Di Tokyo, Masih Adakah Cinta?

Gerbong Khusus Wanita di Tokyo / photo Junanto

Tokyo, dan mungkin juga kota lainnya di Jepang, bukanlah kota yang romantis. Selama tinggal di kota ini, saya hampir tidak pernah melihat suasana romantis di jalan-jalan. Jarang sekali saya melihat sepasang kekasih atau suami istri yang jalan bergandengan tangan, berpelukan, atau saling memandang mata dengan hangat. Kaum pria dan wanita di kota ini secara umum tampak dingin, bahkan cenderung tanpa ekspresi.

Seorang kawan wanita bercerita, bahwa di Tokyo ini, betapapun kita tampil menarik, tak ada lawan jenis yang melirik. Para pria disini bergeming, meski ada perempuan cantik di hadapan mereka. Para wanita demikian pula, tak ada reaksi saat melihat pria ganteng dan keren di depannya. Mungkin satu dua ada pengecualian, tapi secara umum itu jarang terjadi. Di jalan, kereta, bis kota, saya perhatikan semua orang duduk diam tanpa ekspresi, atau asyik dengan telpon, buku, atau kesibukan masing-masing.

Saat makan siang, saya kerap keluar kantor ke restoran-restoran yang ada di sekitar wilayah Marunouchi. Saya perhatikan, kaum lelaki bergerombol bersama lelaki, sementara yang perempuan bergerombol bersama perempuan. Doryou atau rekan kerja, terlihat saling bicara dan tertawa di berbagai warung udon, sushi, atau tempura. Tapi jarang sekali saya melihat pria dan wanita bersama-sama dalam satu kelompok, sebagaimana sering saya lihat di Jakarta, atau kota lain di dunia.

Hubungan pria dan wanita di Jepang memang unik dan penuh kisah. Tradisi masyarakat samurai atau bukeshakai telah membentuk cara pandang pria terhadap wanita, dan demikian pula sebaliknya. Ada ungkapan lama di Jepang yang kira-kira bunyinya “Daidokoro wa onna no seiiki” atau dapur adalah tempat bagi perempuan. Dengan demikian, tugas perempuan, sebagaimana di Jawa jaman dulu, adalah macak, masak, dan manak (berdandan, memasak, dan melahirkan) .

….. kisah lengkap cerita ini bisa dibaca juga di buku “Shocking Japan: Sisi Lain Jepang yang Mengejutkan”

14 comments

  1. Selamat malam Pak, maaf saya mau menanyakan apakah dalam blog bapak ini ada artikel tentang anak-anak Jepang (lebih tepatnya ada hukum mengenai pengamanan bagi anak-anak di jepang)? karena kalau tidak salah saya pernah menemukannya disini. Terimakasih banyak.

  2. Tapi, Pak Iwan.. rasanya romantisme tidak bisa disejajarkan dengan kesetiaan dan cinta kasih. Setidaknya itu yang saya lihat dari beberapa film Jepang, baik masa kini maupun film tempo dulu. Ketika salah satu pasangan meninggalkan pasangannya terlebih dulu, biasanya wanita/pria Jepang di film itu akan sangat kehilangan, tidak jarang beberapa terlihat kehilangan arah. Mereka pun tidak akan dengan mudah mencari ganti pasangannya, meski peluang itu ada.

    Tapi memang benar, di film2 Jepang yang saya lihat, cara mereka mengungkapkan kasih sayang benar-benar dingin, bahkan ketika sudah menjadi suami-istri. Tapi rasa sayang di antara mereka tetap terlihat dari pengabdian dsb.. Dan bagi saya itu tetap indah. 🙂

    Tapi itu cuma saya lihat di film2 Jepang aja siiih. hihihi.

    Nice post (lagi), Pak!

    1. Setuju banget mbak Yusti, makna romantisme memang berbeda dengan kesetiaan. Definisi dan aplikasinya bisa sangat berbeda. Orang romantis, bisa jadi tidak setia, tp bisa jadi juga setia. Sebaliknya orang setia, bisa jadi romantis, atau malah tidak romantis sama sekali. Sangat sangat tergantung pada orangnya. Nah, saya tidak menyentuh soal kesetiaan, karena itu perlu penelaahan lebih dalam lagi. Ini hanyalah sekedar pengamatan “terbatas” tentang gejala umum romantisme di Jepang. Dan sepanjang yang saya lihat, tidak begitu banyak, walau bukan berarti tidak ada sama sekali hehehe. Thanks ya. Salam.

    1. Betul sekali mbak Dian. Di Jepang ada budaya “honne” dan “tatamae”. Itu artinya, apa yang dirasakan belum tentu apa yang ditampilkan. Harus melihat2 dulu suasana hati orang lain, keadaan lingkungan, kerukunan bermasyarakat, dan tata sosial yang berlaku. Jadi kalau misalnya kita tertarik pada lawan jenis, itu hanya disimpan di “honne”, atau keinginan dalam hati. Tapi yang dikeluarkan “tatamae”, bisa jadi menunduk, atau acuh tak peduli. Thanks mbak.

  3. Pak Junanto,
    Salam kenal. Meski sudah tahu lama dan sedikit ikutan kontribusi di buku pak Junanto, saya belum pernah menyapa langsung.
    Gak sengaja melihat ada teman yang komen di artikel ini via FB, jadi tergelitik untuk ikutan komen deh.

    Sekedar berbagi pendapat,
    – untuk melihat suasana romantis, kekasih atau suami istri bergandengan tangan mungkin harus lihatnya di lokasi dan waktu yang pas. Sehari hari saat jam kerja, saat semua sedang buru buru rasanya memang gak enak buat gandengan tangan saat jalan sama suami.
    Tapi kalo hari libur, akhir minggu dan terutama di daerah Rainbow bridge, Odaiba yang memang terkenal tempat pacaran…rasanya gampang sekali menemukan pasangan yang sedang asyik bergandengan tangan, berpelukan, bahkan gak segan segan “nempel seperti perangko dan amplop” di tempat umum.

    – “meskipun tampil menarik, tidak ada lawan jenis yang melirik” Hmm…menurut saya ini bukan salah satu indikator tidak adanya romantisme antara pria dan wanita. Romantisme yang perlu diungkap tentu lebih enak pada pasangan masing masing. Saya sendiri sebagai wanita lebih memilih dicuekin saja, rasanya lebih nyaman dibanding ada yang “suit suit atau lirikan gatel dari pria tak dikenal”. Saya yakin mereka “menyadari” ada yang menarik yang sedang lewat, tapi seperti pak Junanto bilang, budaya mereka yang santun membuat mereka justru tidak gegabah mengekspresikan perasaannya dan justru membuat saya (dan teman2 wanita) merasa lebih dihargai.

    – gerbong kereta api khusus perempuan (women-only cars), seperti yang tertulis di keterangannya, ditujukan terutama untuk jam jam sibuk (7.30 – 9 am) saat pagi hari dimana biasanya gerbong kereta penuh sesak, seperti ikan pepes 🙂 Pemisahan ini juga rasanya bukan karena ada batas antara pria dan wanita di Jepang, tapi lebih ditujukan supaya wanita2 lebih nyaman jika mesti berdesak desakan, dan tentu lebih aman dari bahaya “chikan (sexual harassment) yang gampang terjadi saat kereta penuh sesak.
    Saya setuju dengan kalimat terakhirnya, justru “untuk melindungi kaum perempuan”
    Begitu pula kamar hotel khusus ladies, lebih nyaman karena biasanya bersih, harum, tidak bau rokok, dan tersedia set untuk perawatan kecantikan, spa, relaksasi dll yang biasanya memang dicari kaum wanita.

    – Betul, “Romantisme, menunjukkan kelembutan, rayuan, pandangan mata penuh sayang” memang bukan karakter umum masyarakat Jepang ya. Tapi menurut saya, mungkin hanya cara pengungkapan mereka yang berbeda. Jepang memang bukan bangsa yang pandai berbasa basi.
    Saat kumpul acara bersama keluarga2 muda Jepang, sering terlihat si bapak (yang mungkin kalau hari kerja “tsumetai”; turun tangan membantu gendong anak, membantu menyiapkan masakan sambil bercanda canda dengan istri & anaknya. Tetangga depan rumah saya yang kebetulan sudah jompo, datang berkunjung membagikan buah cherry untuk saya sambil menceritakan suaminya yang sedang masuk RS, dan menyuruh saya menikmati buah cherry hasil petikan terakhir saat suaminya masih sehat. Ia bercerita sambil mengusap matanya yang merah, meskipun tidak menangis. Melihat hal tersebut saya seperti melihat sisi “romantis” pasangan tersebut, romantisme asli yang tidak perlu diumbar ke khalayak umum.

    Yah …akhirnya romantis atau tidak, tergantung bagaimana setiap orang mengartikannya dan mengekspresikannya 🙂

    Nice article pak Jun!

    Regards,
    Kathryn

    1. Mbak Kathryn, terima kasih banyak atas tambahan pemikiran dan pencerahannya ya. Betul sekali, tentu pemahaman dan ekspresi setiap orang atau bangsa bisa sangat berbeda. Soal romantisme-pun demikian, banyak sisi dan pastinya juga definisi yang berbeda. Salam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *