Beberapa waktu lalu, saya menyaksikan serial dokumenter TV yang sangat menarik tentang masyarakat Jepang . Menarik, karena program itu diproduseri oleh seorang ulama, sekaligus reporter dari Arab Saudi. Menarik juga, karena serial TV itu diputar di televisi Arab dan menjadi tontonan populer di sana.
Di bulan Ramadhan, serial itu ditayangkan setiap hari, dan rencananya akan kembali ditayangkan pada Ramadhan tahun berikutnya. Serial yang berjudul “Khawater and Kaizen” (Thoughts and Improvement) itu berdurasi 30 menit dan bercerita mengenai kehidupan keseharian masyarakat di Jepang. Beberapa kamera tersembunyi merekam tentang kehidupan warga Jepang dalam bersinggungan dengan orang lain di masyarakat.
Ahmed Al Shugairy, orang di belakang program ini, mengatakan bahwa generasi muda Arab Saudi perlu belajar banyak dari Jepang tentang bagaimana mereka menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan, meski Jepang tidak memeluk Islam. Di Jepang, memang tidak banyak kita melihat muslim, tapi kita akan mudah melihat Islam dalam keseharian. Dalam pandangan Shugairy, Islam is a way of life, bukan semata ibadah ritual. Islam harus mampu membawa kedamaian dan ketenangan di masyarakat. Bukan membawa ketakutan demi ketakutan.
Sebagaimana ajaran agama lainnya, ajaran-ajaran Islam sangat baik, semua tercantum dalam kitab suci Al Qur’an dan Al Hadits. Namun dalam aplikasi, banyak hal yang dapat dipelajari dari Jepang, misalnya soal ketepatan waktu, kepedulian terhadap orang lain, serta hadits tentang kebersihan sebagian dari Iman. Kesemuanya sering kita dengar di ceramah-ceramah, namun aplikasinya justru terlihat pada kehidupan masyarakat Jepang.
Beberapa episode yang diputar sangat menarik. Salah satu contoh misalnya, seorang bapak dan anak menemukan dompet yang tercecer di jalan berisikan 7000 yen (Rp 700.000). Yang terjadi adalah, bapak dan anak itu mengambil dompet tadi dan menyerahkannya ke polisi. Episode lain menunjukkan bagaimana Al Shugairy mencatat ketepatan waktu kereta api dan bis kota antara jadwal dengan realisasinya. Waktu, adalah hal penting bagi warga Jepang, sebagaimana perintah agama Islam, Demi Waktu. Warga Jepang meyakini bahwa manusia senantiasa berada dalam kerugian bila tidak menggunakan waktu secara efisien, apalagi kalau sampai membudayakan jam karet.
Al Shugairy mengatakan bahwa melihat masyarakat Jepang yang secara sadar mengikuti tanda lalu lintas, mengantri tanpa diatur, membuang sampah pada tempatnya sesuai jenis sampahnya, tidak merokok di sembarang tempat, saling membungkuk dan menghormati sesama, menghargai warga yang cacat, bahkan melihat para pemilik anjing memunguti kotoran anjingnya untuk kemudian dimasukkan ke plastik sampah, adalah hal yang jarang bahkan sulit dilihat di banyak negeri Islam.
Serial TV tersebut berusaha mengingatkan kepada masyarakat Islam, khususnya generasi muda, bahwa keber-agama-an adalah juga persinggungan dengan yang lain (the others). Masyarakat yang tertata dan sejahtera bisa diciptakan melalui keteguhan dalam memegang budaya, tradisi, dan kebiasaan baik, meski modernitas dan globalisasi berlangsung di sekitarnya. Jepang menjadi bukti bahwa tatanan tradisional masih dapat dijaga di tengah modernitas yang menggempur. Jepang mampu menjadi modern tanpa meninggalkan kulturnya yang tinggi.
Pesan seri TV ini tentu bukan hanya bagi dunia Arab, namun dalam pandangan saya adalah juga bagi umat beragama lainnya, dan secara khusus bagi dunia Islam di berbagai pelosok, termasuk Indonesia. Ukuran kesalehan atau keislaman suatu bangsa bukan hanya ditentukan oleh banyaknya jilbab, lelaki berjenggot, sapaan Assalamu’alaikum, atau bacaan Al Qur’an yang senantiasa berkumandang. Berbagai ukuran keislaman tersebut memang baik, namun tidaklah cukup. Agama tidak dirasakan ada bila kita tidak aman di jalan raya atau di kendaraan umum, melihat sampah berserakan, tidak peduli pada orang lain, saling mementingkan kepentingan sendiri, tidak menghargai waktu dan perjanjian, dan toilet umum yang bau.
Dalam kondisi itu, agama tertinggal dalam struktur-struktur bangunan di ruang ibadah nan megah. Tak heran kalau berbicara agama, maka ruang ibadah yang dipermegah, masjid diperbanyak, gereja dibangun gigantis, patung Buddha dibangun dari emas, dan ukuran umat dan makmum ramai berdesakan menjadi kebanggaan. Tapi, nilai dan tradisi agama telah diambil alih oleh struktur-struktur. Dan agama, terjebak dalam struktur itu sendiri. Manusia teralienasi dalam keber-agama-annya sendiri. Iman kemudian terjebak dalam urusan personal semata, bukan masyarakat.
Membangun masyarakat madani, masyarakat yang peduli dan beretos kerja tinggi, seperti yang terjadi pada Jepang, tentu bukan program satu malam. Ia membutuhkan keseriusan dan waktu yang panjang. Sebuah predicament yang menuntut kesabaran. Berbagai ahli sosial dan pemikir filsafat, sejak Tradisi Weberian, telah banyak melakukan penelitian. Max Weber menemukan kaitan Etika Protestan dengan kapitalisme, Robert N Bellah meneliti agama Tokugawa dan semangat berusaha kaum Samurai di Jepang, McClelland dengan motif berprestasi di kota Florence, Tu Wei Ming meneliti etika Confusian dengan industrialisasi di Singapura. Hampir kebanyakan pembangunan dan kekuatan negara maju memiliki karakter religius yang diaplikasikan dalam kehidupan, bukan ditinggal di struktur agama.
Filsuf Perancis Pierre Bourdieu mengatakan bahwa kultur produksi, kultur bermasyarakat, dan kultur personal, bisa dibangun dari sebuah habitus. Habitus adalah suatu sistem yang berlangsung lama, yang menjadi landasan bagi praktik-praktik bermasyarakat. Dengan kata lain, habitus adalah sikap-sikap yang mengendap ke bawah sadar (Freud) sehingga mendekati refleks psikologis. Menjadikan masyarakat sebagai tatanan negeri yang “baldatun thoyyibattun warobbun ghofur”, negeri yang baik aman dan makmur, memerlukan pembentukan kebiasaan-kebiasaan baik sejak dini sehingga kebaikan menjadi refleks keseharian.
Hari itu, saya mengantar putri saya berangkat ke sekolah dasar. Dalam seminggu, pelajaran moralitas, menyapu, membersihkan ruangan, bekerja bakti, dan menghargai orang lain, mendominasi pelajaran di sekolahnya. Moralitas adalah inti dari pendidikan dasar di Jepang. Dengan kata lain yang ingin ditanamkan adalah, prestasi juga harus diiringi budi pekerti.
Di pagar sekolah, saya merenungkan kembali serial TV di atas. Menyemai karakter dan habitus bangsa memang sebuah perjalanan panjang dan melelahkan. Bagi bangsa kita, langkahnya harus dimulai dari sekarang. Mungkin hasilnya baru dirasakan 10 tahun, 20 tahun, atau entah kapan.
Salam
artikel menarik mas. makanya nggak heran, riset dari 2 orang mahasiswa harvard menunjukkan bahwa tingkat “Keislaman” masyarakat Jepang tergolong tinggi. Qomaruddin Hidayat rektor UIN Jakarta juga mengakui hal ini.
http://www.wildan-komunikasi.blogspot.com
saya sbg org jawa dibesarkan penuh budaya menghargai org lain…tetapi setelah saya merantau..sedikit hilang,,karna terpengaruh lingkungan,,sy menyesal