Beberapa minggu lalu, cobek di rumah pecah. Memang bukan cobek kualitas tinggi yang terbuat dari batu kali, tapi dari campuran semen. Oleh karena itu, wajar bila cobek ini lebih mudah pecah. Saya memang sengaja tidak membawa cobek saat pindah ke Tokyo beberapa bulan lalu. Menurut info teman-teman yang tinggal di Tokyo, di tempat tinggal saya sudah ada cobek. Jadi tidak perlu bawa lagi. Dan cobek itulah yang kini pecah.
Entah kenapa, saat dulu akan pindah, hampir semua orang yang saya tanya selalu mengingatkan akan pentingnya membawa cobek. Saat saya tanya soal tempat tinggal, pekerjaan, ataupun kehidupan lainnya, mereka menganggap itu hal mudah dan nanti bisa dipelajari. Tapi tidak demikian dengan cobek. Seorang teman bahkan sampai mengirim e-mail khusus pada saya, isinya kira-kira begini, “Mas, jangan lupa ya kalau ke sana nanti bawa cobek. Itu penting banget loh.” Bahkan ada yang menelpon saya dan berkata, “Mas, kalau baju gak usah bawa banyak-banyak, tapi yang penting bawa cobek. Itu susah dicari..”. Semua pesan pada saya adalah tentang cobek, cobek, dan cobek. Saya jadi berpikir, jangan-jangan bisa payah nanti kalau saya tidak bawa cobek. Sejak saat itu, pikiran saya melulu tentang cobek. Bagaimana membawa cobek dan bagaimana hidup nanti tanpa cobek.
Apa sih yang spesial dengan cobek? Bagi istri saya, cobek memang sebuah alat bertahan hidup. Pun begitu bagi ibu saya dan mertua saya. Mungkin kalau dirunut ke nenek saya, jawabannya akan sama. Kalau saya tak bisa lepas dari Blackberry, maka mereka tak bisa lepas dari cobek. Saya sendiri jarang sekali memasak. Kalaupun memasak, juga jarang menggunakan cobek. Jahe dan bumbu lainnya lebih sering saya “kepruk”. Kalaupun terpaksa harus mengulek bumbu, dapat dilakukan dengan blender. Tapi buat para punggawa dapur, rasa ulekan tak tergantikan. Mulai dari memasak gulai hingga sayur asem, cobek adalah sebuah prerequisite yang perlu ada. Blender secanggih apapun belum bisa menggantikan peranan cobek. Cita rasa bumbu dan kenikmatan tradisional hanya bisa didapatkan dari cobek.
Dalam nomenklatur kuliner Indonesia, cobek memang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari berbagai sajian makanan. Bahkan beberapa makanan menempatkan cobek sebagai landmark-nya, seperti ikan gurame sambal cobek, bebek goreng cobek, pecel lele cobek, dan berbagai menu lainnya. Di sekitar Padalarang, perajin cobek membuat aneka ragam cobek, mulai harga Rp 5000 sampai dengan Rp 50.000 dan disebar ke seluruh penjuru Indonesia.
Cobek menjadi ciri dari setiap dapur orang Indonesia. Berbagai sajian dan kenikmatan kuliner Indonesia pada umumnya harus melewati proses “pencobekan”. Tak heran kalau ada orang Indonesia yang ke luar negeri, cobek menjadi “important list” yang tak pernah terlupakan.
Pagi ini, saya memandang pecahan cobek di dapur. Miris juga melihatnya. Tak lama kemudian, seorang kawan yang ingin sekolah di Jepang mengirim pesan di hape saya. Ia bertanya, apa hal yang perlu dipersiapkan di Jepang nanti untuk keperluan studinya. Saya punya segudang hal penting buat dia, mulai dari tema thesis hingga kehidupan di apartemen. Namun entah kenapa, yang terucap pertama kali adalah, ”Jangan lupa bawa cobek mas…..”
Terima kasih! Artikel ini menarik sekali.