Beberapa waktu lalu, saya diajak dua orang kawan Jepang untuk mencicipi salah satu menu tradisional Jepang. Kami punya kebiasaan untuk saling mentraktir makanan khas dari masing-masing negara. Dalam kesempatan sebelumnya, saya mengajak mereka mencicipi nasi goreng dan rendang pada salah satu warung Indonesia di Tokyo.
Puas dengan cita rasa nusantara, sebagai balasan mereka mengundang saya mencicipi masakan Jepang yang khas. Mereka menjamin bahwa saya pasti belum pernah mencicipi makanan yang mereka pilih kali ini.
Sampai dengan hari H, saya tidak diberitahu jenis makanan apa yang akan kita makan. Kita bertemu di salah satu restoran di daerah Shinjuku. Nama restorannya, Genkai. Restoran itu konon sudah berdiri sejak tahun 1928.
Retsoran Genkai berbentuk rumah Jepang kuno. Di dalamnya tersedia ruang-ruang privat. Kami diantar masuk ke salah satu ruang di lantai 2, yang khusus sudah disiapkan untuk tiga orang. Makanan favorit Genkai adalah Mizutaki. Pilihan kawan saya tepat, karena saya memang belum pernah mencicipi Mizutaki.
Apa itu Misutaki? Mizutaki adalah sejenis sup kaldu ayam yang kuahnya kental. Sedemikian kentalnya kuah mizutaki sehingga kalau dilihat mirip susu yang kental. Asal Mizutaki adalah dari daerah Fukuoka, sebelah selatan Jepang.
Cara memasak Mizutaki juga unik. Ayam direbus dalam kuah kaldu selama lebih dari lima jam. Keduanya direbus dengan perlahan sehingga mengeluarkan cita rasa dan kolagen yang baik untuk kesehatan kulit.
Reputasi Genkai sejak tahun 1928 dalam menyiapkan Mizutaki ini saya rasa memegang peranan penting. Resep tradisional yang mereka jaga selama puluhan tahun menjadikan Mizutaki Genkai ini terjaga kelezatannya. Ayam yang digunakan di restoran ini juga dibesarkan di peternakan khusus yang menjaga secara detil tingkat kesehatan dan kualitas tekstur dagingnya.
Muzitaki disajikan dalam nabe atau hot pot dari keramik yang diletakkan di tengah meja makan. Pelayan restoran, yang mengenakan kimono, menyajikan aneka sajian sambil menunggu mizutaki siap. Ketika mizutaki siap, ia menuangkan terlebih dahulu kuah kaldu ayam yang kental ke dalam cawan kecil.
Saya diminta mencicipi kuahnya terlebih dahulu. Melihat penampilannya yang sederhana, hanya kuah dan ayam, saya sempat ragu dengan rasa dari mizutaki ini. Tapi betul apa kata pepatah “don’t judge the book by its cover”, demikian pula dengan makanan. Penampilan kadang tidak mencerminkan rasa.
Dan, ketika satu seruput kuah kaldu mizutaki saya cicipi, rasanya sungguh lezat. Gurih bercampur dengan kental kolagen membuat cita rasa kaldu ayam menyeruak dan terasa nikmat. Bagi saya, di balik kesederhanaan penampilannya, kuah mizutaki ini menyimpan elemen-elemen bumbu yang kaya.
Setelah kuahnya habis, barulah potongan ayam disajikan. Tekstur daging ayam, yang direbus selama lebih dari lima jam dengan campuran aneka sayuran, sungguh lembut dikunyah tanpa perlawanan. Ayam dimakan dengan campuran kuah shoyu atau ponzu. Lezat sekali.
Malam itu, kita berbincang sampai malam sambil menikmati kelezatan mizutaki. Lezat itu terasa, sampai tetes kuah sup terakhir.
Salam Mizutaki.