
Jika kita ingin menggunakan kereta api di Tokyo, kita harus membeli karcis ataupun menggunakan kartu tiket prabayar. Sebelum masuk ke platform kereta, karcis kita masukkan, atau kartu kita tempelkan, di mesin tiket, lalu gerbang akan membuka secara otomatis. Ada beberapa jenis kartu prabayar untuk membeli tiket kereta di Jepang, seperti Suica dan Pasmo.
Biaya tiket sekali jalan untuk kereta subway di Tokyo, antara 130 hingga 190 Yen, atau sekitar Rp.13 ribu hingga Rp.19 ribu. Untuk anak-anak, ada kartu khusus, sehingga bisa mendapat diskon yang lumayan. Anak-anak umumnya hanya membayar tiket sebesar 80 hingga 100 Yen.
Di mesin tiket stasiun itu, kepercayaan menjadi unsur utama. Artinya, kalau mau nekat, bisa saja kita menerabas masuk, utamanya kalau jam sibuk. Wong pembatasnya pendek, dan orang ramai. Tapi kalau itu berisiko, kita bisa mengakali dengan banyak cara. Dan itulah kejadian yang baru saja saya saksikan sendiri beberapa hari lalu.
Saya melihat seorang ayah dan anak di depan mesin tiket pintu masuk stasiun (kewarganegaraan saya rahasiakan). Cara mereka masuk platform sangat menarik. Saat mendekati mesin tiket, keduanya berdiri rapat depan belakang. Lalu keduanya secara bersamaan menempelkan satu kartu suica di mesin tiket. Saat pintu terbuka, bersama-sama mereka masuk ke platform.
Praktis, hemat, dan tentu, cerdas. Dengan bermodal satu tiket, ayah dan anak itu bisa naik kereta. Lebih menarik lagi, kartu suica itu memiliki bunyi yang berbeda untuk kartu anak dan dewasa. Dan yang terdengar saat itu adalah bunyi kartu anak-anak. Artinya, semakin praktis, hemat, dan cerdas.
Kalau saya hitung-hitung secara umum, misalnya diambil jarak standar, orang dewasa harus membayar 190 Yen. Sementara anak kecil hanya membayar 90 Yen. Kalau kita bisa masuk dengan sistem seperti bapak tadi, artinya kita menghemat 290 Yen untuk sekali perjalanan. Lumayan kan.
Bisa jadi angka 290 Yen itu sekedar uang receh bagi sebagian orang, tapi bisa jadi itu jumlah yang besar, kalau kita berkali-kali menggunakan kereta. Sebagai orang ekonomi, saya memahami ilmu ekonomi. Dalam filosofi ekonomi, azas pertukaran menjadi penting. Saya mendapat apa, dengan biaya berapa. Ekonomi finansial menghitung sesuatu secara Nett.
Dengan hitungan ekonomi, naik kereta menggunakan cara bapak tadi, dapat menghemat 290 Yen sekali jalan. Kalau pulang pergi, bisa hemat 580 Yen, atau sekitar Rp.58 ribu. Berapa coba kalau dihitung sebulan, atau bahkan setahun?
Betapapun saya tidak tahu apakah ada isu sistemik mengenai kejadian itu. Dalam arti, apakah pihak JR, otoritas transportasi di Jepang, pernah menghitung jumlah kerugian-kerugian kecil ini. Saya lihat penjaga tiket hanya memandang kosong sambil geleng-geleng saat ayah dan anak itu masuk dengan cara “cerdas” tadi. Saya rasa juga, mungkin ada satu atau dua orang Jepang yang melakukan hal sama, atau bahkan menerabas pintu.
Masalah menjadi menarik kalau kita menyoroti kasus ini dari sisi etika dan moral. Bapak ekonomi, mulai Adam Smith, hingga JM Keynes tak pernah memisahkan ilmu ekonomi dari kajian etika dan moral, bahkan untuk sistem kapitalis sekalipun.
Etika adalah sebuah telaah kritis tentang ajaran moral. Bisa jadi etika satu bangsa berbeda dengan bangsa lain. Demikian pula dengan moral, atau ajaran yang mengakar dalam budaya masyarakat sehingga diterima di lingkungan sebagai sesuatu yang luhur pada dirinya.
Moral mengajarkan banyak hal, seperti jangan mengambil yang bukan hak-nya, jangan menipu, hingga memberikan tempat duduk pada orang tua. Etika membekali kita ilmu untuk menilai sikap-sikap itu. Dengan memahami etika, kita bisa memilih, apakah perlu menipu atau tidak. Setidaknya kita punya penjelasan mengapa saya memilih bersikap demikian.
Baik di Indonesia, Jepang, atau negara lainnya, mencuri bukan sebuah ajaran yang dianjurkan. Makan di warung tidak bayar, ataupun naik kendaraan umum tidak bayar, dan mengakali cara supaya tidak bayar, juga bukan sebuah ajaran moral yang bisa diajarkan ke anak-anak kita.
Meski dari hitungan ekonomi, menerabas mesin tiket dengan sistem “two-in-one” tadi dapat dijustifikasi, dari sisi etika dan moral perilaku itu menyimpan problema. Moral apa yang akan diajarkan oleh ayah itu ke anaknya dengan cara yang dilakukan tadi. Karena, si anak pasti bertanya. Mengapa begini pak?
Kita mungkin menjelaskan bahwa itu hanya hal sepele? yang penting kita hemat? Selama bisa diakali kenapa tidak? Atau sekedar bilang, sudahlah nak, ikut ayah saja.
Tapi dari titik itu, anak akan belajar tanpa kita sadari, bahwa kita mengakali sebuah sistem demi kepentingan diri sendiri. Contoh ini lebih membekas ketimbang seribu petuah sang ayah pada anak itu setiap hari. Dan seiring dengan bertambahnya usia anak, ia mungkin saja akan menerapkan cara untuk mengakali sistem demi kepentingan pribadi, dan mengerikannya kalau ia sudah mengakali sistem hukum dan moral.
Di pintu gerbang stasiun kereta kemarin, saya termenung. Dari segi ekonomi finansial, perilaku ayah anak tadi mungkin tidak akan merugikan JR, atau negeri Jepang, yang assetnya triliunan dolar. Di sisi lain, ayah tadi juga mungkin tidak akan bertambah kaya, hanya dengan menghemat 290Yen sekali jalan.
Tapi dari segi ekonomi moral, yang berlangsung di hadapan saya itu bukanlah pertukaran berdasarkan azas kebaikan dan keadilan, melainkan sebuah kebangkrutan moral, sebuah pertukaran ekonomi yang syarat etisnya tidak terpenuhi.
Di pintu gerbang stasiun, saya terhenyak. Saya berjalan pulang, meninggalkan tragedi kecil moral, dan kebanggaan seorang ayah, yang bagi saya sudah runtuh.
Salam galau.
Salam galau. Kepandaian mengakali ada dimana-mana. Beberapa digunakan untuk survive, beberapa yang lain digunakan untuk semakin memperkaya diri. Nice post mas
Thanks mas AHU, betul sekali, bahaya kalau mental “ngakali” diterapkan dalam setiap segi kehidupan, apalagi demi kepentingan diri semata. Haduh *tutup mata. Salam.
Mungkin anaknya belum masuk SD atau masih dibawah 6 tahun pak, karena secara peraturan memang free. Bisa dilihat di web:
1. Tokyo Metro http://www.tokyometro.jp/en/ticket/age/index.html ;
2. JR http://www.jreast.co.jp/e/ticket/types.html
Thanks mas Bayu. Mungkin demikian mas. Kalau anak2 di bawah 6 tahun memang masih free. Walau saya lihat anaknya sudah besar (badannya). Tapi sebaiknya ayah juga tidak menggunakan kartu tiket untuk anak2 saat masuk gate, karena suaranya terdengar beda ya. Salam.
Motivasi ini mengingatkan kita akan kpmemauan manusia yang terbatas,ingat Usaha dan berdoa setelah itu bertawakallah,karena segala sesuatu Allah SWT yang menentukan,selama kita berprasangka baik,Insya Allah akan baik kita dapatkan.
Ohayou Gozaimasu, salam galau, mas 😀
Dengan keadaan dan situasi yang menyekek kita, terkadang kita jadi lebih “pintar” dalam mengakali sesuatu. Tapi karena kita hidup dengan dibatasi aturan-aturan/norma yg berlaku, hendaknya kita-kita ini lebih pandai dalam mengakali sesuatu.. dengan melihat apakah perilaku kita sejalan dengan norma yang ada.
Nice post . Inspired:)
Ohayou gozaimasu Vania 🙂 …. betul sekali, bahwasanya kita berada dalam kondisi terdesak atau ekonomi mencekik, perlu kreatif menyikapi hidup. Tapi setuju, batas2 moral perlu dijaga.Thanks ya. Salam.
itu modus waktu masuk stasiun ya? berarti waktu keluar juga menggunakan modus yang sama dong ya..? kebayang perasaan gelisah dan gak enak melakukan itu.. kecuali kalau udah biasa mungkin perasaan gelisah itu sudah hilang..
sangat bagus, tapi permasalahannya saya adaalh orang pemarah, memang saya tidak berada pada lingkungan yang selalu memicu kemarahan saya, namun sometimes saya tidak sadar kalau saya dalam keadaan marah bagaimana mengkontrolnya? terimakasih ..
Di jepang,percaya gak percaya karmanya kuat.Jika berbuat buruk bisa mendapat kejadian buruk lainnya.Kebalikannya, jika berbuat baik pasti akan dibalas kebaikan. Untuk mengakali tiket kereta, banyak caranya lebih dari kejadian di atas, tapi karma jepang pasti kuat makanya disini mayoritas jujur.Makanya saya pikir JR udah memperhitungkan kebocoran mungkin diangka 2-3 persen, dg kata lain 97 persen org jepang jujur,sisanya debatable. Yg jadi pertanyaan bagaimana mengubah mindset mayoritas orang Indonesia yg berpikiran tak jujur, jalan pintas, untung sendiri atau korupsi untuk sistem apapun, mungkin ini PR bagi kita yg pernah tinggal di jepang utk diterapkan di Indonesia. Minimal etos jujur kerja keras anti korupsi dsb dari negara jepang.
aswrb. terus terang pak, kalo saya malah pernah diajari bagaimana cara berbuat curang seperti itu bahkan dipraktekkan di depan mata saya sendiri. satu karcis palsu malah, buat bertiga. keren banget tuh. sayangnya yang memberi contoh itu adalah bangsa kita sendiri…
Ada juga yaa di Jepang yang cerdas kayak di Indonesia …. 🙂
Wah itu penjaga stasiunnya diem aja pak ? cuma geleng2 doang? ga ditegur atau apapun?
Well… Kalau dipikir iya juga ya… saking banyaknya kereta di Jepang, apakah orang Jepang pernah menghitung kerugian2 kecil orang2 yg nakal seperti itu?! *wondering
Tapi klo menurut saya klo dilihat dari sisi kepercayaan, maka orang Jepang nampaknya cuma menghitung pemasukan tanpa memperhatikan perbuatan2 nakal tsb.
seeprti apa Ekonomi Moral di Gerbang Stasiun?