Kita dan Absurditas Jepang

Jalur bis tanpa pembatas, tapi tdk ada yang menerabas / photo Junanto

Mungkin kita, termasuk saya sendiri, dibesarkan dalam kultur dan habitus penuh syak wasangka. Kita kerap memandang negatif terhadap apapun. Sejak kita keluar rumah, insting “alert” kita sudah menyala. Mulai dari copet, pengendara motor yang liar, pencuri kaca spion, hingga pengemudi mobil yang saling menyerobot.

Anak-anak kita pun diajarkan budaya syak wasangka sejak kecil, kita pesankan pada mereka untuk selalu hati-hati kalau ada teman yang iseng, orang lain yang jahat, hingga berbagai penipuan, baik melalui telpon, bbm, atau sms.

Hal ini tentu tak sepenuhnya salah, karena kita dibesarkan dalam lingkungan yang penuh prasangka. Kultur syak wasangka ini tentu tak muncul dengan sendirinya. Tingginya kasus penipuan, kriminalitas, dan kebiasaan “ngakalin” di negeri kita, menjadikan habitus itu tanpa kita sadari merasuk dalam pribadi kita, termasuk saya.

Kita, seolah memiliki kacamata “syak wasangka” dalam melihat segala sesuatunya. Sebagaimana dikatakan filsuf Immanuel Kant, dalam konsep imperative categoris-nya, “Kalau kaca mata kita merah, maka dunia terlihat merah di mata kita”.

Dalam konteks yang lebih luas, kaca mata ini terbawa dalam tataran bermasyarakat, dunia kerja, bahkan berpolitik. Dalam dunia kerja, hubungan antar Departemen, Institusi, bahkan sesama lembaga negara kerap dipenuhi syak wasangka. Akibatnya, banyak ketentuan, MoU, kesepakatan dibuat, agar kita bisa mengikat satu sama lainnya, dan tidak saling “ngakalin”.

Hal ini berkebalikan dengan di Jepang, setidaknya dalam pengalaman saya selama beberapa tahun ini tinggal di sini. Masyarakat Jepang memiliki paradigma sebaliknya terhadap sesama, yaitu berbaik sangka.

Masyarakat Jepang memegang filosofi yang dinamakan “Giri”. Ini adalah ajaran yang mendarah daging dalam setiap individu di Jepang. Giri sulit diterjemahkan secara harfiah. Tapi secara umum, “giri” dapat dirasakan sebagai sebuah kewajiban sosial setiap orang pada orang lain ataupun masyarakat.

Orang Jepang merasa bahwa mereka terlahir memiliki “hutang”, baik ke keluarga, masyarakat, ataupun lingkungan. Akibatnya mereka selalu menjaga hubungan bermasyarakat itu, tanpa menciderai sesama. Dengan demikian terwujudlah sebuah tatanan masyarakat dan kehidupan bernegara yang saling berbaik sangka.

Akibat perbedaan kaca mata atau paradigma antara kita dan orang Jepang, banyak kejadian lucu yang sering saya amati dari pengalaman saya mendampingi rekan Indonesia yang melakukan kunjungan di Jepang.

Dengan paradigma yang berbeda tadi, banyak pertanyaan, yang bagi saya atau kita di Indonesia, terasa wajar, tapi menjadi “absurd” bagi orang Jepang. Absurditas itu menyulitkan orang Jepang dalam menjawab pertanyaan kita.

Berikut beberapa pertanyaan yang sering kita tanyakan dan sempat saya catat. Pertanyaan disampaikan oleh kita (beberapa oleh saya) dan jawaban merupakan reaksi pertama dari  orang-orang Jepang yang ditanya (beberapa orang dari berbagai institusi).

Pertanyaan- pertanyaan #absurd : Kehidupan Sehari-hari

[Di Jepang sulit cari tempat sampah, akibatnya kita sering kebingungan membuang sampah]

Tanya (kita): “Kalau orang-orang Jepang itu buang sampah sembarangan di jalan, bagaimana? Hukumannya tegas gak?”

Jawab (orang Jepang) : “Loh, kenapa harus buang sampah sembarangan?”

[Di antrian panjang, banyak orang Jepang santai mengantri, bahkan ada yang sambil baca]

Tanya: “Eeh itu kok orang antri sambil baca, nanti kalau diselak orang bagaimana?”

Jawab: “Loh kenapa harus nyelak?”

[Saat melihat anak-anak di Jepang tepat waktu ke sekolah]

Tanya: … “Kok anak-anak itu bisa ya pada tepat waktu, memang kalau terlambat, apa sih hukumannya?”

Jawab: “Loh kenapa harus terlambat?”

[Banyak tempat parkir di Jepang tidak dijaga orang – atau hanya dibatasi besi pendek otomatis] ..

Tanya : “Kalau kita tidak bayar, atau pembatas besinya dirusak orang bagaimana?”

Jawab : “Loh kenapa harus gak bayar dan merusak?”

[Vending machine di Jepang diletakkan di tempat sepi, bahkan gelap kalau malam]

Tanya: “Waah asyik tuh banyak minuman ga ada yg jaga. Kalau dicongkel orang gimana nanti?”

Jawab: “Loh, kenapa harus mencongkel vending machine?”

[Di kereta komuter, melihat barang-barang berharga nyaris tidak dijaga dalam tas yang terbuka, atau dompet bersembulan]

Tanya: “Eh itu dompet-dompet nanti gimana kalau ada copet, atau diambil sama sebelahnya?”

Jawab: “Loh, kenapa harus ambil dompet orang?”

 

Absurditas di bidang Korporasi, Lembaga, atau Politik

 Tanya: “Kalau pimpinan (presiden, menteri, gubernur) sudah mengeluarkan keputusan, lalu tidak dilaksanakan di level tekhnis, apa hukuman atau perangkat di Jepang, agar keputusan itu bisa jalan?”

Jawab: “Loh, kenapa bisa tidak dijalankan?”

 Tanya: “Apabila terjadi gempa besar, lalu petugas yang seharusnya berjaga malah pulang ke rumahnya (kan punya keluarga), bagaimana dong? Nanti kacau?

Jawab: “Loh, kenapa mereka pulang?”

Tanya: “Kalau mesin pengumuman saat gempa mati, atau tidak nyala, bagaimana penanganannya?”

Jawab: “Loh, kenapa gak nyala? Kami tes setiap waktu”

[Soal koordinasi lintas departemen, atau direktorat]

Tanya: “Bagaimana koordinasi antar lembaga di sini. Apakah MoU perlu dibuat agar koordinasi bisa berjalan baik?”

Jawab: “Loh kenapa harus pakai MoU?”

Tanya: “Apakah MoU di sini ditandatangani level menteri, agar bisa jalan koordinasinya di level tekhnis”

Jawab: “Loh tadi kan sudah dijawab, buat apa pakai MoU?”

Pertanyaan yang wajar bagi kita, terlihat menjadi absurd di mata orang Jepang. Hal tersebut karena adanya perbedaan kaca mata yang tumbuh dari habitus dan kultur berbeda di masing-masing negara.

Akibatnya, banyak rekan-rekan yang kecewa dengan kunjungannya ke Jepang karena merasa ketentuan di Jepang tidak lengkap. Bagi yang merasa lebih baik, akan mengatakan bahwa negeri kita jauh lebih baik dari Jepang, karena memiliki ketentuan dan peraturan yang lebih lengkap dan tekhnis dengan sarana hukumannya.

Sementara yang lain, ada yang merasa malu, karena ketentuan kita mungkin lebih banyak, tapi jarang yang jalan di lapangan. Tulisan “Dilarang Buang Sampah” beserta hukumannya misalnya, ada di mana-mana kalau di Indonesia. Tapi sampah juga ada di mana-mana. Kebalikan dengan di Jepang yang jarang sekali ada tulisan-tulisan itu, tapi tidak melihat sampah di jalanan.

Mungkin benar yang dikatakan para pemimpin jaman dahulu, bahwa semakin beradab suatu negara, semakin sedikit peraturannya. Dengan demikian, lengkapnya ketentuan ataupun canggihnya peraturan menjadi relatif dalam membangun tatanan.

Ada hal yang subtil, atau tak terlihat, dari suatu masyarakat, yang menopang terwujudnya tatanan. Tanpa memahami ruh atau filosofi itu, kitapun akan terjebak dalam absurditas-absurditas.

Semoga kita dapat belajar dan memperbaiki diri. Salam absurd.

18 comments

  1. menarik, thanks for sharing

    pengen tahu juga bagaimana pendapat orang jepang yg tinggal di negara lain atau pernah tinggal di negara lain dan proses adaptasinya saat mereka tidak tinggal di jepang dan saat mrk kembali pulang

    1. Mas Enda, kalau saya lihat, orang2 Jepang akhirnya menjadi kaku atau “rigid” kalau ke luar negeri. Pengalaman bertemu dengan investor2 Jepang, mereka lbh nyaman berurusan dengan sesama jepang (baik bank, persh, maupun komunitas). Turis Jepang juga gitu. Kalau sdh tdk ada huruf kanji di hotel mereka gamang. Akibatnya, mereka lbh nyaman di Bali yang sudah Jepang-friendly, ketimbang kota lain di Indonesia. Kalaupun ada, jumlahnya tdk sebanyak turis Cina atau Korea (yang lbh adventurir). Kebiasaan tidak berprasangka itu juga, menjadikan orang Jepang paling sering kecopetan atau kerampokan di luar negeri, karena terlalu “cuek” dengan barangnya 🙂 .. Thanks tanggapannya mas. Salam.

      1. tengkyu juga, saya juga penasaran tentang peraturan imigrasi dan bekerja di jepang, untuk negara yg begitu maju pastinya banyak laron2x yg berdatangan harusnya, nah imigran yg bekerja sbg “buruh” dan kelas pekerja yg lebih rendah ini yg biasanya merusak tatanan budaya yg sudah bagus karena jadi mewarnai budaya negaranya juga

        nah dalam kasus jepang, apa benar relatif sedikit imigrannya dan kalau memang sedikit bagaimana mereka memanage-nya ya? apa dengan enforcing peraturan yang keras, karena kalau ga sekilas aja rasanya pasti harusnya dibanjiri pekerja china

  2. Semakin jelas, bahwa negeri ini punya masalah dengan Budayanya. bukan karena bangsa ini tidak mempunyai budaya yang seperti ada d jepang melainkan, karena bangsa ini tidak lagi mengindahkan nilai-nilai dan budaya yang ada pada dirinya sendirinya. hal ini bisa dilihat dari bgt banyaknya kebijaksanaan lokal yang ada di nusantara. Sungguh beradab.

  3. gak asik di jepang, kurang tantangan, makanya sekarang juara bela diri udah ga dari jepang lagi, karena di jepang ga ada yg perlu dilawan. hampir semua orang baik dan santun.

    indonesia surganya martial art, apa aja ada disini (silat, tarung drajat, karate, wushu, wingchun, capoiera, TKD, muay thai, MMA… you name it!),
    siapa aja bisa kita ajak duel, sesama pengemudi, sopir angkot, saingan, saingan di kantor atau di pasar.

    mantep dah indone siah..
    negaranya para djawarah…
    yg suka mlintir2 kumisnyah…

  4. Mungkin karena faktor lingkungan juga mas, Indonesia masih belum merata tingkat ekonominya bahkan timpang sekali, dan itu semua hemat saya karena koruptor. *andai : uang korupsi di pakai untuk sektor pendidikan, pemerataan ekonomi, mungkin sudah pada jadi pinter-pinter sendiri jadi gak pada anarkis

  5. Saya kira itu kurang tepat kalau menyebut jepang peraturannya sedikit dan kurang lengkap. Tapi karena bangsa jepang memiliki sifat malu yang sangat tinggi. Jadi mereka merasa malu kalau mengambil hak orang lain dan peraturan mereka terhadap pelanggar hukum sangat ketat.

    Kriminalitas tetap ada di negara manapun, tinggal mentalnya aja yang beda. Orang jepang bakal malu banget kalau ketauan berbuat tidak baik. Beda dengan di indonesia yang orang-orangnya hampir ga ada rasa malu.

  6. Salam kenal Mas Junanto,

    Mampir ke sini waktu searching tentang Fuji-san. Blog dan tulisannya sangat menarik.

    Saya pernah tinggal di Jepang sewaktu usia 1 – 6 tahun ikut orang tua yang bersekolah. Tepatnya tinggal di Kanazawa.

    Membaca tulisan di blog ini membuat saya semakin rindu sama Jepang. Adatnya, suasana, peraturan dan sebagainya. Punya keinginan untuk bisa tinggal di Jepang lagi :).

    Keep writing ya…

  7. Waktu saya ke Jepang, di sana memang negara yang berbeda. Dalam artian, saya bandingkan dengan negara yang sejenis dulu aja deh.. Korea Selatan. Suatu saat saya kesasar, dan bertanya jalan. Sedangkan saya tidak mengerti bahasa Korea.

    Di Korea Selatan, kita bisa ketemu dengan dua jenis orang: yang mengerti bahasa Inggris, dan yang tidak. Nah, kalau yang tidak mengerti bahasa Inggris, rata2 mereka langsung menolak pertanyaan kita karena tidak mengerti. Tapi sebagian mencoba membantu dengan tulus.

    Di Jepang, saya kesasar juga. Saya tanya jalan ke tukang sapu, penjaga toko, dll yang mayoritas juga ga bisa berbahasa Inggris. Mereka semua stay di tempat dan mencoba membantu saya walau akhirnya kita saling balas bahasa tubuh.

    Di Indonesia, kita balik situasinya. Saya sedang berjalan di trotoar, dan ada bule yang bertanya pakai bahasa Inggris ke beberapa orang di pinggir jalan (pekerja kantoran yang sedang istirahat merokok). Tampaknya mereka kurang faham bahasa Inggris, walau akhirnya si bule tampak mendapat arah jalannya yang betul. Setelah si bule itu pergi, saya curi dengar sedikit bahwa orang-orang itu menertawakan si bule, memakai bahasa ‘Inggris’ yang dibuat2, dan intinya, kalau saya jadi si bule dan mengerti apa yang dikatakan mereka, saya mungkin sakit hati.

    Beda di mentalitas. By a long shot.

    Soal masalah ekonomi, setiap orang bisa saja kere dan berada di segmen SES bawah, tapi di negara lain, mental mereka tidak serta merta negatif melulu terhadap segala hal yang bukan berasal dari negara mereka.

    Kalau negara ini pendidikan mental dan moral lebih diutamakan dibanding religi yang ‘by the book’ dan toh tidak punya efek yang signifikan, mungkin hasilnya akan jauh berbeda.

Leave a Reply to masatoshi nagasari Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *