
Saat Lukaku dimasukkan ke lapangan oleh Pelatih Belgia, Marc Wilmots, dinihari tadi (2/7), getar kecemasan langsung dirasakan oleh para pemain kesebelasan Amerika Serikat (AS). Lukaku, akhirnya jadi Lukamu, jadi Luka bagi kesebelasan AS. Ya, Romelu Lukaku, pemain muda berbakat yang dikontrak Chelsea dan pernah bermain di Anderlecht, adalah “senjata pamungkas” yang dikeluarkan di masa perpanjangan waktu. Setelah 90 menit bermain ketat dan imbang, masa perpanjangan waktu adalah masa penentuan. Dalam kisah pewayangan, senjata pamungkas dikeluarkan pada jeda waktu itu. Dan Lukaku, adalah senjata Wilmots. Ia keluar, bermain, dan menusuk tanpa ampun.
Sepuluh menit pertama perpanjangan waktu, Belgia menghunjam pertahanan AS dengan daya gempur dan semangat baru. Tim Howard, kiper AS, yang tampil heroik menyelamatkan gawang AS dari gempuran Belgia selama 90 menit (sampai di twitter ada hashtag #HowardForPresident), akhirnya menyerah. Lukaku dan De Bryon menusuk patah dan menghabisi perjuangan Howard. AS harus menyerah dengan skor 2 – 1. Meski Green mampu memberi satu gol bagi AS, dan 10 menit terakhir milik AS, perjuangan itu tak cukup.
Duel Belgia – AS dinihari tadi menutup partai 16 besar Piala Dunia 2014. Menariknya, sebagian besar pertandingan di 16 besar ini diakhiri dengan perpanjangan waktu. Bahkan adu penalti. Brazil vs Chile, Costa Rica vs Yunani, Jerman vs Aljazair, dan Argentina vs Swiss, berakhir dengan skor 0-0, sebelum dilanjutkan dengan perpanjangan waktu. Belanda bahkan menang di ujung waktu, dua gol disarangkan di menit 88 dan 91. Hampir saja berakhir seri 1 -1.
Inilah catatan menarik dari Piala Dunia 2014. Pertandingan berlangsung semakin menawan dan tidak mudah. Semua kesebelasan menyadari bahwa barangsiapa bisa mengalahkan lawan, maka ia sampai di ujung batas dunia bola. Para filsuf menyebutnya “Nirwana Bola”. Itulah titik Ma’rifat perjalanan sebuah Tim. Di Nirwana, tiada lagi bola, yang ada hanyalah PIALA. Atau balasan surgawi berupa regukan kenikmatan tiada bertepi.
Menyambut babak perempat final yang akan dimulai esok, kiranya kita bisa mengambil beberapa pelajaran dari pertandingan di babak penyisihan dan 16 besar.
Pelajaran Pertama, there is no easy way to win. Tidak ada kemenangan yang mudah. Hal itu terlihat dari sebagian besar pertandingan di babak 16 besar “dipaksa” harus selesai dengan perpanjangan waktu dan adu penalti. Ini berarti bahwa mencapai kemenangan tidak seperti membalik telapak tangan, bahkan saat menghadapi lawan yang kita anggap lebih lemah. Kita belajar dari 16 besar ini bahwa tidak bisa memandang remeh lawan. Bahkan tidak boleh terlalu percaya diri.
Siapa sangka kalau Argentina harus bermain ekstra keras menghadapi Swiss (yang notabene kelasnya masih di bawah Argentina), atau Brazil yang harus susah payah adu penalti menghadapi Chile. Jadi, kita juga tak bisa memandang remeh terhadap permasalahan yang ada. Terhadap pekerjaan kita. Terhadap tugas sehari-hari. Karena sifat menganggap remeh dapat membuat kita alpa dan meleset pada kegagalan. Kemenangan selalu membutuhkan kerja keras dan kehati-hatian.
Pelajaran Kedua, patience is virtue. Kemenangan hanya bisa diperoleh bagi mereka yang sabar. Kesabaran adalah keutamaan. Selama 90 menit kesebelasan Belgia menggedor gawang Tim Howard. Selama itu juga pertahanan AS bergerak disiplin melalui zona marking. Tapi lewat masa 90 menit, Belgia terlihat lebih sabar. AS lengah. Dan kemenangan milik sang penyabar. Pelajaran kehidupan ini perlu kita renungkan, karena tak sedikit dari kita yang kerap tak sabar, baik perkara sekolah, pekerjaan, karir, pangkat, atau gaji. Ketidaksabaran umumnya berujung pada keluhan demi keluhan, hingga akhirnya kegagalan. Kita harus ingat pepatah, semua indah pada waktunya.
Pelajaran Ketiga, perlunya belajar dan belajar. Kesebelasan yang lolos ke 8 besar, bukan kesebelasan kemarin sore. Permainan AS sangat cantik, Swiss juga, tapi untuk mengatasi Belgia dan Argentina, mereka masih perlu baca banyak buku lagi. Mereka harus mengakui, mengalahkan kesebelasan Juara Dunia, hanya sebuah utopia. Atau seperti yang dikatakan Jacques Derrida, tokoh posmodernis Prancis, yang mengatakan itu adalah suatu l’im-possible (sebuah ketidak-mungkinan). Tapi ketidakmungkinan bisa jadi kemungkinan dengan belajar. Costa Rica telah membuktikan itu, terus menerus belajar membuat mereka bisa menembus delapan besar.
Dan terakhir, di bulan Ramadhan ini, saya teringat tulisan D.A Rindes dalam bukunya “Nine Saints of Java” yang mengibaratkan buah kelapa sebagai metafora atas hakikat dan syariat. Ibadah sebagai nyiur dan shariat hanya kulitnya. ”Kulitnya itu ibarat shariat. Tempurungnya itu ibarat Tarikat, Isinya itu ibarat Hakikat. Minyaknya itu ibarat ma’rifat”. Kita sering melihat kesuksesan orang itu dari luarnya saja. Padahal apa yang tampak, masih menyimpan cerita panjang sebuah perjuangan. Yang kelihatan hanya kulit, bahwa ia sukses. Di baliknya, ada kerja keras dan ketekunan.
Kesebelasan Juara, seperti Brazil, Jerman, atau Argentina, itu dapat diibaratkan kita lihat seperti shariat, kulit semata. Besar, hebat, dan juara. Tapi kita kerap lupa, bahwa di balik kebesaran mereka itu, ada tarikat, ada hakikat, dan ada ma’rifat. Di balik kesebelasan Brazil, ada kerja keras, ada konsistensi, ada disiplin, ada integritas.
Saat teman sebayanya tidur, Neymar (pemain Brazil) bangun jam 4 pagi untuk menendang-nendang bola. Saat teman sebayanya bermalas2an di siang hari, Neymar melatih fisiknya berlari di pantai yang terik. Keajegan dalam berlatih adalah kunci sukses Neymar. Untuk itu, ia rela kehilangan kesenangan-kesenangan di masa mudanya. Ia rela membangun habitus yang mau menunda kesenangan (deffered gratification).
Sebagai bangsa Indonesia, ketiga hal tadi bisa jadi pelajaran kita. Kita perlu kerja lebih keras. Perlu lebih serius, ajeg, dan perlu menunda kesenangan-kesenangan sesaat, untuk masa depan yang lebih baik. Menghadapi pemilu pilpres nanti, nilai-nilai ini juga bisa dijadikan pedoman. Membangun bangsa Indonesia bukan perkara satu dua malam. Ia membutuhkan konsistensi, ketekunan, dan tidak mudah menyerah. Di sinilah harapan kita pada Presiden baru nanti, siapapun yang terpilih, untuk dapat menjaga ketekunan dan kesabaran bangsa dalam membangun dirinya. Dan membangun sebuah habitus, hanya akan bisa sukses lewat sebuah laku, bukan dengan kata-kata semata.
Mari kita belajar dari Piala Dunia 2014. Mari kita sambut dimulainya babak delapan besar. Selamat Menyaksikan. Selamat menjagokan kesebelasan anda. Dan semoga Indonesia dapat memilih Presiden yang tepat dan mampu membawa bangsa ini lebih baik lagi.
(tulisan ini dibuat usai menyaksikan pertandingan terakhir dari partai 16 besar di Piala Dunia 2014, Brazil, antara Kesebelasan Amerika Serikat melawan kesebelasan Belgia (2/7)