Dulu, tempe kerap dipandang sebelah mata. Bahkan tak jarang kita mendengar sindiran bahwa bangsa kita adalah “bangsa tempe” atau “bermental tempe”. Tapi, setelah beberapa lama tinggal di Jepang, saya sekarang justru bangga menjadi bangsa tempe. Bagi saya, tempe adalah “Proud of The Nation”.
Setiap mengundang kolega Jepang ke restoran Indonesia di Tokyo, saya selalu memilih menu tempe. Mulai dari tempe goreng, tempe dabu-dabu, hingga oseng-oseng dan sate tempe. Dan semua orang Jepang suka sekali dengan tempe. Mereka sangat mengagumi kelezatan dan tekstur tempe Indonesia. Di Jepang, ada makanan yang namanya nattou. Bahan dasarnya sama persis dengan tempe, yaitu kedelai. Mungkin itulah yang membuat orang Jepang cepat suka dengan tempe.
Di Koperasi Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT), tempe juga menjadi idola masyarakat Indonesia. Setiap usai sholat Jum’at, jamaah sholat selalu memburu tempe yang dijual di koperasi. Karena banyaknya peminat, Ibu Ayu, yang menjaga Koperasi SRIT, kadang sampai kehabisan stok tempe setiap Jum’at tiba.
Beberapa pekan lalu, saya diundang hadir pada sebuah seminar di Wakamatsu, Kyushu. Di sana, saya bertemu dengan Rustono. Namanya tentu tak asing lagi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia di Jepang. Ia adalah pemilik merek “Rusto’s Tempe” yang terkenal di Jepang.
Rustono sendiri adalah pengusaha tempe asal Indonesia yang sukses di Jepang. Namun ia enggan disebut sebagai pengusaha tempe. Ia lebih suka disebut sebagai “profesional” tempe. Ya, dari pembicaraan saya dengannya, Rustono memang lebih mirip seorang profesional tempe, ketimbang pengusaha.
Hal ini karena pergaulan dan pembicaraan Rustono yang luas. Ia tidak hanya bicara soal bisnis tempe, ia bicara tempe sebagai sebuah kebanggaan nasional. Ia tidak hanya bergaul dengan pedagang tempe, namun juga dengan para profesor kedelai, ahli jamur, dan nutrisi di Jepang. Dari pergaulannya tersebut, ia mengatakan bahwa tempe telah diakui para ahli Jepang sebagai makanan yang baik dan sehat bagi manusia.
Rustono juga meluruskan sekali lagi soal kesalahpahaman bahwa Jepang telah mematenkan Tempe. Menurutnya, tempe tidak bisa dipatenkan karena dunia internasional sudah mengenal kalau Tempe adalah makanan Indonesia. Seperti Sushi yang tidak dipatenkan oleh Jepang, begitu pula Tempe.
Dari sisi bisnis, Tempe Rustono terus berkembang, bukan hanya di Jepang, namun hingga mancanegara. Di Jepang sendiri, Tempe Rusto sudah merambah ke berbagai kota. Anda bisa menemukan kemasan “Rusto’s Tempe” dalam plastik ukuran 200 gram, di beberapa super market. Selain itu, Tempe Rusto juga telah dipilih menjadi bahan makanan standar di beberapa Rumah Sakit di Jepang. Rustono pun kini sudah mengekspor Tempenya sampai ke Kanada. Permintaan ekspor Tempe Rusto juga telah datang dari berbagai negara Eropa.
Ambisi Rustono sederhana, menjadikan tempe sebagai makanan global. Dengan itu, dia ingin mengangkat nama Indonesia.
Kisah Rustono, tempe di Jepang, dan besarnya animo masyarakat internasional pada tempe, adalah sebuah bukti lagi tentang potensi Indonesia yang bisa berbicara di mancanegara. Dan potensi itu bukan melulu berasal dari sesuatu yang besar dan canggih. Ia justru datang dari kesederhanaan dan kearifan lokal kita, yaitu Tempe.
Namun mengapa Rustono memulai usahanya dari Jepang, dan bukan dari kampung halamannya, di Grobogan, Jawa Tengah? Alasannya adalah soal persepsi dan brand. Persepsi soal kualitas dan higienitas produk dari Jepang lebih bisa diterima di mancanegara. Padahal menurut Rusto, proses pembuatan tempenya persis sama dengan yang dilakukan di kampungnya. Tanpa bermaksud mengecilkan proses dan produksi tempe di dalam negeri, Rustono mengatakan bahwa pemerintah Jepang telah memiliki standar sertifikasi dan kualitas yang memang disusun agar berbagai produknya bisa menembus pasar global.
Bicara soal pasar global, persaingan internasional memang ketat. Hanya mereka yang memiliki ketahanan dan memenuhi standar saja yang bisa bermain di pasar global.
Lalu apakah usaha kecil Indonesia bisa bersaing di pasar global? Jepang telah membuktikan bisa. Struktur industri di Jepang banyak ditopang oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Mereka menjadi pemasok, penyalur, maupun produsen berbagai spare parts atau kebutuhan industri besar Jepang. Banyak UMKM di Jepang yang juga telah menembus pasar global.
Bercermin pada kondisi di Indonesia, kita perlu menyadari bahwa Indonesia saat ini sudah “terlanjur” masuk dan menyepakati berbagai perjanjian perdagangan bebas dunia, seperti ACFTA, AFTA, APEC, WTO, dan lainnya. Ketimbang kita menyalahkan yang sudah terjadi, ada baiknya kita melihat liberalisasi perdagangan dunia tersebut sebagai peluang bagi UMKM kita untuk bisa semakin berbicara di dunia internasional.
Memanfaatkan peluang itu tentu bukan hal yang mudah. Kita menyadari bahwa pangsa UMKM terhadap ekspor masih jauh dari signifikan. Permasalahan kesiapan SDM, kemampuan inovasi dan akses pasar, skala usaha, ketentuan pemerintah, dukungan perbankan, fokus industri UMKM Indonesia, kerancuan birokrasi, dan berbagai masalah lainnya, hanyalah sebagian kecil contoh yang masih membelit UMKM di negeri kita. Banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan dalam melakukan pembenahan struktur UMKM, agar lebih bersaing di pasar global.
Sementara pembenahan itu masih belum menemukan titik terang, orang-orang seperti Rustono memilih untuk memulai usaha di negeri yang lebih menjanjikan.
Dan Rustono membuktikan, bahwa tanpa bantuan pemerintah, ia tetap bisa mengangkat nama bangsa di kancah internasional. Salam Tempe.