Senyum Anti, Kini Tiada Lagi

Senyum Anti Kini Tiada Lagi
Senyum Anti Kini Tiada Lagi

Anti telah berpulang. Usianya hampir 95 tahun. Anti, panggilan sayang kami untuk nenek tercinta, meninggal dalam damai sore tadi (13/11). Kabar duka kepulangan Anti sore itu sungguh menyesakkan hati saya. Meski kematian adalah hal yang niscaya, tapi saat ia tiba, kita seolah tak kuasa menahan dukanya.

Bagi saya, Anti adalah sebuah “sanctuary”, tempat mencari berkah kehidupan. Kalau berkesempatan pulang ke Jakarta, saya selalu coba sempatkan mampir ke rumahnya. Dari mulutnya selalu melantun doa dan keberkahan. “Anti selalu doain Iwan, semua anak cucu, setiap habis sholat, biar rukun dan bahagia hidupnya”. Itu kata kunci doa Anti, agar hidup ini rukun dan bahagia.

Saat duduk di bangku SMP hingga SMA, saya tinggal di bawah asuhan Anti. Orang tua saya kebetulan ditugaskan di luar kota. Anti-lah yang membesarkan saya. Ia orang yang sangat detil dan teliti. Mulai dari mandi pagi, cara makan, sikat gigi, tidur, ia sangat detil. Anti-lah yang mengajarkan saya cara melipat selimut dan membersihkan tempat tidur. Ia memberi contoh membersihkan kasur dengan “tebah” atau sapu lidi. Biar bersih ga ada pasir, begitu katanya dulu. Ya. kebersihan dan kedisiplinan adalah hal yang perlu dipegang setiap manusia.

Di sisi kehidupan, Anti punya rahasia yang bisa menjadikan hidup bahagia. Ia punya senyum tulus yang berpendar dari hati terdalam. Banyak orang yang merasakan ketenangan dan kedamaian kalau berbicara dengan Anti. Senyum damainya menebar aura positif. Anti selalu tersenyum pada siapa saja. Ia jarang memasang wajah angker atau cemberut. Setiap orang yang bertemu, pasti menemui wajah yang tersenyum. Dari Anti saya belajar, kalau senyum yang tulus bisa memberi energi positif, baik bagi diri kita, atau orang lain.

Anti juga selalu mengingatkan saya tentang filosofi Jawa, “Banyu Mili”. Itu adalah filosofi yang artinya jangan pernah “ngoyo”. Maksud dari “Banyu Mili” adalah, kendati tidak besar, yang penting rezeki selalu mengalir. “Mili” berarti terus mengalir, walau tidak deras, seperti sungai kecil, yang meski sedikit, airnya tiada henti mengalir.

Anti selalu meyakini bahwa apa yang diberikan hidup, harus diterima. Tapi apa yang tidak diberikan hidup, jangan diminta. Mencari rejeki, tak perlu serakah dan ngoyo. Karena yang namanya dunia, tak akan pernah cukup. Anti mengajarkan saya untuk mampu berkata “cukup”. Tak perlu mencari aliran air yang besar. Seberapa yang didapatkan hari ini, disyukuri. Filsafat nenek ini, dengan kata lain adalah “Hidup, tanpa Memberontak Terhadap Hidup”.

Lihatlah hidup Anti. Ia selalu pasrah. Saat ada orang yang mencoba menjahatinya, ia tak pernah mendendam. Ia selalu memaafkan siapa saja. Kadang-kadang saya lihat ia misuh-misuh (mengumpat) pada seseorang, tapi sesudahnya, ia pasrahkan kembali pada Gusti Allah.  Ia memaafkan.

Banyu Mili menjadikan Anti menganut pola hidup sederhana. Makan secukupnya, berbelanja sesuai kebutuhan. Ia suka marah kalau anak cucunya membeli barang yang mahal, atau tidak diperlukan. “Buat apa beli sepatu, atau baju, yang harganya mahal. Buang-buang duit saja”.  Kadang-kadang anak cucunya tak pernah menyebutkan harga sebenarnya dari suatu barang yang diberikan pada Anti. Semata agar Anti tidak marah. Anti memang tak pernah menilai dunia dari daya beli. Baginya keutamaan adalah keluhuran, bukan harga dan uang.

Saat terakhir kami sekeluarga bertemu Anti
Saat terakhir kami sekeluarga bertemu Anti

Anti juga menjunjung tinggi kerukunan dalam keluarga. Kalau ada anak cucunya yang berselisih, ia sedih. Maklum, Anti memiliki 7 orang anak, 16 cucu, dan 22 cicit. Dengan berbagai mantu, cucu mantu, segala karakteristik. Sesekali di dalam keluarga terjadi ketidakcocokan. Kalau itu sempat terjadi, Anti sangat sedih. Ia sering berpesan pada saya, “Nek karo sedulur sing rukun”. Umumnya, anak cucu akan rukun kembali. Ya, kerukunan adalah hal paling penting dalam kehidupan bersama.

Dalam pertemuan beberapa minggu lalu, Anti menyampaikan keinginannya main ke Surabaya. Ia ingin jalan-jalan dan mencicipi makanan di Surabaya. Kita semua  hanya tersenyum, karena kondisi Anti dalam enam bulan terakhir ini turun drastis. Organ-organ tubuhnya menua dan berkurang fungsinya.

Dan sore tadi, Anti paripurna. Ia berpulang dengan damai. Bagi anak cucu yang ditinggalkan, kepergiannya adalah sebuah kehilangan. Sanctuary, tempat mencari berkah kehidupan itu, kini sudah tiada. Senyum manis dan tulus Anti, yang mencerminkan pancaran hatinya, kini tinggal kenangan.

Senyum Anti, kini tiada lagi. Saya tidak bisa lagi melihat Anti tersenyum. Senyum yang selalu saya rindukan bila tidak bertemu dengannya. Tapi saya yakin, di tempat barunya, Anti akan tetap tersenyum.

Selamat jalan Anti. Pergilah dalam damai ke tempat yang penuh kedamaian.

Anti (paling kiri), bersama almarhum Kakung, dan anak-anaknya, di rumah Bendungan Jago, tahun 1950-an / Dok. Keluarga
Anti (paling kiri), bersama almarhum Kakung, dan anak-anaknya, di rumah Bendungan Jago, tahun 1950-an / Dok. Keluarga

 

One comment

  1. Ternyata saya pernah ngobrol sama Anti anda ini Pak Junanto.. saat itu liburan sekitar tahun 2004 saya mau beli tiket pulang ke Lampung di Gambir saya diajak mampir ke rumah Anti bersama salah seorang anak Anti dan Cucu Anti yang di Ciganjur ^^

    Kesan saya dgn Anti saat itu ramah dan berwawasan luas…kami ngobrol ttng isu” yg sedang marak di televisi tahun itu krn kebetulan Anti lg nonton TV.. dan benar SENYUMAN Anti itu memang Unforgetable ….

    Semoga Anti mendapatkan tempat yg Indah Di Sisi-NYA Amin…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *