Saat kecil, saya paling senang kalau tinggal di rumah nenek. Bagi saya, nenek adalah figur yang begitu dekat dan melekat di hati. Cinta kasihnya terasa berlimpah dan memberikan kebahagiaan pada saya. Cinta itu terus saya rasakan hingga saat ini. Kalau nenek tersenyum, kalau nenek bahagia, saya ikut bahagia.
Nenek memiliki sebuah pangkalan minyak tanah. Ia adalah agen penyalur minyak tanah di daerah Kemayoran. Selain minyak tanah, nenek juga kadang menjual produk turunan seperti oli dan beberapa pelumas lainnya. Kami, para cucunya, kerap menyebut pangkalan itu sebagai “ Pangkalan Minyak Tanah Ibu Ramelan”. Sudah lebih dari 25 tahun pangkalan itu ada di sana dan membantu menghidupi nenek. Kalau saya menginap di rumah nenek, saya selalu mendampingi nenek beraktivitas di pangkalan itu. Ia mengawali hari dengan membuka pangkalan, mengawasi para tukang minyak, melayani pembeli, hingga senja hari datang untuk menutup pangkalan. Di tengah kesibukannya, nenek tetap memberi perhatian pada saya. Ia menyiapkan teh manis, kue camilan, dan menjaga saya setiap saat, sambil tetap mengawasi pangkalannya. Sebuah gambaran hangat tentang cinta kasih.
Satu ikon dari pangkalan minyak nenek adalah keberadaan sebuah tangki minyak yang besar di halaman rumah. Buat para tetangga dan pelanggan, tangki minyak itu sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari rumah nenek. Posturnya yang unik seolah menjadi semacam ornamen bagi kelengkapan rumah. Kehadirannya telah menemani nenek sejak 25 tahun terakhir, khususnya sejak berpulangnya kakek di tahun 1989.
Tangki itu bagai soulmate, atau belahan jiwa nenek. Di usianyanya yang uzur, mendekati 87 tahun, pangkalan itu tetap menjadi bagian dari kehidupannya. Melalui pangkalan itu, nenek dulu sanggup menyekolahkan anaknya, bahkan kadang secara gembira membagikan uang pada cucunya, termasuk saya. Belakangan, saya menyarankan nenek untuk menutup pangkalan itu karena usia nenek yang makin lanjut. Namun nenek tak pernah mau. Pangkalan minyak adalah kesehariannya. Pangkalan yang membuatnya tetap bergerak dan tetap memiliki gairah untuk hidup. Sayapun tak bisa apa, selain memandang nenek di usia rentanya tetap melayani pembeli dari hari ke hari.
Satu hal besar datang di penghujung tahun 2006. Itulah malapetaka bagi nenek. Saat itu, krisis ekonomi global mulai merambat ke perekonomian Indonesia. Harga minyak dunia melejit naik. Pemerintah kedodoran menangani anggaran. Biaya subsidi minyak membengkak dan membebani keuangan pemerintah. Minyak tanah mulai sulit didapatkan. Satu hari, dua hari, bahkan satu bulan, nenek tidak mendapat kiriman minyak tanah dari agen. Para konsumen mulai mengeluh. Ibu Ramelan, si nenek, tak kurang sedihnya.
Pemerintahpun kemudian mengeluarkan keputusannya. Keputusan yang seolah menjadi palu godam bagi kelangsungan usaha nenek. Keputusan itu adalah melakukan pengurangan konsumsi minyak tanah dan menggantinya dengan gas. Sebanyak 3,5 juta rumah tangga yang kehidupan sehari-harinya tak lepas dari minyak tanah, harus beralih pada gas. Konversi minyak tanah ke elpiji pun mulai diberlakukan. Di lapangan, prosesnya tak mudah. Nenek diombang ambing dalam kegalauan dan kebimbangan. Ingin pindah menjadi agen elpiji, namun prosesnya panjang dan berliku. Berbagai perijinan ditambah dengan kesulitan pasokan, sungguh mengurangi minat nenek. Apalagi di usianya yang makin lanjut. Kecintaannya pada pangkalan minyak tanah jauh lebih tinggi dari niatnya untuk beralih jadi penyalur elpiji. Romantika dan nostalgia bersama si Tangki minyak tanah seolah tak tergantikan. Akhirnya, pangkalan minyak tanah Ibu Ramelan pun tutup.
Dua tahun lebih tangki minyak tanah nenek teronggok kosong di halaman rumah. Nenek hanya mampu menatap si Tangki setiap pagi hingga sore menjelang. Mengenang masa indah dan manis bersama Tangki yang telah menghidupinya dalam 25 tahun terakhir. Puluhan orang datang menawar tangki agar dijual kepada mereka. Mulanya nenek bersikukuh tidak ingin menjual si Tangki.
Namun, demi kecintaannya juga pada si Tangki, nenek akhirnya menjual tangki. “Daripada ia tidak bermanfaat kemudian karatan, kasihan..,” demikian nenek berkata pada saya. Dan malam itu, tangki minyak dijual kepada seorang agen penyalur solar untuk kapal laut. Tangki akan dibawa ke pangkalan solar lepas pantai dan akan diletakkan di sana.
Pagi hari, sebelum tangki dibawa pembeli, nenek duduk di depan tangki. Diam-diam, saya menguping dialog yang mengharukan antara nenek dan tangki. Nenek berkata lirih, “Tangki, ibu minta maaf ya musti jual tangki. Terima kasih atas bantuan tangki selama ini buat ibu. Kamu baik-baik ya di sana nanti….”. Andai tangki itu bisa bicara, saya yakin ia akan membalas dengan ungkapan lirih. Malam itu, para cucu mengabadikan momen-momen bersejarah pemindahan si Tangki. Sementara sang nenek, menutup dirinya di dalam kamar. Tak sanggup melihat tangki harus pergi dari rumahnya. Pergi untuk selamanya.
Nenek yang kusayang tak pernah memahami apa yang terjadi pada perekonomian global. Ia terlalu jauh untuk itu. Ia hanya seorang tua yang mencoba untuk memberi manfaat bagi lingkungan sekitarnya. Menyediakan minyak tanah bagi mereka yang membutuhkan. Nenek tak paham kenapa minyak tanah langka. Ia tak paham ekonomi. Yang ia tahu adalah bahwa tangki yang selama ini menemaninya harus pergi meninggalkannya. Sebuah keputusan dari pemerintah telah memisahkan dirinya dengan tangki si belahan hati. Nenek kini lebih banyak diam di kamar. Kalau nenek sedih, sayapun ikut sedih.
Tulisan ini menjadi tulisan favorit dan diposting di lomba blogdetik, 23 Maret 2009