Lobster identik dengan makanan laut yang mewah atau mahal harganya. Umumnya lobster dijual di restoran kelas atas dan disajikan bagi kalangan tertentu saja. Padahal, menurut sejarahnya dulu, lobster itu makanan bagi kaum miskin loh. Di tahun 1800-an, para budak dan pelayan di Amerika hanya diberi makan lobster sehari-harinya.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, lobster semakin populer dan permintaannya naik. Akhirnya, harga lobster meningkat dan menjadi ikon dari makanan kelas atas. Kini, lobster bukan lagi makanan orang miskin. Justru hanya masyarakat kelas atas yang bisa membeli atau makan lobster di restoran.
“Tapi siapa bilang lobster harus selalu mahal”, kata Chef Aafit saat bertemu saya di warung Lobsternya yang baru, Loobie Lobster, di kawasan Gunawarman, Jakarta Selatan. Kata Chef Aafit, ia membuka warung itu karena ingin menyajikan hidangan Lobster yang “affordable” atau harga terjangkau.
Dan malam itu, saya diajak mas Angga, seorang kawan yang saya kenal di Tokyo, untuk datang ke acara “launching” Warung Loobie Lobster. Warung itu dimiliki oleh Chef Aafit dan istrinya, Lucy Wiryono, yang juga terkenal sebagai pemilik resto steak “Holy Cow”.
Saat tiba di warungnya, suasana meriah langsung saya rasakan. Beberapa kawan dekat mas Aafit, dan juga pelanggan setia Holy Cow, sudah berkumpul untuk merasakan sajian dari warung baru itu.
“Hari ini saya akan menyiapkan Lobster, Whole Lobster Plate”, kata Chef Aafit. Hidangan ini adalah lobster yang di-grill model teppan hingga matang, lalu ditaburi bumbu minimalis, seperti garam dan lada. Lobster hadir didampingi oleh calamari dan nasi putih. Calamari, atau udang goreng tepung, digunakan sebagai appetizer.
Tapi yang unik juga dari warung ini adalah saus sambalnya. Chef Aafit menyediakan dua jenis sambal, yaitu sambal “spicy garlic” dan “sambal matah”. Saya memilih sambal spicy garlic sebagai pendamping lobster.
Dan ternyata luar biasa. Rasa lobster-nya begitu lezat, kematangannya terasa pas, tidak terlalu lembek, tapi juga tidak terlalu keras. Kenyal, lembut, dan aroma lautan masih terasa. Pas menurut saya. Paduan spicy garlic menjadikan rasa lobster lebih kaya lagi karena bercampur dengan aroma bawang putih yang muncul subtil dari balik kepedasan sambalnya. Hmmm, lobster ini recommended dan layak coba.
Chef Aafit mengambil lobster dari perairan Kalimantan, dan memiliki supplier khusus yang memasoknya setiap hari. “Kesegaran adalah kunci dalam penyajian makanan sea food”, lanjutnya. Tak heran, setiap pagi ia mengecek sendiri kesegaran lobster yang disajikan. Jangan sampai ada pelanggan yang gatal-gatal usai makan lobster karena ketidaksegaran pilihan lobster yang disajikan.
Satu hal yang agak mengganggu saya adalah nasinya. Mungkin kalau disajikan bersama mashed potato atau kentang goreng lebih pas. “Tapi kita kan perut orang Indonesia, mas”, kata kawan saya. Iya betul juga, seperti di Jepang, semua sajian, bahkan steak sekalipun selalu hadir dengan nasi putih. Belum nendang kalau belum pakai nasi katanya hehehe….
Loobie Lobster hanya menyajikan menu lobster dan udang. Mereka memang ingin fokus pada dua hal tersebut saja. Dengan harga seporsi “whole lobster platter” sebesar Rp 95 ribu, makan lobster menjadi “affordable” bagi kalangan menengah di Jakarta.
Jadi, kalau tiba-tiba ingin makan lobster di Jakarta, silakan mampir ke Gunawarman No 32 di Jakarta Selatan.
Salam Lobster.