing-masing regu beranggota 3-5 orang. Saya sempat berkumpul dan ngobrol dengan ibu-ibu, dari Bunda Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) kelurahan Tambak Sari. Mereka mengatakan telah berlatih dan mempersiapkan ramuan rujak yang terlezat. Wow, saya mau coba.
Rujak Uleg dibuat dari kombinasi cabai, petis, terasi, kacang, diuleg rata jadi satu bumbu. Bumbu rujak uleg ini lezat tak terkira. Perpaduan aneka bumbu tadi, selain menimbulkan aroma harum, juga meninggalkan cita rasa yang melekat di lidah. Kemudian setelah bumbu selesai, di cobeknya ditambahkan sayuran, tauge, tahu, tempe, timun, nanas, sedikit mie, dan lonthong. Nah, jangan lupa juga, ada elemen terpenting yaitu cingur alias hidung sapi.
Wow, buat yang belum pernah makan hidung sapi, tentu agak sedikit ragu. Namun kalau sudah mencicipi, saya jamin ketagihan. Makan cingur sapi ada seninya. Jangan langsung ditelen, karena bisa “kelolotan”, aliat tersedak. Dimakan pelan-pelan, dirasakan sensasi kelembutan dan rasa kenyal-kenyalnya.
Satu hal yang menyenangkan dari menyaksikan festival Rujak Ulek ini adalah kesempatan saya mencicipi berbagai kombinasi ramuan rasa rujak. Dari satu meja ke meja yang lain, bapak-bapak dan ibu-ibu peserta festival menawarkan saya untuk mencicipi rujak buatan mereka.
Mulai dari rasa yang emosional dari Tim Eyang Subur, alias pedesnya gak ketulungan, hingga yang rasanya “mild”, saya cicipi satu demi satu.
Di ujung acara, perut saya kekenyangan rujak uleg.
Acara Festival Rujak Uleg ini sungguh menarik. Selain sebagai keriaan dalam memperingati hari jadi Kota Surabaya, upaya pemerintah kota Surabaya mengangkat menu kuliner khas kota yang nyaris punah perlu diapresiasi. Munculnya waralaba makanan internasional dan asing, memang perlahan mulai menggusur banyak makanan tradisional. Beberapa makanan tradisional bahkan ditengari sudah punah dan tidak ada lagi yang menjual. Sungguh sayang sekali.
Semoga Festival Rujak Uleg ini mampu melestarikan dan menumbuhkan kecintaan kita pada makanan tradisional negeri.
Salam Rujak Uleg !