Ulaanbaatar, Mongolia, di musim dingin bukanlah tempat yang nyaman. Suhu udara bisa mencapai minus 25 derajat celcius bila malam hari. Saya tiba di kota itu pukul sebelas malam dengan menggunakan penerbangan Mongolia Airlines. Begitu keluar dari Chinggis Khan airport, beku menyergap. Kepala, telinga, serta ujung-ujung jari serasa tak bisa digerakkan.
Tiga hari di Ulaanbaatar memang membuat beku segalanya. Saya tidak berani untuk terlalu lama berada di luar. Selain dingin yang teramat, angin kencang menambah tajam tusukan di tulang, yang mulai menua ini hehehe…
Tapi dingin yang esktrim di Ulaanbaatar bisa dikompensasi dengan kehangatan orang Mongolia. Rata-rata orang Mongolia, di luar dugaan saya, sangat ramah. Meski muka mereka keliatan tegang, kalau dimintai tolong, mereka sangat helpful.
Di Ulaanbaatar, saya berkenalan dengan dua orang kawan, namanya Saran dan Batta. Saran, wanita yang memiliki dua putri, pernah tinggal dan belajar bahasa Indonesia di UI Depok. Ia sangat fasih bahasa Indonesia. Sementara Batta, seorang pria muda yang bekerja di bank, pernah tinggal selama enam tahun di Singapura. Ia lancar berbahasa Inggris.
Jadilah selama tiga hari di Ulaanbaatar kita kerap ngobrol dan pergi bersama. Saran dan Batta menemani saya menembus dinginnya cuaca di kota itu. Kehangatan persahabatan mereka sungguh melelehkan dinginnya salju di Mongolia. Mereka mengenalkan saya pada berbagai tradisi dan budaya Mongolia, termasuk aneka makanannya. Saya diajak untuk hang out ke restoran Mongolia, bar lokal, serta mencicipi aneka hidangan yang ada di sana.
Dalam setiap kunjungan ke berbagai tempat, saya memang selalu menyempatkan diri untuk mencicipi aneka hidangan lokal. Saya percaya bahwa untuk mengenal karakter dan budaya suatu masyarakat, bisa dimulai dari makanannya. Dan membuka diri terhadap aneka makanan lokal, berarti juga membuka diri terhadap aneka perbedaan dan keunikan manusia. Dengan demikian, kita tidak merasa diri kita benar sendiri, atau setidaknya merasa makanan kita yang paling enak sendiri. Karena “enak”, sungguh sangat relatif dan tak bisa diperdebatkan.
“Kamu harus coba buuz dan Khuusuur”, demikian kata Saran. Apa itu? Tanya saya. Buuz dan Khuusuur adalah makanan kebanggaan orang Mongol. Kitapun mampir di satu restoran tak jauh dari Sukhbaatar Square, pusat kota Ulaanbaatar. Saran memesan kedua makanan tersebut, plus satu jenis makanan lagi, yang namanya “Gurvan Undor”.
Saran menjelaskan bahwa makanan Mongolia umumnya berbasis daging. Orang Mongol makan daging sapi, kambing, ayam, kuda, onta, yak, dan juga babi. Mereka memelihara hewan ternak itu sebagai makanan pokok sehari-hari.
Di tengah udara dingin yang ekstrim, makan daging memang sesuatu banget. Kondisi alam dan geografis Mongolia memang menjadikan daging sebuah pilihan tepat. Di Mongolia, sayur-sayuran tak mudah tumbuh. Selain itu, Mongolia juga tidak punya lautan, sehingga mereka tidak makan ikan. Kalaupun ada hanya dari beberapa sungai dan danau.
Buuz tiba di meja kami. Bentuknya seperti pangsit, atau xiaolongpao kalau di Cina. Bedanya, ukuran Buuz lebih besar, dan di dalamnya berisi daging kambing. Sementara Khuusuur adalah buuz yang digoreng. Bentuknya dibuat mirip pastel ukuran besar. Sayapun mencicipi keduanya. Luar biasa, kambing di Mongolia ini rasanya memang khas. Beda kalau menurut saya. Lebih terasa kambingnya, dan lebih lembut dagingnya. Hmmm, sungguh enak.
Saat Gurvan Undor tiba, saya terkesima. Ukurannya besar. Ini adalah iga sapi dengan kulit pangsit lebar yang disajikan bersama wortel, kentang, dan beberapa sayuran. Memakannya? Gak perlu ragu-ragu, gulung baju dan cabik-cabik sendiri dagingnya dengan tangan. Waah, lezat. Rasanya lembut, simple, namun mengundang sensasi. Konon katanya, ini dulu adalah makanan kesukaan pasukan Jengis Khan di tenda-tenda pasukan Mongol. Mantab.
Buuz, Khuusuur, dan Gurvan Undor, adalah makanan khas Mongolia yang umumnya dibuat saat perayaan hari tertentu. Dalam keseharian mereka memang tidak selalu makan itu. Lalu, apa yang dimakan orang Mongol sehari-hari? Nah, malam harinya, Saran dan Batta mengajak saya mencicipi makanan keseharian orang Mongol di salah satu bar yang ramai dikunjungi orang asing.
Menurut Batta, sehari-harinya orang Mongol makan yang namanya Tsuivan. Hampir semua orang Mongol bisa membuat Tsuivan di rumahnya. Kalau orang Indonesia makan nasi dan lauk di rumah, maka orang Mongol makan Tsuivan. Sayapun jadi antusias menunggu seperti apa Tsuivan itu.
Saat datang, eeh rupanya tsuivan itu mie goreng. Yup, ini sih mie goreng kalau di Indonesia. Eh iya, kata Saran. Ini memang Mie Goreng Mongolia. Bedanya, tekstur mienya lebih kasar dan tidak panjang. Selain itu, mereka menggunakan daging kambing Mongolia yang lembut. Hmm, Tsuivan, atau mie goreng kambing. Sangat lezat.
Untuk menambah hangat suasana, Batta mengajak istrinya bergabung bersama kami malam itu. Okka, nama sang istri yang masih muda dan cantik, adalah mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Ulaanbaatar.
Sambil makan, kita berbincang banyak hal soal kehidupan di Mongolia. Saya melihat anak-anak muda di Mongolia memiliki kehidupan yang lebih bebas dalam mengekspresikan pendapatnya. Mongolia memang menganut sistem ekonomi pasar dan demokrasi, sehingga kebebasan berpendapat lebih terlihat di muka umum.
Tak terasa kita berbincang hingga larut malam. Tak terasa pula suhu minus 25 derajat celcius di luar restoran. Saat pulang, saya katakan pada mereka, “the coldness of Mongolian weather is nothing, compare to the warmness of you and Mongolian people”. Dan, pelukan perpisahan malam itu, menambah hangat malam di Ulaanbaatar.