Hari Undokai dan Jiwa Japan Inc

Tim Merah (Akagumi) mengibarkan bendera di Undokai / junanto

Akhir pekan lalu, saya diminta anak saya untuk hadir ke sekolahnya, di SD Fudo Tokyo. Ia mengundang saya untuk menyaksikan acara “undokai”. Sebenarnya sudah sejak jauh hari dia wanti-wanti agar papanya tidak bertugas di hari libur. Dan syukurlah, hari itu jadwal saya pas kosong, sehingga bisa memenuhi janji menyaksikan acara “undokai”.

Undokai adalah Hari Olah Raga, atau Hari Atletik, yang diselenggarakan di SD atau SMP Jepang setiap tahunnya. Dalam undokai, seluruh anak, dari kelas 1 hingga 6 SD berpartisipasi meramaikan festival itu. Guru, murid, dan orang tua sangat serius menyelenggarakannya dan turut aktif di acara ini dari mulai hingga selesai.

Saya mulanya berpikir acara ini tak jauh beda dengan acara keriaan atau festival olah raga di negeri kita. Namun setibanya di sana, saya menyadari ada beberapa perbedaan mendasar dan menarik untuk dicermati. Di undokai itu, saya bukan sekedar melihat sebuah acara olah raga, melainkan sebuah tradisi yang mengakar panjang di satu bangsa.

Undokai diselenggakan pada seluruh sekolah di Jepang dengan model, aturan, bahkan teriakan yang hampir sama. Acara ini juga sangat formal dan diselenggarakan dengan persiapan yang sangat rapi dan teratur.

Pada pukul 8.30 pagi, seluruh siswa berkumpul di lapangan dan berpakaian seragam untuk mengikuti upacara. Anak-anak yang hadir dibagi ke dalam dua tim yang terlihat dari topi yang mereka kenakan. Ada yang menggunakan topi merah, dan ada yang topi putih. Warna itu menunjukkan kelompok tim mereka, ada tim merah (akagumi) dan tim putih (shirogumi).

Pidato pembukaan disampaikan oleh kepala sekolah dan perwakilan orang tua murid. Setelah itu diadakan pemanasan berupa senam, sebelum undokai akhirnya dimulai.

Pada prinsipnya, undokai adalah pertandingan atletik, yang didominasi oleh lomba lari, antara tim merah dan tim putih. Setiap kelas dibagi dalam beberapa batch untuk diadu masing-masing. Di sela-sela pertandingan, anak-anak menampilkan aneka pertunjukan, mulai dari tarian, marching band, hingga penampilan puncak anak kelas 6 SD berupa piramida manusia.

Piramida Manusia oleh kelas 6 SD / junanto

Dari undokai tersebut, saya melihat ada ciri-ciri menonjol yang terbentuk dari anak-anak Jepang. Dan ciri itu terbawa hingga dewasa, bahkan tercermin di perusahaan-perusahaan Jepang.

Ciri itu adalah kolektivisme atau orientasi pada kerja tim. Setiap anak di tim undokai tidak pernah menonjolkan diri sendiri. Kalau berhasil mereka selalu mengatakan itu berkat kerjasama tim. Sementara kalau gagal, mereka merasa kurang berbuat baik bagi tim.

Kalau ada satu anak kita puji, “Waah kamu hebat ya!”, mereka akan otomatis mengatakan “Iiiiiie (dengan intonasi panjang)”, yang artinya, bukaaan. “Ini semua terjadi berkat kerjasama tim”, begitu kata mereka menyambung. Tidak ada anak yang berusaha menonjol dalam undokai, dan para orang tua juga tidak ingin menonjolkan anaknya masing-masing. Tidak ada juga yang berkata, ” Siapa dulu dong bapaknyaa!”. Yang ada adalah semua lebur dalam kerjasama tim.

Saya melihat hal itu juga terbawa hingga dewasa. Orang Jepang dalam bekerja selalu kolektif dan mendahulukan tim. Ada pepatah Jepang yang mengatakan, “Burung Elang yang menunjukkan kukunya, akan dipukul”. Ini artinya bahwa kita dianjurkan untuk tidak menonjolkan diri.

Memang kalau direnungkan, saat ini tak banyak lagi nama entrepreneur Jepang yang menonjol, selain nama-nama lama seperti Honda atau Toyota. Berbeda dengan Amerika atau Eropa yang memiliki banyak nama menonjol, seperti Steve Job, atau Bill Gates misalnya. Padahal, produk Jepang ataupun aneka budaya Jepang mengepung kehidupan kita sehari-hari.

Selain soal kerjasama tim, ada satu hal menarik lagi yang saya catat saat undokai. Murid-murid yang lebih tua terus menerus meneriakan semangat pada yang muda. Mereka berteriak “Gambatte! Gambatte!” dan meminta adek-adeknya untuk memberikan yang terbaik bagi tim.

Selain filosofi kerja keras tanpa menyerah yang sudah menjadi ciri khas Jepang, di undokai ini saya melihat sistem senior-junior yang sangat kental di Jepang. Di perusahaan Jepang, mereka menyebutnya dengan sistem “sempai-kohai”.  Mereka yang senior harus membimbing yang junior, dan yang junior harus menghormati yang senior. Di Jepang, senioritas memang sangat penting.

Undokai ini juga dilakukan tanpa pandang bulu bagi semua anak di Jepang. Sejak kecil kelihatannya anak-anak tidak dimanja dengan berbagai fasilitas. Untuk persiapan undokai ini, anak-anak berlatih sekitar satu bulan sebelumnya. Mereka juga setiap hari berlatih fisik. Tak heran kalau orang Jepang fisiknya kuat-kuat (ingat tim bola Samurai Blue dan Nadeshiko).

Hari itu, undokai ditutup pada pukul 14.30 sore (tepat waktu sesuai jadwal yang dibagikan, sebagaimana kebiasaan orang Jepang). Tim merah keluar sebagai pemenang.

Setelah pembagian hadiah, Kepala Sekolah menyampaikan pesannya. Satu pesan penting yang disampaikan adalah, “Tidak ada keberhasilan yang instan, semua butuh ketekunan, kerja keras, dan kesabaran. Oleh karena itu, Jangan Pernah Menyerah, Gambatte Kudasai!”.

Di Undokai hari itu, saya melihat sebuah tradisi panjang yang tercetak dalam kehidupan bangsa. Hari itu, saya melihat jiwa Japan Inc. yang tertanam sejak dini, dalam semangat  kebersamaan dan nation building yang kuat. Tak heran kalau Jepang hingga saat ini masih menguasai tekhnologi dunia.

Salam.

Lomba lari di undokai / junanto

2 comments

  1. “Tidak ada keberhasilan yang instan, semua butuh ketekunan, kerja keras, dan kesabaran. Oleh karena itu, Jangan Pernah Menyerah, Gambatte Kudasai!”
    kalimat yang juga sering diucapkan seseorang dulu kepada saya. Ah, Jepang memang menganggumkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *