Perang selalu menyisakan kepedihan. Meski waktu telah berlalu, kenangan akan berbagai penderitaan itu tak pernah surut. Hal itulah yang saya rasakan saat berkunjung ke Peace Memorial Park di Hiroshima, Jepang. Di tempat itulah, pada 6 Agustus 1945, terjadi tragedi bom atom yang kepedihannya tak pernah bisa dilupakan oleh umat manusia.
Suasana hening dan syahdu begitu terasa di seputar Peace Memorial Park tersebut. Saya merasakan sebuah suasana, yang diistilahkan dengan “psychological present tense”, atau suasana psikologis yang membuat suasana puluhan tahun lampau, masih terasa nyata terjadi di hadapan kita. Merinding. Bergidik.
Saya lama terduduk di Children’s Peace Monument, yang terletak di salah satu pojok taman itu. Bagi saya, monumen itu menyimpan sebuah aura magis dan perih yang disimbolkan melalui penderitaan seorang anak, yang bernama Sadako Sasaki. Ia menjadi korban dari keganasan radiasi bom atom Hiroshima.
Tentu saja, kenangan yang paling nyata dirasakan oleh Masahiro Sasaki, adik kandung dari Sadako Sasaki, yang masih hidup sekarang. Pekan lalu, Masahiro bercerita di media Jepang tentang pedihnya menjadi korban bom atom.
Masahiro Sasaki bercerita tentang kejadian yang menyedihkan itu. Ia baru berusia 2 tahun, sementara sang kakak berusia 4 tahun, saat pesawat bomber B-29 menjatuhkan bom di pagi hari, 6 Agustus 1945.
Hanya dalam beberapa saat, “fat boy”, julukan bom yang dijatuhkan di Hiroshima, menyapu bersih kota itu dengan awan panas radiasi. Bom itu mengubah kota yang cantik menjadi abu dalam sekejap. Sekitar 140 ribu orang tewas, baik seketika, beberapa saat sesudahnya, maupun berbulan kemudian akibat terpapar radiasi.
Sadako dan Masahiro saat itu berada di rumah, hanya sekitar 1,6 kilometer dari ground zero. Bersama Ibu dan Neneknya, mereka berlari ke sungai terdekat untuk menghindari api panas. Mereka berpelukan bersama saat “hujan hitam” atau “black rain” turun akibat saratnya radiasi di langit. Tanpa disadari, saat itu tubuh mereka telah terpapar radiasi.
Namun, dari mereka berempat, hanya Sadako yang jatuh sakit. Itupun baru terasa beberapa tahun kemudian. Tak pernah terbayangkan bahwa Sadako akan jatuh sakit karena selama beberapa tahun sejak bom atom, ia tumbuh menjadi gadis yang energik dan penuh semangat. Ia bahkan menjadi tim atletik di sekolah dasarnya.
Sadako masuk rumah sakit pada Februari 1955. Ia terkena leukimia akibat radiasi dari bom atom. Dalam sakitnya, ia melipat burung kertas dengan harapan bisa mengobati sakitnya. Ia meyakini legenda di Jepang yang mengatakan bahwa apabila seseorang bisa melipat 1000 burung jenjang (crane) dari kertas, harapannya akan terkabul.
Sadako ingin sembuh dari sakitnya.
Saat itu, kertas sulit didapat dan harganya mahal. Sadako menggunakan berbagai kertas yang ada untuk melipatnya menjadi burung, termasuk kertas pembungkus obatnya.
Sadako tentu saja tidak berhasil sembuh dari sakitnya. Dengan bantuan kawan-kawannya, ia dapat melipat 1000 burung kertas. Namun saat memulai lipatan untuk 1000 burung selanjutnya, ia meninggal.
Kematian Sadako menyedihkan banyak teman-temannya. Mereka kemudian melakukan penggalangan dana untuk membangun monumen guna mengenang Sadako. Monumen, yang dinamakan Children’s Peace Monument itu, menggoreskan jeritan hati anak-anak, “This is our cry. This is our prayer. For building peace in the world.”
Kisah Sadako dan 1000 burung kertas telah ditulis dalam beragam buku, novel, dan film, termasuk diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Meski Sadako meninggal muda, semangat dan inspirasinya hidup hingga saat ini.
Di dalam Museum Perdamaian, kita bisa melihat beberapa peninggalan barang dari Sadako. Ada catatan mediknya, tulisan tangannya, dan juga harapan-harapannya.
Seribu burung yang dibuat Sadako telah dibagi-bagikan oleh keluarganya pada berbagai pihak yang peduli dengan perdamaian. Saat ini, keluarganya masih memegang lima buah burung. Kelima burung itu juga telah dan akan dibagikan ke beberapa museum, seperti WTC visitor centre untuk mengenang korban serangan teroris 11 September 2011, Museum Perdamaian di Austria, dan USS Arizona Memorial di Pearl Harbor.
Burung-burung itu mungkin hanyalah burung kertas. Tapi bagi banyak orang, itu bukan sekedar kertas. Dalam setiap lipatannya, terkandung emosi yang mendalam dari Sadako. Burung kertas itu adalah juga simbol dari sebuah harapan. Harapan akan dunia yang damai.
Anak-anak adalah korban tak berdosa dari berbagai pertikaian politik dan perang. Enam puluh tujuh tahun sejak bom atom Hiroshima, perang dan kekerasan masih terjadi di mana-mana. Anak-anak masih menjadi korban, darah masih tertumpah, dan hulu ledak nuklir masih tersimpan aktif di banyak negara.
Dengan berbagai konstelasi yang terjadi di dunia saat ini, di pojok Museum Perdamaian Hiroshima, saya merenung dan bertanya, mungkinkah perdamaian terwujud di muka bumi?