Di Balik Kekurangan, Tersimpan Kelebihan

Bersama Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, dan anak-anak tunagrahita di depan karya mereka.
Bersama Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, dan anak-anak tunagrahita di depan karya mereka.

Di balik kekurangan, pasti ada kelebihan. Itulah keadilan Tuhan pada umatnya. Tadi malam (13/12), saya menghadiri pameran lukisan karya anak-anak yang memiliki hambatan mental (tuna grahita) dan penyandang masalah kesejahteraan sosial, di Balai Pemuda, Surabaya.

Acara dibuka oleh Tri Rismaharini, Walikota Surabaya, dan dihadiri oleh puluhan anak-anak penyandang tuna grahita.  Suasana pameran, yang biasanya terkesan formal, malam itu sungguh bernuansa kekeluargaan. Saat anak-anak melihat Ibu Risma, panggilan akrab wallikota Surabaya, mereka berebut memeluknya sambil berteriak, “Ibu Risma, Ibu Risma, minta donat… aku minta kue”. Bu Risma merangkul dan memeluk mereka secara bergantian.

Keakraban itu terjalin karena anak-anak tuna grahita dan anak jalanan yang malam itu menggelar pameran lukisan adalah binaan Pemerintah Kota Surabaya. Sebagian besar dari mereka ditemukan oleh Satpol PP Kota Surabaya di jalanan lampu merah, atau stasiun-stasiun bis dan kereta. Beberapa dari mereka lahir tidak dikehendaki oleh orang tuanya sehingga dibuang di jalan karena enggan menanggung malu.

Ibu Risma dan Pemkot Surabaya lalu merawat mereka, mengambil mereka dari jalanan, menyediakan pondok sosial Kalijudan, lalu membina kehidupannya. Awalnya, kata Ibu Risma dalam sambutan malam itu, anak-anak itu sangat nakal dan susah diatur. Mereka lalu diberi bimbingan oleh para pengasuh, psikolog, dokter, maupun seniman yang peduli.

Setelah beberapa tahun dibina, lihatlah kondisi mereka sekarang.

Di balik kekurangannya, mereka ternyata punya kelebihan yang luar biasa.  Mereka mampu menghasilkan karya-karya lukis yang sungguh ekspresif dan natural, tak kalah dari anak-anak lain seusianya. Saat melihat karya lukis anak-anak itu, nampak ekspresi kanvas yang menggambarkan sebuah pengalaman atau kerinduan pada berbagai hal.

Neneng misalnya, melukis figur perempuan misterius, yang mencerminkan kerinduan pada sosok Ibu yang tak pernah diketahui bentuk rupanya. Neneng ditemukan oleh Satpol PP saat sedang mengamen di perempatan jalan Dupak pada tahun 2008. Setelah dilatih dan dibina, ia mulai dapat mengekspresikan perasaannya, kerinduan pada wajah Ibu, pada kanvas lukis.

Ada lagi yang menggambar impian, cita-cita, keinginan jadi dokter, tentara, bahkan pengalaman masa lalu mengamen di jalan raya dan stasiun kereta. Ada seorang anak bernama Omay, yang sangat ekspresif dan lincah berlari dan menari ke sana ke mari. Omay ditemukan juga sedang mengamen di jalanan pada tahun 2010. Karya dari Muslimah, yang oleh kawan-kawannya dipanggil So’imah juga mengesankan. Ia mampu mengekspresikan perasaannya pada kanvas secara detil. Pengalaman rasa, pemandangan, suasana hati, tergambar jelas dari lukisan So’imah.

Ibu Risma, Walikota Surabaya, bersama Imah, pelukis tuna grahita di depan karya lukis / photo junanto
Ibu Risma, Walikota Surabaya, bersama Imah, pelukis tuna grahita di depan karya lukis bergambar jembatan Suramadu / photo junanto

Problema anak jalanan, atau anak yang memiliki keterbelakangan mental, adalah masalah yang sering dihadapi kota besar. Di Surabaya, mereka bersyukur karena dapat dibina oleh pemerintah kota, diangkat harkat dan martabatnya, agar kehidupannya lebih baik dibanding masa lalunya.

Cobalah tengok jalan-jalan dan lampu merah di kota Surabaya. Saya tidak pernah menemukan pengamen, pengemis, ataupun anak-anak yang mengelap kaca mobil. Mereka telah dibina untuk mengembangkan kreativitas berseni rupa agar bisa mengungkap isi hati dan bakatnya. Untuk itu, psikolog, dokter, dan beberapa seniman seperti Mas Agus Koecink dari Art Surabaya, memberi pendampingan secara sabar dan tekun pada anak-anak jalanan itu.

Pameran lukisan yang bertema “Believe” menjadi sebuah pembuktian bahwa tidak ada anak yang tak punya kelebihan. Bahkan mereka yang memiliki keterbelakangan mental sekalipun, memiliki kelebihan. Hal yang terpenting, menurut walikota Surabaya, adalah kita harus percaya, bukannya malah menyisihkan atau mencampakkan anak-anak itu di jalanan.

Menurut Bu Risma, sudah ada beberapa pengusaha yang ingin memborong lebih dari seratus lukisan anak-anak itu. Padahal jumlah lukisan yang ditampilkan belum banyak. Anak-anak Panti Asuhan itu tentu tidak bisa dipaksa untuk melukis karena mereka bukan melukis untuk uang. Mereka melukis karena ingin melukis. Ada sih yang lucu, menurut Ibu Risma. Seorang anak yang baru mau melukis kalau “disogok” terlebih dahulu dengan nasi bebek.

Nah, kalau anda di Surabaya, silakan kunjungi pameran lukisan anak-anak tuna grahita ini. Pameran berlangsung di Balai Pemuda Surabaya, dari tanggal 13 hingga 16 Desember 2013.

Datanglah, dan kalau ada rezeki, koleksilah lukisan anak-anak yang hebat ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *