Haji.. Haji.. Made in Japan?

Tas Pengenal Jamaah Haji Jepang, Berbendera Hinomaru / photo JH

Di tengah padatnya kota Mekah saat musim haji, setiap rombongan jamaah haji memiliki caranya masing-masing agar mudah dikenali. Ada yang memakai kain warna-warni “ngejreng”, emblem besar, bendera, ataupun jenis jaket khusus yang membedakan mereka di antara jutaan jamaah.

Jamaah Indonesia umumnya gampang dikenali. Biasanya mereka mengenakan peci atau baju batik seragam untuk satu rombongan atau kelompok. Kalaupun sedang berihram, mereka bisa dikenali dari tas yang digunakan. Biasanya bercorak batik atau berbendera Indonesia.

Jamaah dari Iran juga gampang dikenali. Mereka mengenakan bendera Iran besar di belakang jilbab atau bajunya. Demikian pula dengan jamaah Turki, yang banyak menggunakan jaket gombrong coklat dengan bendera Turki besar di dadanya. Kalau jamaah Bangladesh sangat berani memilih warna. Saya sering melihat serombongan ibu-ibu Bangladesh yang berjubah oranye atau hijau mencolok, sedang beribadah di sekitar Ka’bah.

Tanda pengenal memang sangat penting dalam ibadah haji. Di tengah jutaan jamaah dari berbagai negara, sangat mungkin satu atau dua orang teman kita tercecer atau terlepas dari rombongan. Dengan adanya pengenal yang unik, tim pencari (yang biasanya ditunjuk di tiap maktab) akan memiliki kemudahan apabila terpaksa harus mencari jamaah yang hilang.

Lalu bagaimana dengan jamaah haji dari Jepang? Kami yang berangkat haji dari Jepang tidak memiliki pakaian seragam khusus yang bisa dijadikan sebagai tanda pengenal. Namun, saat berangkat ke tanah suci, kami dibagikan satu tas selempang yang bergambar bendera Jepang. Itulah tanda pengenal jamaah dari Jepang. Memang kelihatannya sederhana, namun Hinomaru (bendera jepang) yang berwarna dasar putih dengan lingkaran bulat merah di tengahnya, jelas terlihat menonjol di tengah keramaian.

Kami berulang kali diingatkan oleh pemimpin rombongan agar selalu mengenakan tas bergambar bendera Jepang selama menjalankan ibadah haji. Ini sangat penting bagi mereka, terutama untuk mengidentifikasi anggota rombongannya.

Nah menariknya, bendera Jepang ini juga kerap menimbulkan pertanyaan dari jamaah haji lain, termasuk petugas haji di Saudi Arabia. Mereka menyadari bahwa muslim di Jepang sangat sedikit, sehingga sangatlah unik kalau ada orang Jepang naik haji. Padahal tidak semua yang mengenakan bendera Jepang itu adalah orang Jepang asli. Contohnya, ya saya ini.

Ibu-ibu Jamaah Haji dgn tas berbendera Jepang dan Korea / photo JH

Banyak kejadian lucu terjadi saat saya berjalan membawa tas bendera Jepang tersebut. Jamaah Indonesia umumnya bingung kalau melihat saya dengan tas tersebut. Mereka melihat muka saya ini berwajah melayu, tapi kok tasnya Jepang. “Loh mas orang Indonesia kan? Kok benderanya Jepang?” Setelah kami jelaskan bahwa kami adalah orang Indonesia yang kebetulan berangkat dari Jepang, mereka baru paham. “Oooh pantees”, begitu biasanya reaksi mereka.

Lucunya ada seorang ibu-ibu dari Indonesia yang bertanya, “Mas ini pasti TKI (Tenaga Kerja Indonesia) ya, karena berangkatnya dari Jepang?” Mendengar pertanyaan itu, saya mengiyakan saja. Saya pikir tidak ada masalah dengan itu. Menjadi TKI juga kan sebenarnya sebuah kebanggaan, karena dapat memberi manfaat nyata pada bangsa.

Namun hal yang lebih lucu lagi adalah komentar dari orang-orang Arab. Mereka mungkin banyak yang tidak mengetahui wajah orang Jepang yang asli itu seperti apa. Jadi kebanyakan mereka menganggap saya orang Jepang asli. “Japon? Konnichiwaa…” Begitu mereka kerap menegur saya. Waah hebat juga ini orang Arab bisa bahasa Jepang.

Suatu hari, ada sekelompok anak muda Arab memanggil saya karena ia melihat bendera Jepang di tas saya. “Jappon? Are you from Japon?” tanya seorang dari mereka. Saya mengiyakan. Tiba-tiba ia berteriak ke teman-temannya lalu bertanya pada saya, “Japon! .. Honda?” .. Saya berpikir mungkin ia bertanya apakah saya tahu Honda.

Tentu saja saya mengerti. Siapa sih yang tidak tahu merek kendaraan Honda. Langsung saya bilang dengan mantap, “Yes, Honda, Toyota, Nissan, Suzuki, Yamaha….. Japon!” Eh mendengar itu sebagian mereka bingung dan sebagian tertawa. Saya pikir pasti ada yang gak beres nih. Rupa-rupanya, Honda yang dimaksud mereka bukan Honda merek mobil, namun “Eisuke Honda”, pemain sepak bola tim nasional Jepang (Samurai Blue). Waaah malu saya!

Sepak bola Jepang memang populer di kalangan anak-anak muda Arab. Saat di bandara Jeddah, seorang petugas imigrasi berkata pada kami, “Japon, Gamba Osaka!” sembari mengacungkan jempolnya. Iapun menyebut nama-nama pemain sepak bola Jepang. Waah, saya sendiri malah tidak hafal.

Kekaguman anak-anak muda Arab pada Jepang bukan hanya di sisi sepak bola, namun juga pada produk-produk Jepang. Banyak sekali orang-orang Arab yang ingin tahu saja (wants to know only) kalau melihat barang-barang kita. Seorang rekan jamaah, ditanya-tanya tasnya buatan mana. Made in Japan? Kalau iya, mereka langsung menawar harganya. Nampaknya barang apapun yang “Made in Japan”,  mereka ingin membeli.

Saya juga mengalami hal tersebut di Masjidil Haram. Usai sholat Dzuhur saya tidak kembali ke hotel, melainkan duduk-duduk di pelataran masjid. Sambil duduk, saya mengeluarkan kamera pocket saya, dan iseng-iseng mengambil beberapa gambar.

Tiba-tiba saya didatangi seorang jamaah haji. Ia mengaku dari Mesir. Namanya Munir. Awalnya ia melihat tas berbendera Jepang saya, sehingga kemudian mengajak berkenalan dan ngobrol-ngobrol. Munir datang ke Mekah bersama ayahnya yang sudah tua. Susahnya, ia hanya bisa berbahasa Arab, sementara saya tidak bisa berbahasa Arab. Kitapun berbicara dengan bahasa isyarat.

Ujung-ujungnya, dia bertanya dengan bahasa Inggris patah-patah. “Haji..haji… Kamera? Made in Japan?” Iapun meminjam kamera saya, sambil melihat-lihat bagian-bagian dari kamera tersebut. Dan saat ia melihat tulisan “Made in Japan” di body kamera, ia berujar, “Hajii… hajii…This is Made in Japan”.

Ia lalu menawar kamera saya tersebut. Serius, ia ingin membelinya. Katanya, kalau di Arab, jarang ada kamera yang Made in Japan asli. Rata-rata sudah buatan Cina atau Thailand. Makanya ia ingin membeli kamera saya. Ia menawarkan sejumlah uang dollar untuk membawa kamera saya. Busyet ini Haji, langsung main beli aja. Saya katakan bahwa saya masih gunakan kameranya untuk memotret perjalanan haji. Tapi ia setengah memaksa. Sayapun berpikir, kamera saya juga sudah tua, jadi tak apalah saya jual padanya.

Saat transaksi akan dilakukan, tiba-tiba saya teringat bahwa kita sedang berada di dalam masjid. Dan terlebih lagi, ada perintah yang mengatakan bahwa kalau di dalam masjid, dan sedang beribadah haji, kita tidak boleh berdagang.

Segera saja saya katakan pada Munir. “Haji, tapi ini kan sedang haji, dan kita sedang di Masjid. Bukannya tidak boleh berdagang dulu?” Saya bilang juga, “Haram haji?”  Rupanya Munir teringat juga dengan aturan itu. Kitapun sama-sama sadar…. Dan menyebut bersama “Astaghfirullaaah!!!”

Dan, transaksi kamera “Made in Japan” pun batal dilakukan.

Salam

Di Masjidil Haram berpose dgn Munir, Haji asal Mesir, dgn kamera Made in Japan / photo JH

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *