Kemarin saya bertemu dengan Pak Oei Hiem Hwie, yang akrab dipanggil pak Wie. Usianya 76 tahun. Kami bertemu di perpustakaan Medayu Agung, daerah Rungkut, Surabaya, yang didirikannya sejak tahun 2001. Perpustakaan itu memiliki koleksi buku-buku kuno yang sangat langka. Sebagai pecinta sejarah dan kisah masa lalu, saat memasuki ruang perpustakaan tersebut, saya merasa berada dalam “hidden paradise” atau tempat tersembunyi yang sangat berharga. Sungguh, priceless!
Pak Wie bercerita banyak soal masa lalu dari koleksi buku ataupun koran yang dimilikinya. Perhatian pertama saya tertambat pada buku berbahasa Jerman yang memuat tentang foto-foto tentara Nazi. Menurut pak Wie, di awal tahun 1940-an, dunia dikuasai oleh dua kekuatan, Jerman dan Jepang. Saat itu, Jerman ingin menguasai Eropa, dan Jepang ingin menguasai Asia. Di antara mereka terjalin kerjasama dan saling bertukar informasi serta kekuatan. Tak heran, banyak tentara Nazi yang saat itu berada di Indonesia. Ditemukannya bangkai kapal selam Nazi tipe U-Boat Karimun Jawa pada tahun 2013 lalu, semakin menambah bukti adanya peran tentara Nazi di Indonesia.
Persinggungan dengan Nazi itu juga dapat dilihat dari koleksi koran-koran Jerman yang masih tersimpan rapi di Perpustakaan Medayu. Ada satu koran tertanggal 3 Agustus 1936 yang memuat berita saat Adolf Hitler, The Fuehrer, sedang membuka Olimpiade di Jerman. Berita di koran itu seperti menunjukkan sedang bangkitnya kekuatan Jerman di Eropa.
Hal yang lebih menarik adalah saat pak Wie menunjukkan koleksi buku “Mein Kampf” edisi asli dan bertanda tangan Adolf Hitler. Buku ini sudah sangat langka dan hanya ada beberapa eksemplar di dunia karena sebagian besar dimusnahkan saat Jerman kalah perang. Buku yang masih berbahasa Jerman tersebut tersimpan rapi bersama buku-buku literatur klasik lainnya, seperti Kapital karya Marx, Materialisme dan Empirokritisime karya Lenin, History of Java karya Raffles, dan cetakan asli buku-buku filsafat , mulai dari Immanuel Kant, Hegel, hingga Plato.
Bukan hanya literature Eropa, Pak Wi juga punya buku-buku terbitan pertengahan tahun 1800-an, komik Sam Kok terbitan tahun 1910, koleksi buku Oud Batavia, Oud Surabaia, Oud Malang, buku sejarah Raja Madura dalam Bahasa Perancis, kliping koran Star Weekly, majalah Sin Po edisi tahun 1926, majalah Tempo tahun 1971, dan masih banyak lagi.
Dengan koleksi yang begitu luar biasa, kita bisa menghabiskan waktu berhari-hari kalau ingin mereguk keseluruhan informasi dan pengetahuan yang ada.
Namun selain koleksi buku itu, yang lebih menyentuh perasaan adalah kisah hidup Pak Wie, yang ternyata penuh dengan pengalaman miris. Pak Wie ternyata adalah mantan tahanan politik di era Orde Baru. Sebelum tahun 1965, ia bekerja sebagai wartawan di Harian Trompet Masjarakat, yang saat itu dianggap pro Sukarno. Ia bahkan kerap bertemu dan pernah mewawancarai Sukarno saat itu.
Saat pecah tragedi 1965, pak Wie dikejar dan diciduk oleh aparat karena dianggap pro Sukarno. Ia diinterogasi dan disangka anggota PKI. Tapi ia tak pernah terbukti sama sekali sebagai anggota PKI, melainkan hanya dianggap pro-Sukarno dan aktivis organisasi massa Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Nah, keanggotaannya dalam Baperki dijadikan dalih untuk menahannya.
Tanpa pengadilan, Pak Wie ditahan di Batu selama 3 bulan, lalu pindah ke penjara Lowokwaru Malang, lalu pindah ke Kalisosok Surabaya selama 5 tahun. Dari Kalisosok, ia dipindahkan ke Pulau Buru selama 8 tahun. Total ia menghabiskan waktu selama 13 tahun di penjara.
Di Pulau Buru itulah ia berteman dekat dengan Pramoedya Ananta Toer. Bahkan Pak Wie menjadi salah satu sahabat dekat yang membantu pak Pram dalam menulis. Saat itu pak Pram belum diperbolehkan memakai mesin tik. Pak Wi yang mencarikan kertas dari merobek-robek kertas sak semen. Tulisan tangan Pram di sak semen itu, menjadi karya besarnya yang berjudul “Bumi Manusia”.
Di Perpustakaan Medayu Agung kita bisa melihat coretan asli Pramoedya di kertas semen, dan juga surat menyurat antara Pak Pram dan Pak Wie di penjara. Ada juga edisi asli “Buku Manusia” yang bertanda tangan Pramoedya. Sungguh sebuah koleksi yang luar biasa.
Pak Wie bersyukur bahwa seluruh koleksi bukunya tidak disita dan dimusnahkan aparat saat itu. Ia dan keluarganya menyembunyikan beberapa koleksi buku kuno di atap rumahnya di Malang. Sebagian besar koleksi sudah dibakar dan disita, tapi yang disembunyikan di atap itulah yang masih bisa kita lihat saat ini di perpustakaan Medayu Agung.
Ratusan koleksi itu baru berani ia turunkan pada tahun 1999, setelah Orde Baru jatuh. Sekitar tahun 2000, ada orang Australia yang mendengar bahwa Pak Wi memiliki koleksi buku langka. Orang itu datang menemui pak Wie dan menawarkan uang sejumlah 1 milyar rupiah untuk membawa seluruh koleksi buku tua yang dimiliki pak Wie tersebut. Siapa tak tergiur uang, apalagi dalam kondisi membutuhkan saat itu.
Tapi pak Wie menolak. Ia berpikir, kalau buku itu dibawa ke Australia, nanti akan digunakan sebagai cara untuk menjelek-jelekkan Indonesia. Ia tidak rela kalau Indonesia dijelek-jelekkan di dunia internasional.
Wah, luar biasa pak Wie. Ia, selama 13 tahun disiksa dan ditahan di penjara tanpa diadili. Lalu sekeluar dari penjara, ia juga diberi status Eks Tapol yang hampir hilang hak warganegaranya, tak bisa bekerja di mana-mana. Tapi saat ditawarkan uang besar, dengan risiko nama Indonesia dijelekkan di luar negeri, ia tak mau menerima. Kata pak Wie, ia masih cinta Indonesia. Ia juga tak menyimpan dendam pada rezim yang memenjarakannya dulu. Anggap saja dulu saya disekolahne, begitu katanya.
Buku-buku kuno dan langka milik pak Wie, tidak akan dijualnya. Buku-buku itu akan digunakan sebagai bahan pembelajaran generasi muda Indonesia. Untuk itulah, dengan dukungan berbagai donator, Perpustakaan Medayu Agung itu didirikan. Jadi, kalau sempat mampir Surabaya, datang deh ke sini. Belajar dari sejarah negeri kita, yang dulu pernah penuh gejolak dan saling benci. Ke depan, kita harus lebih baik. Bersama membangun bangsa, bukan saling membenci. Ini kenapa dulu Presiden Sukarno berpesan, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Karena tanpa belajar dari sejarah, bangsa ini tidak akan maju.
Salam semangat.
tulisan yang sungguh bermutu….
Terima kasih sudah berbagi kisah ini. Jadi pengen berkunjung ke perpustakaan ini. Pak Wie hebat ya. Sosok yg sangat menginspirasi
Mas, saya betul betul ingin berkunjung ke perpustakaan medayu agung. Dulu waktu saya msh sekolah yang saya tahu Pram adalah penulis yg dipenjara krn terlibat PKI, tanpa tahu seperti apa tulisannya. Dua tahun yg lalu sy mudik ke Indonesia tanpa sengaja melihat buku Pram di toko buku, membeli Lima buah buku Pram (4 buku seri pulau buru salah satunya bumi manusia). Amazing! Itu kesan saya waktu pertama baca bumi manusia. Saat itu juga saya searching di internet untuk mencari buku Pram dalam bahasa Inggris untuk mempekenalkan buku Pram pd suami saya (dia Nederlander) ternyata disini dgn mudah kami bisa mendapatkan buku buku Pram di toko buku disini dlm bhs Belanda. Kini suami sy bisa belajar tentang apa yg dialami bangsa Indonesia saat dibawah kekuasaan Belanda. Dan kegilaan suami sy atas buku buku Pram pernah sy tulis dalam blog sy dgn judul Annelies dood dan Pramoedya Ananta Toer.
Terimakasih mas, tulisan anda menambah wawasan kami dan tentunya menambah daftar panjang untuk mengunjungi tempat yang ingin kami kunjungi saat mudik berikutnya.
Salam
Mbak Yayang, terima kasih banyak ya. Kapan-kapan mudik ke Indonesia, silakan mampir ke Surabaya. Di Medayu Agung bisa melihat coretan asli Bumi Manusia tulisan tangan Pramoedya. Karya Pram memang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Salam juga untuk suaminya. Sukses selalu.