Satu hal menarik yang saya perhatikan di kota Mekah, khususnya di area sekitar Masjidil Haram, adalah banyaknya kios atau salon potong rambut. Uniknya, kios-kios tersebut hanya menawarkan satu model potongan rambut saja, yaitu model rambut cepak atau gundul plontos. Jadi, jangan harap kita bisa minta potongan rambut seperti David Beckham, atau sekedar ingin cream bath dan nge-cat rambut di salon-salon itu. Pasti akan ditolak.
Keberadaan para tukang potong rambut di sekitar kawasan masjidil Haram, ataupun di wilayah sekitar pelemparan jumrah di Mina, memang seolah menjadi bagian dari ritual ibadah haji.
Bagi kaum laki-laki, usai melakukan ritual ibadah haji atau umrah, ataupun usai melempar jumrah yang pertama, dianjurkan untuk melakukan “tahalul”. Prosesi tahalul artinya adalah “memotong rambut”. Dengan melakukan pemotongan rambut atau bercukur, kita diyakini akan bersih atau terlahir kembali, bagaikan bayi yang baru lahir.
Memotong rambut adalah juga simbol dibuangnya pikiran-pikiran kotor yang kerap bersemayam di kepala. Setelah rambut kita dipotong, diharapkan pikiran kita menjadi baru, dipenuhi oleh niat dan jiwa yang bersih.
Ada berbagai pendapat soal bercukur ini. Beberapa ulama mengatakan bahwa bercukur cukup dilakukan minimal tiga helai rambut saja. Banyak jamaah haji dari Indonesia yang mengambil pendapat ini. Namun kebanyakan jamaah haji dari jazirah Arab, Asia Selatan, dan negara Afrika, mengambil pendapat lainnya yang mengatakan bahwa yang terbaik adalah bercukur hingga plontos.
Pendapat ini didukung juga oleh riwayat Nabi Muhammad SAW yang pernah bersabda, bahwa barangsiapa bertahalul (bercukur) hingga habis rambutnya, akan didoakan sebanyak tiga kali. Bayangkan rasanya didoakan oleh Nabi kan. Didoakan orang tua atau guru saja kita sudah senang rasanya, apalagi oleh nabi.
Bagaimana dengan jamaah haji dari Jepang? Syaikh Salimur Rahman sebagai pemimpin rombongan mengatakan bahwa yang paling afdhal (baik) adalah bercukur hingga plontos. Ia bersama-sama dengan jamaah lain di rombongan kami pun bercukur hingga plontos. Tiga orang Jepang di kelompok kami, Saif-san, Omar-san, dan Syarief-san, juga tanpa ragu memelontoskan rambut mereka.
Beberapa orang Indonesia, termasuk saya, terlihat bimbang untuk memelontoskan rambut. Alasannya macam-macam. Kebanyakan karena rambut adalah asset utama penampilan. Khawatir nanti kalau dipelontos, penampilan jadi aneh dan menurunkan kredibilitas. Saya sendiri berpikir begitu, ditambah lagi ada kekhawatiran nanti kalau dipelontos bisa-bisa tidak tumbuh lagi. Maklum, seiring dengan bertambahnya usia, bagian rambut saya mulai menipis.
Malam hari sebelum keharusan ber-tahalul dilakukan, di tenda Mina, saya bersama dengan mas Farid Triawan, mantan ketua PPI Jepang, lalu Bayu Indrawan, Ketua Dompet Dhuafa Jepang, berdiskusi ringan tapi fundamental tentang perlu tidaknya kita bercukur plontos.
Farid rencananya, bila Allah SWT mengijinkan, akan meminang gadis pujaannya sepulang dari ibadah haji. Secara bercanda ia mengatakan, “Bagaimana nanti pak, kalau saya melamar calon istri saya dengan kepala botak”, katanya seolah tak percaya diri. Sementara Bayu mengatakan bahwa ada ketakutan kalau dibotak nanti rambutnya tidak tumbuh lagi.
Akhirnya kita bertanya pada seorang ustadz Indonesia yang ada dalam rombongan haji kami, Syeikh Jaelani, yang juga Imam Masjid Hiroo di Tokyo. Harapan kita tentu adalah, karena beliau orang Indonesia, akan membolehkan kita semua bercukur cukup tiga helai rambut saja.
Ustadz Jaelani cukup bijaksana. Baginya bercukur boleh minimal tiga helai saja, tapi yang paling afdhal tetap harus digundul. Sesuai dengan sunnah nabi katanya. Waah kitapun kembali bimbang.
Diskusi pun dilanjutkan. Farid, Bayu, dan saya mencoba merenung tenang-tenang, apa yang akan kita putuskan besok. Mungkin kalau diberi judul, diskusi kita malam itu adalah “To Plontos or Not To Plontos”.
Kitapun mencoba melakukan flashback dan memikirkan kembali makna dari ibadah haji. Salah satu pesan utama dari Haji adalah soal berkorban. Dengan melakukan ibadah haji, kita diajarkan untuk mengorbankan ego kita, rasa cinta pada diri sendiri, dan cinta pada dunia, serta menukarnya dengan kecintaan pada Tuhan.
Riwayat Nabi Ibrahim a.s kiranya perlu menjadi contoh. Beliau rela mengorbankan anaknya, walau dengan berat hati, karena diminta oleh Allah. Dan ujungnya, kalau kita rela berkorban demi kebaikan dan perintah Tuhan, maka Tuhan akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik.
Nah, dari permenungan itu, kita bertiga berpikir. Bagaimana kita bisa diminta berkorban seperti nabi-nabi, kalau hanya mengorbankan rambut saja kita sudah berberat hati? Astaghfirullah. Kitapun semua istighfar meminta ampun atas keganjenan yang tidak perlu di tanah suci. Malam itu, kita bertiga sepakat untuk melakukan tahalul dengan menggundul rambut. Yes, it is To Plontos.
Ikhtiar itu bukan hanya semata mengikuti ajaran Nabi, tapi menjadi bagian dari kerelaan kita untuk belajar mengorbankan bagian yang kita sayangi dalam hidup.
Usai jumrah, saya melihat deretan tukang cukur, mulai dari yang resmi hingga tak resmi berjejer di pinggir jalan. Mereka menawarkan jasa potong rambut. Jamaah hajipun mengantri panjang untuk dipotong rambutnya.
Tapi kita harus berhati-hati dalam memilih tukang potong rambut. Beberapa anak muda Arab menawarkan potong rambut dengan biaya murah, sekitar 5 riyal. Sementara kalau ke salon resmi bisa sampai 30 riyal.
Terus terang saya cukup ngeri melihat cara potong rambut versi 5 riyal-an. Kepala kita ditundukkan di atas tong sampah, dan sang pencukur menyilet rambut kita dengan “dingin”. Begitu gundul, kita diminta bayar, dan langsung disuruh mundur karena ia harus melayani antrian yang panjang.
Akibatnya kadang mereka mencukur secara terburu-buru dan tidak professional. Saya melihat ada beberapa jamaah yag kepalanya sampai luka-luka berdarah karena terkena silet cukur. Duuh ngeri banget kan.
Belum lagi adanya risiko perseteruan antar tukang cukur jalanan tadi. Sering terjadi seorang jamaah baru digundul separuh, datang tukang cukur lain yang meng-klaim wilayah itu sebagai lahannya. Akhirnya bisa jadi, ia ditinggal oleh pencukurnya dengan gundul separuh. Walah, repot kalau begitu.
Akhirnya, daripada kena risiko berdarah-berdarah tersebut, lebih baik bercukur di tempat yang agak mahal, tapi terjamin kebersihannya. Atau pilihan lainnya, menggunakan alat cukur yang dibawa sendiri.
Kebetulan di kelompok kami, Mas Bayu Karistianto, mahasiswa PhD di GRIPS University Tokyo, membawa alat potong rambut sendiri. Wah kamipun lega karena tak perlu mengantri di salon yang antriannya bisa berjam-jam. Menggunakan alat cukur mas Bayu, kami memotong rambut sendiri secara bergantian. Saya sendiri mendapat kehormatan dipotong rambutnya oleh Ustadz Jaelani.
Dan sore itu, jamaah haji Indonesia di kelompok Haji Jepang, tampil plontos. Insya Allah, dengan diplontosnya rambut kami, kita semua dapat seperti bayi yang baru lahir (Reborn), bersih dan menjadi manusia-manusia yang lebih baik. Amin.