Tulisan ini dimuat di harian KONTAN, 15 Agustus 2011, hal 23
Di balik meriahnya perayaan Royal Wedding antara Pangeran William dan Kate Middleton bulan April lalu, perekonomian Inggris sejatinya telah menyimpan permasalahan serius. Sejak krisis global 2008, ekonomi Inggris dilanda penyakit berat, yaitu resesi ekonomi, tingginya pengangguran, defisit anggaran yang membengkak, serta masalah demografi yang berdampak pada dilema multikulturalisme.
Untuk mengatasi masalah defisit anggaran yang membengkak, pemerintah Inggris melakukan pemangkasan pengeluaran secara signifikan. Pengeluaran pemerintah dipangkas £83 miliar (4,5% dari PDB) hingga tahun 2014-15. Pemangkasan pengeluaran tersebut diperkirakan mengurangi sekitar 500 ribu lapangan kerja di Inggris. Di sisi lain, pajak dinaikkan hingga £29 miliar (1,6% dari PDB). Hal tersebut menimbulkan konsekuensi pahit bagi masyarakat Inggris, berupa meningkatnya pengangguran dan kemiskinan.
Seolah mendapat momentum, keresahan dan ketidakpuasan masyarakat meledak dalam kerusuhan di kota London, pekan lalu (6/8). Kerusuhan di London itupun kemudian menyebar ke berbagai kota di Inggris, seperti Birmingham, Manchester, Liverpool, Leeds, dan beberapa kota lainnya.
Kerusuhan adalah petaka bagi stabilitas. Berbagai kerusuhan yang terjadi menjadikan masa depan pemulihan ekonomi Inggris dihadapkan pada ketidakpastian. Apalagi kerusuhan ini terjadi jelang setahun diselenggarakannya Olimpiade 2012 di London.
Permasalahan makroekonomi Inggris
Kerusuhan yang terjadi di Inggris juga memiliki implikasi serius pada pemulihan ekonomi di wilayah Eropa. Inggris adalah kekuatan ekonomi nomor enam dunia, dan ketiga di wilayah Eropa. Namun sebelum kerusuhan terjadi, indikator ekonomi Inggris telah menunjukkan permasalahan yang berat. Sampai dengan triwulan II-2011, ekonomi Inggris hanya tumbuh sebesar 0,2% (kuartalan). Angka ini sedikit membaik setelah pada triwulan IV-2010 tumbuh negatif sebesar 0,5% (kuartalan). Sementara itu, tingkat produksi di Inggris anjlok 1,4% (kuartalan) dalam triwulan II-2011 akibat lemahnya permintaan dan turunnya produksi migas karena ditutupnya beberapa ladang minyak di Inggris.
Sisi permintaan, yang menjadi salah satu motor pertumbuhan ekonomi Inggris, masih lesu akibat turunnya daya beli masyarakat. Inflasi dan pajak yang tinggi telah menggerus daya beli rakyat Inggris. Ketidakpastian masa depan juga menjadikan masyarakat Inggris menahan belanja dan berjaga-jaga dengan menyimpan tabungan yang mereka miliki. Hal itu akan membawa pertumbuhan ekonomi Inggris ke tingkat yang lebih rendah, setidaknya di tahun 2011.
Berbagai hal tersebut memendam keresahan yang berujung pada kerusuhan di beberapa wilayah berpenduduk miskin di Inggris. Keberlanjutan program konsolidasi fiskal yang sedang dijalankan pemerintah Inggris pun mendapat tekanan sejak kerusuhan terjadi. Pemerintah Inggris dihadapkan pada pilihan yang sulit. Apabila mereka menghentikan program konsolidasi, kredibilitasnya akan turun. Namun apabila diteruskan, tantangan ketidakstabilan akan terus meningkat.
Di sisi lain, melemahnya nilai tukar poundsterling belum mampu meningkatkan ekspor Ingggris. Sebagian besar ekspor Inggris ditujukan ke wilayah Eropa, yang saat ini juga sedang dilanda resesi berkepanjangan. Berbagai kerusuhan masih terjadi secara sporadis di Yunani, Italia, Spanyol, Irlandia, dan Perancis. Akibatnya, sentimen bisnis pelaku usaha di Inggris melesu, ditambah lagi masih ketatnya kondisi kredit, terus turunnya harga properti, dan berkurangnya investasi pemerintah.
Menyikapi tekanan pada ekonomi Inggris tersebut, pemerintah dan bank sentral Inggris berupaya untuk mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi. Namun mereka dihadapkan pada pilihan yang tidak banyak. Pemerintah berusaha menjaga kesinambungan fiskal, sementara Bank of England kemungkinan besar masih akan meneruskan kebijakan moneter yang longgar untuk mendorong pertumbuhan. Meski demikian, tekanan inflasi di Inggris yang telah melebihi 4% (yoy) pada Juni 2011, atau di atas target 2% (yoy) di akhir 2012, menjadikan Bank of England juga berada pada posisi yang sulit.
Dampak bagi Indonesia dan Pelajaran
Bagi ekonomi Indonesia, kerusuhan yang terjadi di Inggris sejauh ini belum memberikan dampak secara langsung. Namun kita perlu mencermati perkembangan di sana mengingat Inggris adalah salah satu negara penting yang menjadi tujuan ekspor Indonesia dengan nilai mencapai sekitar 1,7 miliar dolar AS pertahun. Di sisi lain, masih terus melemahnya ekonomi Eropa dan Amerika Serikat memberi dampak secara terbatas pada perekonomian nasional. Namun hal ini dapat diimbangi dengan masih tumbuh positifnya negara-negara Asia, seperti Cina dan India.
Kerusuhan di Inggris juga memberi kita beberapa pelajaran. Pertama, stabilitas ekonomi adalah elemen terpenting dalam perekonomian. Terganggunya stabilitas ekonomi akan mengoyak kestabilan politik dan sosial. Oleh karenanya, upaya pemerintah menjaga kestabilan ekonomi perlu diprioritaskan. Kerusuhan yang terjadi di Inggris saat ini bukan dilatarbelakangi oleh alasan politik, melainkan lebih ke faktor ekonomi dan kesenjangan pendapatan.
Pelajaran kedua, kerusuhan dapat menimbulkan kerugian material dan immaterial yang tidak terhitung. Indonesia telah mengalami sendiri dampak pahit dari kerusuhan tahun 1998 yang menimbulkan trauma. Untuk bangkit dari persepsi negatif dunia internasional, membutuhkan waktu yang panjang. Kerugian material akibat kerusuhan Inggris diperkirakan melebihi £100 juta. Namun kerugian immaterial, nampaknya jauh lebih besar lagi karena turunnya kepercayaan internasional.
Ketiga, semakin perlunya pemerintah mendengarkan berbagai permasalahan struktural yang terjadi di masyarakat. Beberapa bulan sebelum kerusuhan, sekitar dua ribu masyarakat miskin di London melakukan demonstrasi. Namun kabarnya tidak satupun orang mendengar. Kerusuhan pun terjadi. Salah seorang pelaku kerusuhan mengatakan bahwa kini dunia mendengar keluhan kami. Dari situ kita melihat bahwa kerusuhan bisa menjadi sarana rakyat untuk menyuarakan pendapatnya, apabila saluran-saluran yang lain mampat. Untuk itu, kita perlu berhati-hati.
Junanto Herdiawan, Ekonom Senior Bank Indonesia, lulusan Leeds University, Inggris